-->

Pengendalian Pandemi Atau Pengendalian Data?



Oleh: Najiba Rasyida, SE

Memasuki minggu ketiga bulan Juli lalu jumlah kasus harian covid-19 dikatakan menurun. Kendati pemerintah mengumumkan turunnya data harian covid-19, namun  ahli epidemiolog dari Universitas Indonesia Pandu Riyono justru mempertanyakan hal itu. Pasalnya, penurunan kasus itu dibarengi dengan rendahnya testing atau pemeriksaan kasus.

Menurut dia, seharusnya jumlah testing Covid-19 ditingkatkan selama masa pandemi. "Enggak boleh menurun (jumlah testing) disengaja atau tidak, ada manuver enggak? Supaya tanggal 26 Juli (PPKM) bisa dilonggarkan?," kata Pandu. (nasional.kontan.co.id, 22/07/2021)

Butuh Akurasi  dan Transparansi 

Pandemi Covid-19 sudah berlangsung lebih dari satu setengah tahun. Dan sangat mempengaruhi sendi-sendi kehidupan masyarakat. 

Memang pemerintah telah mengambil berbagai kebijakan, namun nyatanya belum mampu menekan lajunya penyebaran wabah. Misalnya dulu ada kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) – yang sempat diperketat dan  kemudian dilonggarkan dengan dibukanya tempat-tempat wisata. Berselang beberapa waktu, pemerintah menerapkan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat), hingga PPKM Darurat sekarang ini. 

Kebijakan-kebijakan tersebut malah membuat masyarakat bingung. Pasalnya tidak  akurasi dan tranparansi data dari pemerintah. Di sisi lain dampak dari penerapan kebijakan tersebut justru membuaat masyarakat kelimpungan dan kian terhimpit. Karena tidak ada penghasilan akibat tidak bisa keluar mencari nafkah.

Kondisi tersebut membuat menurunnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Lihat saja, ketika pemerintah mengumumkan turunnya  data harian covid-19, bukannya senang dengan kabar tersebut, masyarakat justru mempertanyakannya. Bahkan  banyak  pihak  menduga kalau pemerintah pusat dan daerah sengaja mengutak-atik data kasus harian Covid-19. Mereka berasumsi hal ini demi meraih citra bahwa pemerintah (kepala daerah)  sukses mengendalikan pandemi. 

Sebagian pengamat dan tokoh masyarakat menilai keakuratan dan keterbukaan data sangat penting. Agar masyarakat mengetahui dan memahami informasi yang benar. Ketidak-akuratan data bisa jadi membuat masyarakat salah dalam menangkap informasi. Misalnya menganggap bahwa situasi saat ini telah terkendali atau aman dari wabah. Dampaknya tentu sekedar anjuran untuk tidak keluar rumah atau social distancing yang disepelekan. Bahkan prokes pun menjadi tidak lagi dilakukan. 

Lebih jauh, keakuratan data juga penting demi posisi pemerintah sendiri. Itu pun  jika pemerintah tidak ingin kehilangan kepercayaan masyarakat. Apalagi sekarang pemerintah mengakui ketidakmampuannya menangani pandemi sendiri. Dan berharap masyarakat bisa ikut terlibat dalam penanggulangannya. 

Mengatasi Pandemi Butuh Aturan dan Sistem dari Ilahi

Saat ini kebijakan yang berfokus pada  penuntasan pandemi sangat mendesak untuk diimplementasikan. Di samping untuk mencegah bertambahnya korban, juga agar  perbaikan kondisi akibat dampak pandemi bisa segera dilakukan. 

Tentu saja masyarakat berharap pengendalian pandemi itu bukan sebatas data di atas kertas. Sayangnya,  yang terjadi seoalah hanya pengendalian data.  Lebih tampak  sekedar  tameng pemerintah untuk lepas dari tanggung jawab menuntaskan pandemi. Buktinya PPKM diperpanjang. Hal ini menjadi indikasi kuat bahwa kasus covid-19 ini kian bertambah. 

