-->

Mengejar Pajak Hingga ke Lubang Jarum

Oleh : Rahmawati, S.Pd (Aktivis Muslimah Kalsel)

Jakarta, Kompas.com – Undang-undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) menambah fungsi Nomor Induk Kependudukan (NIK) pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) menjadi  Nomor Wajib Pajak (NPWP) untuk wajib Pajak (WP) Orang Pribadi (OP). Berdasarkan Draf UU HPP, setiap WP OP yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Pendaftaran ini sesuai wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan KTP tersebut untuk mendapatkan NPWP. Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Neilmaldrin Noor mengatakan pemberlakuan NIK menjadi NPWP tidak otomatis menyebabkan pemilik NIK akan dikenai pajak.

“Untuk pengenaan pajak, pemilik NIK harus telah memenuhi syarat subjektif (termasuk sebagai subjek pajak) dan objektif (mendapatkan penghasilan setahun di atas batas Penghasilan Tidak Kena Pajak),” kata Neilmaldrin Noor dilansir dari Antara, Minggu (10/10/2021).

Juga dilansir dari Merdeka.com – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani membongkar alasan pembahasan fungsi Nomor Induk Kependudukan (NIK) di KTP menjadi Nomor Wajib Pajak (NPWP). Salah satunya bisa meningkatkan efisiensi dan efektivitas. “Terutama untuk Direktorat Jenderal Pajak dalam mengelola berbagai macam tugas-tugas yang berhubungan dengan kewajiban perpajakan, khususnya orang pribadi,” kata Sri Mulyani dalam acara pelantikan pejabat Kementerian Keuangan  (Kemenkeu) di Jakarta, Senin (4/10/2021).

Pemerintah terus mencari cara agar tidak ada individu dan obyek harta/kepemilikan yang lepas dari pajak. Semakin terlihat masyarakat terpojokkan dengan pajak. Ibarat setiap yang bernyawa wajib membayar pajak. Mau tidak mau, suka tidak suka masyarakat harus membayarnya. Yang pasti mereka terbebani oleh pajak. Disisi lain, banyak sekali kita dapati masyarakat yang kekurangan harta bahkan untuk makan saja sulit. 
Kebijakan-kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak nyatanya berbanding terbalik dengan kebijakan merevisi pengelolaan harta publik berupa SDA. Seperti yang kita ketahui Indonesia sangat kaya sumber daya alam (SDA). Yang ada di darat, seperti rempah-rempah, emas, perak, minyak dan yang ada di laut seperti ikan.  Dan kekayaan alam lainnya. Padahal jika ingin memenuhi kebutuhan masyarakat sangatlah mudah dengan hasil alam tersebut, namun nyatanya tidak. Masyarakat berdiri sendiri, berusaha sendiri dan mengurus diri mereka sendiri.

Sangat terlihat pemerintah mengejar pajak yang makin membebani rakyat hingga ke lubang jarum. Pajak dijadikan sebagai sumber pendapatan negara. Sementara di sisi lain malah membiarkan SDA yang melimpah dikelola dan dinikmati segelintir orang. Sistem kapialisme yang rusak, condong kepada para korporat, membuat posisi mereka semakin nyaman. Negara hanya sebagai regulator, minim tanggungjawab. Seharusnya urusan rakyat diurus supaya sejahtera, mendapat keamanan dan keadilan.

Dalam Islam terhadap harta kekayaan yang dimiliki seorang muslim sudah jelas batasannya. Pajak tidak termasuk bagian dari kewajiban yang harus ditunaikan. Bahkan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dalam keadaan genting saat perang tidak pernah menarik pajak. Beliau lebih memilih cara berhutang kepada sahabat yang kaya dan menarik zakat sebelum jatuh tempo, serta menganjurkan untuk bersedekah jika tidak memiliki kemampuan menghadang musuh. Rasulullah juga pernah bersabda “Tidak masuk surga para penarik pajak” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).

Namun, para ulama fikih telah membahas tentang hukum menarik pajak selain yang telah ditetapkan sebelumnya, di antara mereka ada yang mengharamkan mutlak dan ada yang membolehkan bersyarat. Diantara para ulama ada yang mengharamkan negara menarik pajak yaitu Muwardi dan Abu Ya’la. Dalil pendapat yang mengharamkan ada dalam firman Allah SWT yang berbunyi “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil” (QS.Annisa : 29). Hal ini membuktikan bahwa pajak tidak pernah diterapkan para sahabat Nabi yang menjadi penguasa atau khalifah di masa kejayaan Islam.

Selanjutnya, para ulama yang membolehkan menarik pajak dalam kondisi dan syarat tertentu, di antaranya, Al Juwaini, Syatibi, para ulama Andalus dan ulama mazhab Hanafi dan Ibnu Taimiyah. Dengan syarat:
1. Ada (hajah) kebutuhan riil suatu negara yang mendesak, seperti menghadapi musuh yang hendak menyerang. Ibnu Abidin berkata, "Pemerintah boleh menarik pajak jika ada maslahat untuk warganya".

2. Pemasukan negara dari jizyah, kharaj dan lain-lain tidak mencukupi untuk membiayai kebutuhan pokok negara. Dengan kata lain kas baitul maal kosong. Ibnu al Arabi berkata, "Kas negara habis dan kosong".

3. Bermusyawarah dengan ahlul hilli walaqdi (para tokoh agama). Ibnu Al Arabi berkata, "Tidak halal mengambil harta warga negaranya kecuali untuk kebutuhan mendesak dengan cara adil dan dengan musyawarah kepada para ulama".

4. Ditarik dengan cara yang adil dengan hanya mewajibkan pada harta orang yang kaya dan mampu. Al Haitami berkata, "Menolak mudharat umat merupakan tanggung jawab bagi orang yang mampu, yaitu orang yang memiIIiki kelebihan harta setelah dikeluarkan kebutuhan pokoknya" (Tuhfat Muhtaj).

5. Pendistribusian pajak yang ditarik untuk kepentingan yang telah ditujukan. Tidak boleh didistribusikan untuk hal yang bersifat mewah.

6. Adanya kebutuhan yang mendesak. Jika kebutuhan tersebut telah terpenuhi maka pajak tidak boleh lagi ditarik. Dengan kata lain penerapan pajak bersifat sementara dan bukan menjadi pemasukan tetap sebuah negara. Syatibi berkata, "Pajak ditarik atas dasar darurat dan diukur seperlunya. jika darurat telah hilang maka pajak pun mesti dihapuskan".

Begitulah seharusnya pengaturan pajak yang dikelola oleh negara. Apalagi kita melihat hari ini negeri yang sangat kaya raya ternyata belum mampu mensejahterakan rakyatnya, justru sebaliknya membebani masyarakat dengan pajak, baik yang kaya maupun yang miskin. Akar dari segala permasalahan adalah ketika pengaturan negeri ini bukan bersumber dari Islam. Menihilkan peran Allah sebagai pengatur alam semesta. Sudah seharusnya manusia memakai aturan Allah dalam berkehidupan. Manusia posisinya lemah dan serba terbatas. Saatnya kembali merujuk kepada al-Qur'an dan as-Sunnah. Maka keberkahan dan keselamatan akan dirasakan.

Wallahu a’lam bishhowab