-->

Mengurai Konflik Sosial Dan Kegelisahan Masyarakat Di Tengah Pandemi



Sudah lebih dari setahun masyarakat Indonesia berjuang menghadapi pandemi covid-19. Hampir semua sektor kehidupan masyarakat merasakan dampak tak menyenangkan akibat pandemi ini. Berbagai kebijakan telah diupayakan oleh pemerintah. Namun, karena kebijakan yang diambil seringkali tidak tegas, mudah berubah, tidak tepat dan tidak menuju langsung kepada akar persoalan, maka pandemi covid ini pun terjadi berlarut-larut tanpa harapan yang pasti kapan pandemi ini akan berakhir. Rakyat pun mulai merasa lelah. Banyak kesulitan yang harus dihadapi, terutama bagi rakyat kecil. Pembatasan mobilitas masyarakat untuk mengurangi resiko penularan virus covid-19, ternyata memberikan dampak luar biasa bagi sektor ekonomi. Banyak usaha swasta mengalami kebangkrutan dan gelombang PHK pun tak terhindarkan. Dampak lanjutan setelah banyaknya pengangguran pun memicu timbulnya berbagai konflik sosial. Masyarakat berada dalam situasi kacau dan gelisah akibat pandemi tanpa ada pihak yang bisa diandalkan.

Sejak awal, pemerintah kurang menunjukkan keseriusan dalam menanggulangi pandemi ini. Malahan, pemerintah sempat meremehkan virus covid-19, sebelum akhirnya virus ini masuk dan menyebar di Indonesia. Hal ini menyebabkan Indonesia menjadi negara yang tidak siap menghadapi pandemi. Imbasnya, berbagai konflik sosial pun bermunculan tanpa antisipasi yang memadai. Ketika pemerintah menerapkan kebijakan pembatasan sosial, terjadi panik buying di kalangan masyarakat kaya.  banyak orang mempersiapkan diri agar bisa bertahan hidup di tengah pandemi. Komoditas yang utama diincar oleh masyarakat adalah hand sanitizer (cairan pembersih tangan), masker, sembako, dan jamu. Namun, masyarakat ekonomi bawah hanya bisa pasrah dalam kegelisahan menghadapi pandemi covid-19.

Kegelisahan dan rasa frustasi yang dialami masyarakat semakin masif dan membesar. Berbagai kasus konflik horizontal di tengah masyarakat semakin mempersuram situasi pandemi. Di Jember, Jawa Timur, sejumlah warga melakukan penganiayaan terhadap tim pemakaman jenazah pasien covid-19. Mereka menjadi korban amukan warga saat mengirim jenazah ke Desa Jatisari, Kecamatan Pakusari, Jember. Mereka dihadang lalu dilempar dengan batu serta dipukul oleh sejumlah warga. Peristiwa itu terjadi pada Sabtu, 17 Juli 2021. Saat itu, tim pemakaman mendapat permintaan dari camat dan warga untuk mengantar jenazah dari RSD dr Soebandi ke Desa Jatisari. Ketika jenazah tiba di lokasi, sudah banyak warga yang menunggu. Warga berupaya mengambil paksa jenazah untuk dimandikan. Petugas telah memberitahu bahwa pasien meninggal karena Covid-19, tapi tak dihiraukan. Karena situasi tidak kondusif, tim pemakaman memutuskan untuk meninggalkan tempat tersebut. Namun, ada sejumlah warga yang mengadang hingga melakukan peleparan, pemukulan, dan berusaha membanting tim relawan (kompas.com, 24/07/2021). Sangat disayangkan, orang-orang garda terdepan dalam penanganan pandemi malah menjadi sasaran kemarahan masyarakat.

Konflik lain yang juga sangat memprihatinkan terjadi di Toba, Sumatera Utara. Seorang warga positif Covid-19 dan ingin melakukan isolasi mandiri di rumah justru diamuk oleh warga sekitar. Karena kondisi warga yang dinyatakan positif itu dianggap hanya memiliki gejala ringan, oleh pihak petugas kesehatan lalu diminta melakukan isolasi mandiri di rumah. Namun, aparat desa yang mengetahui informasi itu tidak berkenan korban melakukan isolasi mandiri di rumah. Aparat desa bersama warga kemudian memaksa korban untuk melakukan isolasi mandiri di sebuah gubuk di dalam hutan yang lokasinya jauh dari desa. Warga yang seharusnya mendapatkan dukungan penuh agar segera sembuh dari covid-19, justru dikucilkan dan didiskriminasi. 

