-->

Benarkah Bantuan Negara Hanya Untuk Sekolah Gemuk?

Penulis : Helda Apriliyanti, S.Pd.

Dikabarkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi berencana mulai menghentikan penyaluran dana bantuan operasional sekolah (BOS) terhadap sekolah yang memiliki jumlah siswa kurang dari 60 pada 2022 mendatang.

Tentu saja kebijakan ini menuai protes. Diantaranya, Protes datang dari Aliansi Organisasi Penyelenggara Pendidikan yang merupakan gabungan sejumlah organisasi, yang menolak Permendikbud Nomor 6 Tahun 2021. Aliansi Organisasi Penyelenggara Pendidikan yang merupakan gabungan dari organisasi pendidikan di lingkungan Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU) dan juga organisasi pendidikan, menganggap kebijakan ini sarat diskriminasi dan tidak memenuhi rasa keadilan sosial.

Sebagaimana dilansir dari republika.com, “Bertolak belakang dengan amanat pembukaan UUD 1945, bersifat diskriminatif dan tidak memenuhi rasa keadilan sosial,” ujar Wakil Ketua Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah, Kasiyarno, saat membacakan pernyataan sikap aliansi secara daring, Jumat (3/9).

Bayangkan apa yang akan terjadi jika sekolah dibiarkan tanpa bantuan dana dari Pemerintah, mampukah sekolah tetap bertahan? 

Sungguh hal ini akan memunculkan masalah baru, akan banyak sekolah yang kekurangan dana. Guru-guru honorer yang selama ini mengajar, digaji melalui dana bantuan itu. Belum lagi urusan administrasi dan fasilitas sekolah, selama ini dananya diambil dari bantuan operasional. Sehingga potensi sekolah tutup akan cukup besar.

Bisa dibayangkan bagaimana proses mengajar guru yang berbulan-bulan tidak digaji karena tak ada uang di sekolah? Mereka akan mengajar sekadarnya, bukan karena tak amanah, tetapi kondisi yang menuntut demikian. Usaha sambilan pun dilakukan, bisa saja banyak yang akhirnya keluar dan berhenti mengajar karena harus mencari pekerjaan yang lebih menjanjikan. 

Maka, tak salah jika dikatakan kebijakan ini mendiskriminasi hal pendidikan anak Indonesia. Bukan tak mungkin pemberlakuan kebijakan ini akan menambah angka putus sekolah di negeri. Padahal, menurut KPAI angka putus sekolah sudah cukup tinggi dan semakin bertambah selama masa pandemi covid-19 ini berlangsung.

Inilah tata aturan sistem kapitalisme. Dalam tupoksinya seolah memperbaiki masyarakat, tetapi pada kenyataannya justru membuat sekarat. Kebijakan ini semakin menunjukan kepada rakyat bahwa negara telah gagal membangun infrastruktur pendidikan bagi rakyatnya. Dana BOS yang seharusnya digunakan untuk membangun infrastruktur pendidikan yang kokoh malah ditarik. Hanya karena persoalan jumlah siswa. Inilah carut marut pengelolaan infrastruktur sekolah dalam sistem kapitalis sekuler.

Secara ekonomi, sistem sekuler ini telah menghasilkan negara yang bermasalah. Sehingga anggaran sangat minim. Hal ini tentu saja menyebabkan infrastruktur sekolah bukanlah prioritas. Dalam sistem ini pendidikan hanyalah barang komoditas. Akibatnya negara lemah terhadap tanggung jawabnya sebagai pihak yang berkewajiban menyelenggarakan pendidikan. Alhasil, birokrasi tidak tegak sesuai kebutuhan, bahkan terkesan menelantarkan dan membiarkan hal itu terjadi.

Islam memandang bahwa pendidikan merupakan kebutuhan dasar yang menjadi hal bagi setiap warga negara. Muslim maupun non muslim. Oleh karena itu, negara wajib menyelenggarakan pendidikan secara gratis dan bertanggung jawab penuh atas tercukupinya kebutuhan sarana pendidikan yang bersifat dasar. Seperti, gedung sekolah, perpustakaan, laboratorium dll.

Berkaca dari pemerintahan Khalifah al Muntashiriah, dimana pada masa kepemimpinannya telah didirikan Madrasah al Muntashiriah di kota Baghdad. Yang mana setiap siswanya menerima beasiswa berupa emas seharga satu dinar (4,25 gram emas).

Dengan kemakmuran negara saat itu, seluruh kebutuhan pendidikan tercukupi. Anggaran tak pernah kurang untuk pendidikan. Makanya, tak didapati dalam catatan sejarah sepanjang syariah Islam diterapkan di masa kekhilafan itu, adanya siswa yang tak sekolah dikarenakan ketiadaan akses pendidikan diwilayahnya. Negara dalam sistem Islam, benar-benar hadir untuk melayani seluruh urusan rakyat. Termasuk pendidikan yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat.