-->

Pendidikan Masa Kejayaan Islam Gratis, Mengapa Indonesia Menarik Pajak?

Oleh: Dwi Nesa Maulani

Jika mengkaji sejarah masa kejayaan Islam, akan kita dapati banyak kisah mengagumkan dalam dunia pendidikan. Ketika Bani Abbasiyah berkuasa ( 750 M – 1258 M/ 132H – 656 M) berkembang pesat lembaga-lembaga pendidikan baik formal maupun informal. Tumbuh suburnya lembaga-lembaga pendidikan ini mempengaruhi pola hidup dan budaya masyarakat Islam. Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan budaya Islam mampu mempengaruhi peradaban dunia. Daerah kekuasaan Islam menjadi pusat-pusat pendidikan yang diminati bukan hanya muslim tetapi juga kalangan non-muslim.

Nizam al Mulk, perdana menteri Saljuk ( 1065 M – 1067 M ) adalah pendiri Madrasah Nizamiyah. Siswa di sana mendapatkan pendidikan gratis. Pada tiap kota kekuasaannya ia mendirikan satu madrasah besar, di antaranya di Baghdad, Balkh, Naisabur, Harat, Asfahan, Basran, Marw, dan Mausul.  Madrasah Nizamiyah merupakan rintisan lembaga pendidikan formal pertama yang menggunakan sistem manajemen sekolah dan menjadi cikal bakal model pendidikan modern di Barat.

Demikian pula pada era Khilafah Utsmaniyah, Sultan Muhammad Al-Fatih (1481 M) juga menyediakan pendidikan secara gratis. Bahkan Sultan memberikan beasiswa bulanan untuk tiap siswa. Di Konstantinopel (Istanbul) Sultan membangun delapan sekolah. Di sekolah-sekolah ini dibangun asrama siswa. Setiap asrama dilengkapi dengan ruang makan dan ruang tidur. Dibangun pula sebuah perpustakaan khusus yang dikelola oleh pustakawan yang ahli di bidangnya

Sejarah Islam pun telah mencatat kebijakan para khalifah yang menyediakan pendidikan gratis bagi rakyatnya bahkan sampai perguruan tinggi. Sejak abad IV H para khalifah membangun berbagai perguruan tinggi lengkap dengan berbagai sarana dan prasarananya seperti perpustakaan. Setiap perguruan tinggi itu dilengkapi dengan auditorium dan asrama mahasiswa. Perumahan dosen dan ulama pun tersedia. Selain itu, perguruan tinggi tersebut juga dilengkapi taman untuk rekreasi, dapur, ruang makan, dan kamar mandi. 

Negara benar-benar bertanggungjawab atas pendidikan rakyatnya. Berbagai fasilitas disediakan dan gratis demi menunjang kualitas pendidikan generasi. Hingga Islam bisa menorehkan tinta emas peradaban dunia. Hal ini semestinya diteladani oleh negeri yang berpenduduk muslim terbesar di dunia ini. Bagaimana generasi muslim terdahulu menguatkan akidah siswa terlebih dulu sebelum ilmu pengetahuan, menyediakan sarana dan prasarana, hingga menggratiskan biaya pendidikan. Sehingga si kaya dan si miskin sama-sama bisa mengenyam pendidikan berkualitas. 

Bukan sekedar menggratiskan sebagian sekolah tapi membiarkan sekolah level premium menarik biaya tinggi seperti yang terjadi saat ini. Bahkan jika tak ada aral melintang rencananya setelah pandemi covid 19 pemerintah akan menarik pajak pendidikan sebesar 7 persen. Sasarannya adalah lembaga pendidikan yang bersifat komersial, dan lembaga pendidikan yang tidak menyelenggarakan kurikulum minimal yang dipersyaratkan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional.

Dengan adanya pajak tentunya lembaga pendidikan akan membebankan pajak tersebut kepada siswa. Otomatis biaya pendidikan akan semakin mahal. Padahal biasanya sekolah yang bersifat komersial ini memiliki fasilitas yang lebih bagus dibandingkan sekolah pada umumnya. Makanya siswanya pun dari kalangan ekonomi atas. Rakyat kecil tak bisa menjangkaunya. Mungkinkah benar yang dibilang orang miskin dilarang sekolah? 

Dilansir dari iNews.id 14/9/2021, menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, terhadap barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat banyak seperti kebutuhan pokok, jasa pendidikan, dan jasa kesehatan dikenakan PPN dengan tarif yang lebih rendah dari tarif normal. Masyarakat yang tidak mampu dapat diberikan kompensasi dengan pemberian subsidi. Sehingga asas keadilan semakin terwujud.

Keadilan sosial menurut kacamata negara penganut kapitalisme memang demikian adanya. Dikatakan adil jika si kaya membayar pajak, sedangkan si miskin mendapatkan subsidi. Si kaya harus membayar mahal untuk memperoleh pendidikan, sedangkan si miskin membayar murah atau gratis. Jika si kaya juga menginginkan biaya murah atau gratis berarti itu melanggar asas keadilan.

Kapitalisme memang menganggap segala sesuatu bernilai materi, termasuk pendidikan. Negara layaknya pedagang yang menjual pendidikan dengan harga murah untuk si miskin. Jika si penjual tahu pembelinya adalah orang kaya maka harga akan dinaikkan demi mendapat keuntungan sebesar-besarnya. Itulah sifat penjual. 

Sangat jauh berbeda maknanya dengan keadilan menurut Islam. Menurut arah pandang Islam, adil adalah memberikan sesuatu sesuai haknya. Pemimpin yang adil akan memberikan kepada rakyat apa yang menjadi haknya. Dalam hadits riwayat Muslim, Rasulullah SAW bersabda, “Imam adalah bagaikan penggembala dan dialah yang bertanggung jawab atas gembalaannya itu". Hadits ini menjelaskan bahwa pemimpin itu harus seperti penggembala yang melindungi gembalaannya dan memberikan hak-haknya. Pemimpin tak boleh bersifat layaknya serigala yang menerkam gembalaan hingga lemah tak berdaya. 

Salah satu hak rakyat atas negara adalah jaminan untuk mendapatkan pendidikan. Islam menggolongkan pendidikan sebagai kebutuhan pokok. Maka para khalifah pada masa kejayaan Islam sungguh-sungguh mengupayakan terpenuhinya pendidikan rakyat secara gratis dan berkualitas. Dengan kata lain, keadilan pemimpin terkait pendidikan adalah memberikan pendidikan gratis kepada seluruh rakyat, tidak hanya rakyat kurang mampu yang gratis pendidikannya. Orang kaya juga berhak mendapat pendidikan gratis karena itu merupakan hak semua rakyat dan kewajiban negara. Maka Indonesia sebaiknya berkiblat saja pada pendidikan Islam. Biaya pendidikan gratis tapi output fantastis.