-->

Kegagalan Kapitalisme Mengatasi Pandemi dan Gelombang Ketiga Covid-19

Oleh : Rengganis Santika, A STP.

Dua tahun berlalu namun pandemi Covid-19 belum juga usai, bahkan dunia masih harus berjuang melawan gelombang ketiga serangan virus kasat mata yang terus menebar teror ini. Para ahli menyatakan virus terus bermutasi selama masih ada kerumunan. Di tengah maraknya vaksinasi, WHO yang seharusnya jadi rujukan penanganan pandemi hanya bisa menyatakan bahwa pandemi belum usai. Semua ini mengkonfirmasi ketidakmampuannya menawarkan solusi tuntas. WHO dengan perspektif kapitalismenya terbukti gagal atasi wabah.

Ancaman Virus Gelombang Ketiga

Virus Covid-19 telah bermutasi menjadi delta plus yang menurut para ahli mengancam terutama di musim dingin seperti saat ini, di mana orang banyak diam di rumah tanpa ventilasi. Seperti yang dilansir di beberapa media, di Eropa terjadi ledakan kasus sebesar 23% dan di Amerika Selatan sebesar 13% dalam sepekan terakhir. 

Dalam arahannya kepada para kepala daerah se-Indonesia secara virtual di Istana Merdeka pada 25 Oktober 2021, Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa tren peningkatan kasus Covid-19 di sejumlah negara dipengaruhi sejumlah faktor, di antaranya relaksasi yang terlalu cepat dan tidak melalui tahapan-tahapan, prokes yang mengendur, dan PTM (Pembelajaran Tatap Muka) yang abai prokes.

CNBC Indonesia melaporkan pada Senin (18/10/2021) bahwa kasus Covid-19 di RI memang tengah melandai. RI hanya mencatat 625 kasus tambahan baru. Saat ini kasus aktif Covid-19 tercatat sebanyak 17.374. Angka ini turun signifikan dibanding ketika gelombang II menyerang di bulan Juli 2021. Meski demikian pemerintah meminta warga tetap waspada akan ancaman gelombang ketiga Covid-19. Apalagi masyarakat kerap abai akan protokol kesehatan di sejumlah kegiatan seperti pernikahan dan wisata.

Kapitalisme, Utamakan Ekonomi Pengusaha Daripada Keselamatan Rakyat

Kebijakan pemerintah kerap mengabaikan suara para ahli demi kepentingan segelintir oligharki kapital (para pengusaha). Maka sudah pasti ketika terjadi penurunan kasus Covid-19, pemerintah Indonesia "berlari" membuka kembali tempat wisata bagi turis lokal dan asing, sekolah, pusat perbelanjaan, serta fasilitas umum lainnya.

Di samping itu, banyak negara membuka kembali fasilitas umum meskipun menyatakan bahwa kasus Covid-19 ini belum sepenuhnya selesai. Hal ini dikarenakan adanya peningkatan jumlah kasus positif Covid-19 di beberapa negara, seperti China, Rusia, dan sejumlah negara Eropa. Sedangkan WHO menemukan virus Corona varian baru yaitu delta atau disebut juga delta plus. Berdasarkan prediksinya, varian ini akan lebih cepat bermutasi di cuaca dingin.

Pakar virus asal Hong Kong, dr. Yan Limeng menyatakan betapa bobroknya penanganan WHO terhadap virus Corona yang muncul pada awal 2019 yang berakhir pada pandemi. Ia juga menuding pemerintah China sengaja menutupi hal-hal yang berkaitan dengan wabah virus ini. Program vaksinasi, PCR, antigen pun sarat kepentingan bisnis dan politik. Bahkan yang lebih ironis bantuan Covid menjadi ajang bancakan para pejabat korup. Situasi pandemi yang menyeret rakyat dalam nestapa justru malah menambah pundi-pundi rupiah para pejabat. Inilah kapitalisme!

Pandemi Seharusnya Menjadikan Kita Kembali pada Syariat

Pandemi Covid-19 harusnya menjadi pembelajaran sekaligus tamparan bagi umat manusia untuk selalu menjaga kebersihan, mengutamakan kepentingan publik, dan tidak egois dengan memprioritaskan kepentingan pihak tertentu yang hanya berpikir untuk memperkaya diri. Di mana harga diri pemimpin para pejabat, di saat rakyatnya menderita mereka justru semakin kaya dan sibuk mempertahankan kekuasaan, sungguh memalukan!

Negeri ini dan negara-negara lain termasuk WHO dengan sistem kapitalismenya hanya mempertimbangkan aspek ekonomi. Jika kita ingat kembali, "new normal" yang digadang-gadang WHO langsung diikuti rezim Jokowi. Setelah itu muncul gelombang kedua varian virus "India" dan lagi-lagi rakyat dengan faskes yang buruk jadi korban akibat kelalaian negara.

Hanya Syariat Islam Solusi Tuntas

Kondisi ini berbanding terbalik dengan sistem Islam apabila ditegakkan dan diterapkan secara keseluruhan. Segala aktivitas, kebijakan, beserta penerapannya selalu disandarkan terhadap wahyu Allah, termasuk di dalamnya mengenai keselamatan nyawa umat manusia. Akidah Islam selalu menjadi landasan.

Syariat islam yang kaaffah dan sempurna dari Allah SWT yang Maha Sempurna sudah memiliki SOP atau standar operasional dalam penanganan pandemi secara global. Semua ini sudah pernah dicontohkan di era Rasulullah SAW dan para khalifah sesudahnya. Semua kebijakan negara Khilafah dilaksanakan tanpa dispensasi bagi pihak tertentu, tanpa pandang bulu, dan tidak ada pelonggaran kebijakan yang didasarkan pada faktor ekonomi apalagi tidak berbasis pendapat ahli.

Ekonomi dan keuangan serta distribusi kebutuhan rakyat akan dikelola dengan baik dan bijaksana sesuai dengan ketentuan syara sehingga tidak ada kasus korban meninggal karena minimnya faskes, atau bantuan yang dikorupsi, serta nakes yang kelelahan dan kurang tunjangan. Tidak akan ada hambatan dalam menerapkan 3T (Testing, Tracing, Treatment) karena PCR, antigen, obat-obatan Covid seharusnya gratis bukan malah jadi sarana memperkaya pejabat. Rakyat kuat cukup menjaga antibodinya karena kebutuhan asasi terpenuhi. Ini bukan mimpi dan hanya akan jadi nyata bila syariat Islam diterapkan secara kaffah, bukan dalam sistem kapitalisme yang nyata-nyata gagal dan menyengsarakan ini. 

Wallahu a'lam bi shawab.