Beberapa kejadian ini hanya sedikit dari potret buram penanganan pandemi di Indonesia. Kejadian dan konflik-konflik lain yang tak kalah memprihatinkan banyak terjadi di berbagai daerah. Di sisi lain, pemerintah seolah abai pada masalah ini. Fokus utama pemerintah tertuju pada pemulihan ekonomi. Padahal, konflik sosial semacam ini, apabila dibiarkan lama kelamaan akan menjadi bom waktu. Masyarakat yang frustasi bisa menimbulkan kekacauan besar bagi negara kapan saja. Tentunya hal ini tidak akan terjadi apabila ada antisipasi yang baik dari pemerintah. 

Bila kita telaah lebih dalam, ada beberapa faktor yang menyebabkan merebaknya konflik sosial di tengah pandemi ini. Diantaranya, minimnya edukasi dari pemerintah kepada masyarakat berkaitan dengan masalah pandemi covid-19, serta krisis kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, sehingga langkah apapun yang diambil oleh pemerintah tidak bisa terlaksana dengan baik dan maksimal. Dalam masa pandemi ini masih banyak orang yang tidak memahami seberapa berbahaya virus covid-19, seberapa besar potensi penularannya, dan apa yang harus dilakukan bila tertular atau mengalami gejala tertular. Apa yang harus dilakukan apabila ada orang disekitar kita positif covid-19 juga sangat penting untuk dipahami. Edukasi seputar covid seharusnya dilakukan lebih serius oleh pemerintah. Penggalakan sosialisasi covid-19 harusnya dilaksanakan secara cepat dan masif. Pemahaman yang baik di tengah masyarakat akan meningkatkan pengetahuan, sikap, dan perilaku masyarakat demi percepatan penanganan pandemi. 

Disisi lain, gencarnya sosialisasi pun bisa tidak berguna jika krisis kepercayaan telah melanda masyarakat. Sepak terjang pemerintah dalam pengelolaan negeri ini sering kali mendapat raport merah dari rakyat. Dalam situasi pandemi, masih banyak didapati para pejabat mengambil keuntungan untuk diri sendiri. Dana bantuan sosial pandemi pun dikorupsi. Wajar jika rakyat menjadi skeptis akan segala hal yang disampaikan oleh pemerintah. Inilah yang memicu konflik sosial yang tidak berkesudahan. Apabila kepercayaan rakyat terhadap pemerintah telah hilang, maka kebijakan apapun tidak akan berjalan maksimal karena tidak mendapat dukungan penuh dari rakyat.

Sistem Islam Mencegah dan Mengatasi konflik Sosial

Penerapan sistem islam tidak hanya didasarkan oleh aturan dan sanksi-sanksi, tetapi dijalankan atas dasar ketaqwaan kepada Allah SWT. Aturan yang berlaku adalah aturan yang berasal dari Allah sehingga tidak mungkin berpihak pada golongan tertentu. Aturan yang berasal dari Allah, pasti adalah aturan paling baik dan sempurna.  Dengan demikian rakyat tidak akan segan untuk mentaatinya. Dalam masa pandemi, islam memerintahkan pemberlakuan lockdown atau karantina wilayah. Aturan ini tertuang dalam berbagai hadist dan riwayat yang shahih, atas dasar ini maka seluruh rakyat akan melaksanakannya dengan penuh kesadaran dan ketaatan pada pemimpin. Sistem islam berdiri di atas landasan yang kokoh, yaitu akidah, sehingga konflik sosial sangat minim terjadi. Segala persoalan yang dihadapi akan dikembalikan kepada akidah, maka rakyat pun merasa tenteram dalam menjalani kehidupan meski dalam situasi sesulit apapun. Tidak mudah marah dan putus asa. Sistem islam adalah sistem yang merupakan rahmat bagi seluruh alam. Penerapannya tidak hanya mensejahterakan umat muslim saja, tetapi akan mensejahterakan dan menyelamatkan seluruh umat manusia di dunia.

Fakta ini harusnya menyadarkan kita semua bahwa pemerintahan sistem demokrasi kapitalis tidak akan bisa mensejahterakan rakyat. Sistem ini hanya akan membuat rakyat tertindas oleh aturan yang semena-mena. Aturan yang dibuat atas nama rakyat namun sebenarnya dibuat hanya untuk kepentingan pihak tertentu. Pada akhirnya kepercayaan rakyat terhadap sistem ini pun akan sirna. Apakah kita benar-benar akan menunggu kehancuran negeri ini untuk berani melangkah pada perubahan, meninggalkan sistem kapitalisme menuju sistem islam yang sempurna dan rahmatan lil alamin. Allahu a'lam bish'shawab. 

Penulis: Dinda Kusuma W T  (Aktivis Muslimah Jember)