-->

Pintu Moderasi Ciptakan Toleransi Atas Baha’i


Oleh: Fadhilah Samihah

Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas tak ambil pusing terkait sorotan yang ditujukan kepadanya perihal ucapan selamat hari raya Naw-Ruz 178 EB ke komunitas Baha'i. Yaqut menegaskan kehadirannya di acara komunitas Baha'i sudah sesuai dengan konstitusi. Yaqut juga menyampaikan pesan persatuan seluruh elemen bangsa. Selain itu, dia menekankan mengenai pentingnya moderasi beragama. (news.detik.com,28/07/2021)

Apa itu Baha’i?

Sekte Baha`iyyah (Baabiyyah) berdiri di  Iran pada tanggal 23 Maret 1844 M / 5 Jumadl ‘Ula 1260 H . Pendiri Baha’iyyah adalah Mirza Husain Ali Al Mazindani / Baha’ullah sehingga sekte ini disebut Baha’iyyah.  Lalu dilanjutkan oleh anaknya bernama Abbas Effendi (atau Abdul Baha`). Adapun asal usul Baha`ullah tersebut melanjutkan ajaran gurunya bernama Ali Muhammad yang lahir 1819 di Syiraz di Iran dengan gelar Al-Baab (pintu), sehingga sekte ini disebut juga Baabiyah.

Pokok ajaran baha’iiyah  secara aqidah pendiri sekte ini (Baha`uddin) mengaku sebagai rasul, dan mengaku bahwa karya-karya tulisnya adalah wahyu dari Allah, mengajak manusia semua untuk beriman kepada risalah yang diembannya, mengingkari bahwa Rasulullah SAW adalah penutup para Rasul, mengatakan bahwa kitab-kitab yang diturunkan padanya menghapus (menasakh) AlQur’an yang mulia, sebagaimana juga dia berpendapat tentang keyakinan reinkarnasi (tanasukh al arwah). (Lihat : M. Ali Ahmad A Salus, Mausu’ah Al Qadhaya Al Fiqhiyyah Al Mu’ashirah, hlm. 544)

Adapun secara syariah, sekte ini banyak mengubah dan menggugurkan hukum-hukum fiqih Islam, di antaranya mengubah jumlah bilangan sholat wajib dan waktunya, sholat dilaksanakan sebanyak sembilan rakaat (sehari) dan dilaksanakan masing-masing tiga rakaat pada : waktu pagi, sore, dan tergelincirnya matahari. Dia juga mengubah tayammum hanya dengan berdoa, “Dengan nama Allah yang Maha suci”. (bismillahi al ath-har). Mengubah puasa hanya 19 hari. Mengubah arah kiblat dari Makkah ke Akka (Palestina). Mengharamkan jihad. Menggugurkan hukuman hudud. Dan menyamakan antara pria dan wanita dalam hukum waris serta menghalalkan riba. (Lihat : M. Ali Ahmad A Salus, Mausu’ah Al Qadhaya Al Fiqhiyyah Al Mu’ashirah, hlm. 544)

Fatwa Majma’ Al Fiqhal Islami mewasiatkan, bahwa wajibnya lembaga-lembaga Islam di seluruh dunia untuk berusaha semampu mungkin menghadang sekte kafir yang berusaha meruntuhkan Islam ini dalam agama, syariat dan konsep kehidupan. Mempertimbangkan berbagai klaim dari Baha’iyyah tersebut,  maka kepada kelompok Bahaiyah diterapkan hukum-hukum untuk kaum kafir,  berdasarkan ijma’ kaum muslimin. (Lihat : Prof. Dr. Ali Ahmad Al Salus, Mausu’ah Al Qadhaya Al Fiqhiyyah Al Mu’ashirah, hlm. 544)

Pintu Moderasi Ciptakan Toleransi 

Istilah “moderat” atau “jalan tengah” bukanlah gagasan yang berasal dari islam. Paham ini mulai popular di abad pembaharuan atau sering kita sebut Renaisans. Pertarungan gerejawan yang menguasai pemerintahan versus para pemikir yang menginginkan adanya penghapusan peran agama dalam kehidupan, melahirkan paham sekulerisme.

Paham sekuler inilah yang menjadi ruh moderasi beragama, yang melahirkan pemahaman Islam moderat. Islam moderat merupakan istilah politik untuk melawan islam.  Adapun tujuan di balik moderasi Islam, menurut Fathiy Syamsuddin Ramadlan An Nawiy salah satunya adalah deislamisasi, yakni merusak agama islam.  

Demikian juga bahwa upaya moderasi beragama dianggap sebagai kunci terciptanya toleransi beragama. Apa yang diungkapkan oleh Menag Yaqut bahwa sikap moderat dalam beragama atau moderasi beragama diyakini dapat memupuk sikap toleransi dan kerukunan umat beragama. Oleh karenanya, Yaqut berharap kepada seluruh umat beragama untuk memiliki cara pandang, sikap dan praktik beragama dalam perspektif jalan tengah. Inilah yang akan melindungi martabat manusia. (tribunnews.com, 18/5/2021)

Inilah bentuk toleransi  yang lahir dari pemahaman agama yang moderat yaitu menganggap semua agama sama (pluralisme). Kemudian akan mengarah pada pencampuradukan ajaran agama-agama (sinkretisme). 

Makna Toleransi dalam Islam

Makna toleransi kepada sesama manusia adalah menghormati keyakinannya, karena Islam adalah agama rahmatan lil alamin, agama pembawa rahmat bagi seluruh dunia, tak terkecuali non Muslim. Hal ini dicontohkan oleh Rasulullah SAW, beliau berjual beli dengan non Muslim, mengunjungi tetangga yang sedang sakit, walaupun mereka ini kafir.

Toleransi pada masa Utsmani telah diakui kebenarannya oleh seorang orientalis Inggris, TW Arnold dalam bukunya, “The Preaching of Islam: A History of the Propagation of the Muslim Faith, 1896, hlm. 134” menyatakan bahwa “Perlakuan terhadap warga kristen oleh pemerintahan Khilafah Turki Utsmani –selama kurang lebih dua abad setelah penaklukan Yunani- telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa”.

Toleransi Islam tidak bermakna menerima keyakinan yang bertentangan dengan islam. Allah Swt menurunkan firman-Nya, surat al-Kafirun, hingga ayat terakhir:

“Untuk kalian agama kalian dan untukku agamaku.” (TQS Al Kafirun:6)

Dengan demikian, moderasi telah menjadi pintu terciptanya toleransi atas Baha’i. Toleransi yang lahir dari pemahaman Islam moderat hanyalah ilusi dan bertentangan dengan makna hakiki toleransi. Sikap inilah yang  menegaskan semakin kuatnya arus kebebasan beragama. Makin besarlah kerugian umat Islam akibat sistem demokrasi yang mengagungkan kebebasan beragama. Sedangkan toleransi yang lahir dari Islam adalah solusi atas kerukunan antar warga negara dalam naungan sistem hakiki yaitu sistem Islam.