-->

Melarang Pernikahan Anak, Sementara Seks Bebas Merajalela

Oleh: Diana Safari, S. Pd
(Pemerhati Sosial Kemasyarakatan) 

Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Provinsi Kalimantan Selatan menyebutkan kasus perkawinan anak di Kalsel berada di urutan keenam se-Indonesia. Data ini pun membuat DPPPA perlu bekeja keras untuk mencegah perkawinan anak tersebut. Kepala bidang Kualitas Hidup Perempuan dan Keluarga (KHPK) DPPPA Kalsel Titik Haryati mengatakan, perlu upaya yang lebih maksimal dari pemerintah hingga ke tingkat desa agar kasus perkawinan anak bisa terus ditekan. "Programkan berbagai kegiatan untuk anak seperti pelatihan, kursus, keterampilan dan olahraga,  memberikan kesibukan bagi anak sehingga tidak terlintas di benak mereka kawin muda," ujar Titik, Kamis (30/9/2021). Titik mengharapkan upaya penekanan perkawinan usia anak ini tidak hanya dilakukan di tingkat kabupaten tetapi juga sampai ke tingkat desa. Menurut Wakil Bupati HSU Husairi Abdi, anak harus memiliki mental spiritualnya yang kuat, ditambah lagi kemampuan dan pendidikan yang layak sebelum memasuki jenjang pernikahan. Kepala DPPPA HSU Gusti Iskandariah menyebut sejak 2016 dilaksanakan aksi-aksi pencegahan perkawinan usia anak yang dibarengi perjanjian kerjasama (MoU) bersama beberapa instansi terkait (iNewsKalsel.id/01/10/2021). 

Pemerintah Kalsel sedang berupaya keras untuk menekan angka pernikahan anak yang menduduki urutan keenam se-Indonesia. Jika dibandingkan dengan negara-negara lain, Indonesia menduduki peringkat ke-2 di ASEAN dan peringkat ke-8 di dunia untuk. Diketahui, sekitar 22 dari 34 provinsi di tanah air memiliki angka perkawinan anak yang lebih tinggi dari rata-rata nasional. Menurut Koalisi Perempuan Indonesia (2019) dalam studinya Girls Not Brides menemukan data, bahwa 1 dari 8 remaja putri Indonesia sudah melakukan perkawinan sebelum usia 18 tahun. Temuan ini diperkuat dengan data dari Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) BPS tahun 2017 yang menunjukkan presentase perempuan berusia 20-24 tahun yang sudah pernah kawin di bawah usia 18 tahun sebanyak 25,71 persen. Dilihat dari aspek geografis, tren angka perkawinan anak dua kali lipat lebih banyak terjadi pada anak perempuan dari pedesaan dibandingkan dengan di perkotaan (kompas.com/20/05/2021). 

Sedangkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) selama ini sangat intensif melakukan kampanye Gerakan Bersama Pencegahan Perkawinan Anak hingga ke tingkat desa. Isu penurunan angka perkawinan anak menjadi salah satu dari 5 isu prioritas arahan Presiden kepada Kemen PPPA. Advokasi dan sosialisasi pencegahan perkawinan anak terus dilakukan pemerintah bersama seluruh stakeholders (kemenppa.go.id/10/02/2021). 

Namun perlu dicermati apa gunanya mencegah pernikahan anak, sementara semua faktor pendorong seks bebas tetap dibiarkan. Hal-hal yang berbau porno dan seks bebas bermunculan di sekitar lingkungan anak. Kontennya bisa diakses dengan mudah di berbagai media sosial, tanpa disaring terlebih dahulu. Didukung dengan gadget yang hampir semua anak memilikinya. Tentu saja memberi pengaruh yang sangat besar dalam membentuk karakter anak. Tak heran banyak dijumpai remaja berpacaran seperti layaknya suami isteri, kemudian hamil lalu aborsi. Pergaulan remaja sudah pada tahap sangat mengkhawatirkan. Budaya hedonis dan serba kebarat-baratan menjadi kiblat generasi saat ini. Kapitalisme yang menjadikan angin segar bagi para pemilik modal untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Yaitu bisnis dalam hal berbau pornografi. Serta liberalisme yang mengusung ide kebebasan setinggi-tingginya menjadi penambah akar masalah. Jadi, bukan mengkampanyekan penolakan pernikahan anak.

Fakta ini begitu gamblang, namun negara lepas tangan dengan kondisi yang ada. Permasalahan gaul bebas pada anak bangsa bukan permasalahan serius yang harus dicari solusinya. Hanya diserahkan kepada orangtua bagaimana mendidik anak dengan baik. Padahal peran negara juga tak kalah penting dalam membentuk kepribadian anak yang sholih sholihah. Bagaimana mungkin hanya diserahkan kepada orangtua, sementara ketika bergaul di masyarakat lingkungannya masih rusak. Pelan tapi pasti kepribadian anak juga akan terpengaruh.
 
Berbeda dengan sistem hidup Islam, negara berperan mengatur kehidupan di masyarakat sesuai aturan syariat Islam. Negara tidak akan membiarkan faktor pendorong seks bebas bermunculan. Apalagi pornografi dijadikan sebagai bisnis untuk meraih keuntungan. Negara menjaga kepribadian anak bangsa agar tidak terjerumus ke hal-hal negatif. Pernikahan dini tidak dilarang dalam Islam. Malah akan menjaga kehormatan daripada melangkah ke perbuatan dosa. Negara akan menerapkan sistem pendidikan Islam sehingga outputnya adalah generasi beriman dan bertakwa. Serta menerapkan pergaulan yang baik dan sehat yaitu sistem pergaulan Islam. Sehingga tidak lagi dijumpai anak-anak yang bebas berprilaku. Jadi, bukan pernikahan anak yang jadi masalah, tetapi sistem hidup Kapitalisme yang merusak lah yang harus dihilangkan. 

Wallahu'allam