Sungguh, negara ini telah gagal. Tidak mampu menyelesaikan berbagai problematika yang melanda rakyatnya hari ini. Hal itu karena paradigma yang dipakai berlandaskan sistem sekuler kapitalis nan kufur. Terlebih terkait penanganan pandemi Covid-19, pemerintah telah gagal total karena memilih solusi sistem kapitalisme.

Harus disadari bahwa wabah covid-19 yang melanda negeri kita dan dunia saat ini sejatinya adalah qadha dari Allah. Untuk itu kita membutuhkan solusi yang tepat. Solusi dari Ilahi, solusi Islam. 

Islam memiliki metode baku dalam mengatasi wabah penyakit, yakni dengan karantina atau lockdown. Dengan kata lain dilakukan melalui pemisahan sempurna antara si sakit dan masyarakat yang sehat. 

Penanggulangan wabah seperti inilah yang sesuai syariat. Sebagaimana sabda Rasulullah, Muhammad Saw ;

 “Jika kalian mendengar wabah di suatu wilayah, janganlah kalian memasukinya. Jika wabah terjadi di tempat kalian berada, jangan tinggalkan tempat itu.”

 (HR al-Bukhari)

Metode ini telah diaplikasikan Khalifah Umar bin al-Khaththab pada era kepemimpinannya. Beliau mengambil kebijakan “lockdown” kala wabah penyakit (Tha’un) melanda masyarakat saat itu. Alhasil, wabah dapat diakhiri dalam waktu yang relatif singkat.

Karenanya seandainya pemerintah negeri ini mau mengambil langkah untuk lockdown, pandemi ini akan lebih cepat teratasi. 

Namun hingga saat ini pemerintah konsisten untuk tidak mengambil solusi tersebut. Sebab hal itu mengharuskan negara menjalankan mekanisme terkait yang tentu saja tidak mudah.  

Misalnya, sebelum lockdown itu dilakukan, negara harus mengawalinya dengan melakukan tes massal. Untuk itu negara harus membuat berbagai alat tes yang tepat. Lalu, melakukan   prosesnya baik rapid test maupun swab test secara gratis kepada warganya. 

Dengan begitu data akurat terkait jumlah masyarakat yang terinfeksi dan wilayah sebaran virus bisa dengan cepat terdeteksi. Hal ini akan membantu mempermudah proses penanganannya. 

Selanjutnya, menutup wilayah sumber penyakit/lockdown. Sehingga penyakit tidak menyebar. Bagi mereka yang terinfeksi, negara akan menjamin pengobatannya hingga sembuh. Namanya dijamin, ya tentu saja pengobatan tersebut diberikan secara gratis oleh negara. Termasuk pemberian vaksin. 

Di samping itu, karena penutupan tersebut bisa membuat terganggunya perekonomian masyarakat, maka hal ini juga mengharuskan negara menjamin segala kebutuhan pokok masyarakat di sana, selama proses lockdown itu berlangsung. 

Untuk menjalankan mekanisme di atas jelas membutuhkan dana yang tidak sedikit. Bagi negara dengan sistem kapitalis tentu saja ini dianggap membebani/merugikan negara.

Sebab dalam paradigma sistem kapitalis “tidak ada makan siang gratis.”Rakyat harus membayar atas setiap pelayanan yang diberikan negara. Karena itulah, sehingga kecil kemungkinan pemerintah akan mengambil solusi Islam ini. 

Dengan demikian tuk keluar dari pandemi ini kita tidak hanya butuh aturan Ilahi. Tetapi juga  sistem dari Ilahi. Yaitu aturan dan sistem Islam, sistem khilafah. Sebab hanya sistem khilafah dengan penerapan syariah kaffah, akan mampu menyelesaikan berbagai persoalan umat. 

Khusus terkait pandemi, hanya khilafah yang memiliki mekanisme yang tepat untuk mengatasinya. Tidak sebatas memiliki, tapi juga mampu menjalankan mekanisme tersebut dengan benar. Wallaahua’lam.