-->

Polemik Impor Garam, Siapa Berhak Marah?


Retorika aneh tentang kemarahan presiden atas keputusan impor garam sedang ramai diperbincangkan. Aneh, sebab jelas bahwa kemarahan presiden Jokowi tidak pada tempatnya. Bukankah semua kebijakan impor apapun alasannya adalah keputusan pemerintah sendiri. Bukan keinginan atau keputusan rakyat. Apabila buruknya produksi garam dalam negeri merupakan penyebabnya,  baik dari segi kualitas maupun kuantitas, semua itu adalah tanggung jawab pemerintah untuk mengatasinya  dengan segera. Sehingga jelas, kemarahan presiden atas impor garam adalah retorika yang sengaja dibuat untuk mengesankan bahwa kondisi ini bukanlah kesalahan dan tanggung jawab pemerintah. Juga untuk mengesankan bahwa keputusan ini dibuat secara terpaksa dan tidak ada pihak yang diuntungkan secara pribadi. Namun, tentu saja rakyat tidak senaif itu.

Dilansir dari merdeka.com, pemerintah Jokowi kembali memutuskan untuk mengimpor 3 juta ton garam industri di tahun ini. Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), Sakti Wahyu Trenggono menegaskan bahwa pemerintah telah memutuskan untuk mengimpor garam. Keputusan ini telah diambil dalam rapat Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian beberapa waktu lalu. "Impor garam sudah diputuskan di rapat Menko, melalui neraca. Jadi berdasarkan neraca sisa kekurangannya berapa, nanti baru di impor. Kita mendukung, karena itu sudah masuk di UU Cipta Kerja," kata Menteri Trenggono.

Pada Oktober 2020, Presiden Jokowi sempat marah dan menyebut bahwa masalah garam rakyat belum terselesaikan hingga saat ini. Bahkan, tidak ada pihak yang ingin mencari jalan keluarnya. "Masih rendahnya kualitas garam rakyat sehingga tidak memenuhi standar untuk kebutuhan industri. ini harus dicarikan jalan keluarnya. Kita tahu masalahnya tapi nggak pernah dicarikan jalan keluarnya," kata Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta PusatPusat (merdeka.com, 21/03/2021) 

Tampaknya, buruknya produksi garam di Indonesia merupakan fakta yang disepakati banyak pihak. Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita juga mengungkapkan hal senada, "Untuk menjamin ketersediaan bahan baku garam bagi industri dalam negeri, pada 2021 telah disepakati alokasi impor komoditas pergaraman industri sebesar 3,07 juta ton," ungkap Agus dalam Webinar National Webinar SBE UISC 2021. Ia pu menjelaskan pemerintah masih harus mengimpor garam karena beberapa faktor. Pertama, jumlah produksi lokal tak mampu memenuhi kebutuhan industri.

Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menunjukkan jumlah produksi garam lokal hanya sebanyak 1,3 juta ton pada tahun lalu. Jumlahnya masih jauh dari kebutuhan garam nasional yang mencapai 4,6 juta ton. Kedua, kualitas garam lokal tak sepadan dengan kebutuhan industri. Menurut Agus, industri membutuhkan garam dengan spesifikasi cukup tinggi (CNN Indonesia, 24/09/2021).

Data-data diatas memperlihatkan jelas bahwa Indonesia masih belum mampu berswasembada garam. Ironis bagi negara maritim dan kepulauan yang memiliki wilayah laut yang amat luas. Selain laut yang sangat luas, Indonesia juga merupakan negara kaya bahan mineral. Menilik fakta ini, sungguh ironis bahwa kita masih belum bisa mengelola kekayaan negeri ini dengan benar. Pertambangan garam tergolong pertambangan yang mudah untuk dikembangkan. Menjadi pertanyaan besar mengapa Indonesia masih terus mengimpor garam sejak 1990. Bayangkan, betapa lamanya kondisi ini berlangsung. Bukankah begitu banyak waktu bagi pemerintah untuk serius mengatasi hal ini. Maka, siapa sebenarnya yang berhak marah atas kondisi ekonomi yang tak kunjung membaik? Siapa berhak marah atas buruknya produksi garam di sebuah negara maritim, selama lebih dari tiga dekade? Tentu, rakyat lah yang berhak marah. 

Seharusnya, sejak lama pemerintah menunjukkan keseriusannya untuk menghentikan impor garam yang bisa dimulai dengan pembenahan dan pengelolaan garam rakyat. Alih-alih, pemerintah justru mengambil kebijakan impor yang hanya merespons kecenderungan permintaan pasar saja. Pemerintah tidak melihat dari sisi strategi pengembangan industri garam nasional jangka menengah dan panjang. Kebijakan yang diambil cenderung bersifat reaktif jangka pendek dan tidak konstruktif. Kebijakan impor semacam ini selalu terus berulang dan pemerintah tampaknya tidak pernah belajar dari pengalaman sebelumnya.

Buruknya pengelolaan negara seperti sekarang ini sebenarnya tidak terlalu mengherankan. Penerapan sistem demokrasi kapitalis, melanggengkan kebijakan-kebijakan pemerintah yang hanya menguntungkan pihak tertentu, namun justru menyengsarakan rakyat. Tentu yang diuntungkan adalah segelintir pihak penguasa dan pemilik modal besar yang melakukan transaksi ekonomi hanya demi menambah kekayaan diri sendiri. Kesejahteraan rakyat tidak akan menjadi pertimbangan utama, malahan bisa jadi tidak dipertimbangkan sama sekali. Potensi alam tidak dikelola dengan maksimal. Bahkan banyak SDA yang potensial malah diserahkan kepada asing. Sungguh sangat disayangkan, inilah yang menyebabkan rakyat Indonesia terus bergelut dengan kemiskinan meski negerinya mempunyai kekayaan yang berlimpah ruah. 

Di dalam sistem kapitalisme, penguasa berkolaborasi erat dengan para pengusaha sehingga kebanyakan kebijakan pemerintah akan dipengaruhi oleh para pengusaha tersebut. Kondisi seperti ini akan terus terjadi selama sistem demokrasi kapitalisme tetap diterapkan. Pada akhirnya, rakyat makin menderita dan negara berada diambang kehancuran.  

Semua ini tidak akan terjadi jika sistem pengelolaan negara memakai sistem islam. Dalam sistem islam, penguasa benar-benar memperhatikan pengurusan urusan umat sebab kepemimpinannya didasarkan pada iman dan rasa takut kepada Allah SWT. Segala kebijakan yang dibuat semata-mata hanya untuk kepentingan umat. Konsep tata kelola negara dan kekayaannya yang sempurna hanya bisa terwujud ketika penguasa mengamalkan sabda Rasulullah SAW berikut ini, “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad). Inilah yang diperintahkan oleh Rasulullah SAW kepada para penguasa saat mengurusi urusan rakyatnya. Satu kepemimpinan tinggal yang menerapkan aturan islam secara menyeluruh. Dengan demikian proyeksi ketahanan pangan dan ekonomi dapat terwujud. Sejatinya Islam adalah rahmat bagi seluruh alam. Hanya islam yang mampu menciptakan sistem yang mensejahterakan seluruh umat manusia. Wallahua'lam bishawab.

Penulis : Dinda Kusuma W T