-->

Pertumbuhan atau Pemerataan Ekonomi?

Oleh: Vivie Dihardjo (Pegiat Komunitas Ibu Hebat) 

Kabar pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Kuartal II tahun 2021 sebesar 7,07 % membalikkan keadaan pada kuartal II tahun 2020 sebesar minus -5, 23%, 

Apakah ini sinyal membaiknya kesejahteraan rakyat?

Meskipun perhitungan tersebut diperoleh dari Product Domestik Bruto (PDB) perkapita dibagi dengan jumlah penduduk. Agregat dari perhitungan tersebut belum tentu mencerminkan kondisi riilnya, karena bisa jadi perputaran aset produksi dan konsumsi hanya pada segelintir kelompok saja. Dalam laporannya, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) menyatakan 1 persen orang kaya di Indonesia menguasai 50 persen aset nasional (TEMPO.CO) Faktanya kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin sangat lebar. Perhitungan pertumbuhan dengan PDB perkapita tidak mencerminkan keadilan ekonomi secara riil di masyarakat. 

Contoh, pada kota-kota besar, semisal Jabodetabek, tentu PDBnya besar karena Jabodetabek adalah pusat industri, produksi, perdagangan hingga distribusi maka jika faktor pembagi hanya penduduk kota, tentu angka PDB yang diperoleh cukup besar, namun jika disertakan penduduk di desa tentu hasilnya akan berbeda, makin kecil. 

Contoh lain di kawasan pegunungan Cartenz dimana Freeport beroperasi, tentu saja pertumbuhan ekonomi di wilayah Tembagapura tinggi, tetapi bagaimana dengan penduduk Papua di luar Tembagapura? Kemiskinan tinggi, akses pendidikan dan kesehatan cukup sulit diperoleh. Namun masyarakat dimasukkan dalam faktor pembagi PDB sehingga seolah-olah setiap orang memiliki pendapatan hingga 6,3 juta pertahun (525.000/bulan) sementara riilnya tidak demikian. 

Pertumbuhan Ekonomi Kapitalistik

Berbagai konsep pertumbuhan ekonomi lahir dalam kerangka ideologi Kapitalisme untuk meraih kesejahteraan. Semisal mengurangi peran negara, menyerahkan pada mekanisme pasar untuk meraih kebaikan bersama (Adam Smith, abad18). Orang bebas memiliki alat produksi, memproduksi barang dan melakukan distribusi tanpa aturan dari negara, yang menentukan adalah keseimbangan pasar. Bisnis narkotika yang terus berkembang menjadi contoh, selama ada permintaan maka akan terus diproduksi. Keuntungan menjadi yang utama meskipun barang tersebut membahayakan. Perdagangan bebas menjadi fokus teori ini. 

Hingga teori mengurangi ketergantungan pada pasar. Negara dan swasta memegang peranan penting dalam perekonomian (Keynesian, abad 20) Sayangnya kepentingan negara dan kepentingan swasta berkelindan dalam urusan ekonomi hingga soal politik. Swasta mendanai dan mensponsori para politisi dalam agenda-agenda politik melalui uang mereka, saat para politisi menempati kursi kekuasaan maka kebijakan yang dilahirkan lebih menguntungkan swasta (konglomerat) yang menjadi sponsor sebagai bentuk terima kasih, rakyat kembali dirugikan.

Pertumbuhan ekonomi dalam Kapitalisme diukur dari meningkatnya produksi dan modernisasi alat produksi juga infrastruktur pendukung tanpa memperhatikan aspek pemerataan, sehingga keuntungan hanya dimiliki pemilik modal yang itu-itu saja sehingga memperlebar kesenjangan sosial. Konsep pertumbuhan ekonomi Kapitalisme telah gagal mengantarkan masyarakat pada kesejahteraan dan keadilan ekonomi.

Hyman Minsky dalam buku Stabilizing Unstable Economy (1986) mengatakan, masyarakat kapitalisme itu tidak adil.

Pertumbuhan dan Pemerataan Ekonomi Dalam Islam

Pertumbuhan ekonomi dalam islam adalah keniscayaan. Tidak bebas nilai tetapi sarat nilai. Islam tidak akan mengorbankan pemerataan ekonomi demi pertumbuhan ekonomi. Keduanya harus berjalan secara simultan.

Produksi dan konsumsi tidak didorong setinggi-tingginya demi keuntungan semata. Negara menjamin kebutuhan pokok (kebutuhan dasar) rakyat. Produksi akan diutamakan memenuhi kebutuhan pokok terlebih dahulu, jika telah terpenuhi baru memproduksi kebutuhan pendukung jika tidak memberi efek buruk dan membahayakan bagi manusia. Pembangun infrastuktur untuk memastikan distribusi kebutuhan dasar masyarakat  terpenuhi secara merata. 

Negara memastikan menyediakan lapangan kerja yang cukup bagi rakyat untuk mencari nafkah.

Dalam distribusi kekayaan, negara memiliki peran penting. Dimulai dari hukum kepemilikan yang ditetapkan syariat. Kepemilikan dibagi menjadi kepemilikan umum, kepemilikan negara dan kepemilikan individu. Kepemilikan umum, semisal hutan, sungai, sumberdaya alam hayati dan non hayati, fasilitas umum, sumber air yang melimpah ruah. Negara tidak berhak menjual atau memberikannya pada  kelompok maupun individu. Tetapi masyarakat boleh memanfaatkannya

Kepemilikan Negara adalah izin dari asy-Syari’ atas setiap harta yang hak pemanfaatannya berada di tangan Negara seperti harta ghanimah, fa’i, khumus, kharaj, jizyah 1/5 harta rikaz, ’ushr, harta orang murtad, harta orang yang tidak memiliki ahli waris, dan tanah hak milik Negara.

Harta milik Negara digunakan untuk berbagai kebutuhan yang menjadi kewajiban Negara untuk mengatur dan memenuhi urusan rakyat seperti menggaji pegawai, akomodasi jihad, pembangunan sarana dan prasarana publik, dan lain sebagainya.

Allah berfirman,

"Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya" ( QS Al Hasyr :7)

Kemilikan individu adalah izin Asy-Syari’ kepada individu untuk memanfaatkan barang dan jasa. Kepemilikan ini tidak bisa ditetapkan kecuali ada penetapan dari Asy-Syari’ atas barang dan jasa tersebut, juga didasarkan pada sebab-sebab kepemilikan yang ditetapkan oleh Asy-Syari’.

Kepemilikan seseorang atas suatu barang tidak muncul dari sisi apakah barang itu bermanfaat atau tidak, tetapi muncul dari izin Asy-Syari‘ dan sebab-sebab kepemilikan yang dibolehkan oleh syariat.

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi bukan menjadi paramater negara telah berhasil mensejahterakan rakyat. Kondisi riil  menggambarkan kepemilikan umum banyak dikuasai oleh segelintir konglomerat saja sehingga  kesenjangan sosial semakin lebar di tengah masyarakat. Berdasarkan survei lembaga keuangan Swiss, Credit Suisse, 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 49,3 persen kekayaan nasional (Katadata.co.id). Menempatkan Indonesia pada ranking ke-4 kesenjangan sosial dibawah Rusia, India dan Thailand.  Diperlukan paradigma pengelolaan ekonomi yang tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi,  ansich tetapi memenuhi pemerataan ekonomi yang berkeadilan. Yaitu, pengelolaan ekonomi yang disandarkan pada Qur'an dan Sunnah oleh negara yang menerapkan islam kaffah dalam bingkai Khilafah'ala minhajin nubuwwah. 

Wallahu'alam bisshowab