PUBLIK PESIMIS, SAAT MEDIS DIJADIKAN LAHAN BISNIS
Oleh : Waryati
(Ibu Rumah Tangga)
Turunnya harga PCR menjadi polemik tersendiri bagi pelaku usaha kesehatan. Menurut mereka, dengan adanya kebijakan baru terkait berubahnya harga eceran tertinggi (HET) tes PCR Jawa dan Bali yang sebelumnya Rp 495.000 menjadi Rp 275.000, dan untuk luar Jawa dan Bali dari Rp 525.000 kini Rp 300.000.
Pihak Rumah Sakit, Klinik dan Lab mengklaim, mereka seperti memakan buah simalakama, maju kena mundur pun kena. Menurut Randy H Teguh selaku Sekretaris Jenderal Perkumpulan Organisasi Perusahaan Alat-alat Kesehatan dan Laboratorium (Gakeslab) Indonesia, "jika tidak melakukan layanan, mereka akan ditutup, tapi kalau mereka tetap melakukan ya buntung" ujarnya, dikutip dari Antara, Sabtu (13/11).
Penetapan harga yang dilakukan pemerintah dirasa sangat menyulitkan para pelaku usaha yang bergerak di bidang kesehatan. Namun demikian, "layanan tes PCR bagi masyarakat tetap dilakukan meski harus ada efisiensi di sana-sini dan menggunakan sistem subsidi silang dari layanan tes yang lain". Seperti yang dikatakan Dyah Anggraeni selaku CEO Cito Laboratory. Menurut simulasi yang dilakukannya, harga reagen open system sebesar Rp 96.000 harga PCR harusnya di atas Rp 300.000, dikutip Solopas.com, Sabtu (13/11). Lebih jauh lagi, mereka berharap dilibatkan dalam pengambilan keputusan mengenai penetapan harga PCR.
Perbedaan keputusan pemerintah dan pelaku usaha di bidang kesehatan mengenai penetapan HET tes PCR menimbulkan bau menyengat menyeruak ke permukaan. Diduga, ada aroma bisnis bermain antara pihak penguasa dan pelaku usaha. Masing-masing berbeda pandangan saat ditetapkannya tarif PCR. Pihak penguasa beranggapan itu salah satu bentuk kepedulian kepada rakyat, agar harga tes PCR tidak memberatkan rakyat. Namun di sisi lain, pihak pengusaha merasa dirugikan karena biaya yang dikeluarkan tidak sebanding dengan harga yang ditetapkan.
Mengenai kisruh tarif PCR, timbul tanya di benak publik, apakah dengan turunnya harga tes PCR menjadikan hasil tes yang akurat? Mengingat adanya efisiensi dari proses penelitian untuk hasil tes. Ditambah pula subsidi yang diharapkan tak kunjung ada, menjadikan pelaku usaha menekan biaya oprasional seminimal mungkin. Tentu hal ini membuat keraguan juga ketakutan bagi publik akan keakuratan hasil tes. Hal ini dirasa membahayakan karena hasil tes PCR menyangkut kesehatan seseorang dan nyawa menjadi taruhannya.
Tes PCR di masa wabah adalah sebuah kebutuhun dan menjadi hajat hidup bagi orang banyak. Sudah selayaknya jika pemerintah hadir dengan menentukan tarif serendah mungkin atau kalau bisa menggratiskannya dengan terlebih dulu berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait. Baik penguasa maupun pelaku usaha di bidang kesehatan keduanya harus memosisikan sebagai pelayan rakyat. Bukan malah saling tarik ulur masalah tarif dan menjadikan keuntungan menjadi tujuan.
Penanganan medis salah satu tanggung jawab pemerintah kepada rakyat, terlebih saat pandemi. Faktor pelayanan maupun pengayaan alat-alat medis seyogianya menjadi tanggungan negara. Jika negara berlepas tangan dan malah melepaskannya pada swasta niscaya sektor kesehatan akan menjadi lahan empuk bagi para kapital. Maka yang terjadi adalah pelayanan disejajarkan dengan keuntungan. Bukan lagi kewajiban melayani rakyat yang mendasari atas kinerjanya, namun untung dan rugi menjadi landasannya.
Tak heran jika publik pesimis dengan kebijakan diturunkannya tarif PCR. Apakah ini solusi penanganan wabah atau malah sebaliknya, tes PCR hanya jalan kapitalis tuk eksploitasi kesehatan. Mengingat beberapa alasan di atas mengindikasikan negara berlepas tangan dalam pelayanan kesehatan. Terbukti, pertama negara sedari awal tidak menetapkan tarif PCR serendah mungkin, ke dua membiarkan para kapital bermain di dalamnya dengan mengambil keuntungan besar.
Di dalam Islam, pelayanan kesehatan merupakan salah satu hajat dasar publik yang harus ditunaikan kepada rakyat secara cuma-cuma. Islam pun mengatur, melayani dan memastikan agar rakyat mendapat pelayanan merata di semua tempat. Sektor kesehatan menjadi sektor vital yang pengurusannya harus ada di tangan negara. Miskin dan kaya, beragama Islam ataupun bukan, semuanya dilayani tanpa terkecuali. Jika ada pihak swasta yang berusaha mengambil keuntungan dan mengendalikan harga di tengah masyarakat, maka negara tidak berdiam diri dan segera menindak oknum tersebut. Itulah Islam, jika diterapkan secara menyeluruh keadilan dan kesejahteraan akan didapat warga negaranya. Penguasa menjalankan amanah kekuasaannya hanya berdasar keimanan dan ketakwaan, niscaya dalam kepemimpinan Islam berbagai kecurangan dan pelanggaran jarang terjadi.
Wallahua'lam.
Posting Komentar