-->

Sengkarut PPKM Darurat, Mungkinkah Berbuah Manis?

Oleh : Dinda Kusuma W T (Aktivis Muslimah Jember)

Kondisi gawat pandemi covid-19 sedang melanda Indonesia. Sejak awal Juni telah terjadi lonjakan kasus positif yang tak terkendali. Jumlah kematian akibat covid pun naik tajam. Berdasarkan data kasus harian dari Satgas Covid-19, pada 15 Mei 2021, angka penambahan kasus Covid-19 yaitu 2.385 kasus. Kemudian, kasus perlahan meningkat dan semakin meningkat tajam. Tercatat, pada 15 Juni 2021 ada 8.161 kasus harian, 16 Juni 2021 dilaporkan 9.944 kasus, dan pada17 Juni 2021 sebanyak 12.624 kasus (kompas.com, 19/06/2021).

Selain melonjaknya jumlah kasus Covid-19, yang menjadi sorotan adalah Bed Occupation Rate (BOR), yaitu tingkat keterisian rumah sakit, yang sudah hampir penuh di berbagai daerah di Indonesia. Terutama di pulau Jawa, diantaranya DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) mengungkapkan, saat ini kondisi rumah sakit di Indonesia, utamanya di pulau Jawa, sudah nyaris penuh. Kondisi ini menyebabkan nyaris kolaps-nya pelayanan di fasiltas layanan kesehatan. Beberapa RS dan puskesmas melaporkan peningkatan pasien yang tinggi dalam beberapa hari terakhir, bahkan di Jawa tengah, tepatnya di RSUD Lukman Hadi, Kabupaten Kudus, sejumlah pasien Covid-19 terpaksa mengantre di halaman sebelum mendapat penanganan dan perawatan. Antrian itu disebabkan ruang instalasi gawat darurat (IGD) penuh. 

Menjawab segala kepanikan, akhirnya pemerintah memberlakukan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masayarakat) khususnya di Pulau Jawa dan Bali. Pada intinya pemberlakuan PPKM ini melarang pembukaan fasilitas umum seperti area publik, taman umum, tempat wisata umum dan area publik lainnya. Melarang kegiatan seni/budaya, olahraga dan sosial kemasyarakatan. Transportasi umum (kendaraan umum, angkutan masal, taksi (konvensional dan online) dan kendaraan sewa/rental) diberlakukan dengan pengaturan kapasitas maksimal 70% (tujuh puluh persen) dengan menerapkan protokol kesehatan secara lebih ketat. Penutupan tempat ibadah, pembatasan waktu operasional pasar dan 100% Work From Home (WFH) untuk sektor non essential, sedangkan untuk sektor essential bisa dibuka 50% dengan protokol kesehatan yang ketat. 

Namun, keseriusan dan efektivitas langkah ini masih perlu dibuktikan oleh waktu. dan semoga saja itu bukan waktu yang lama. Sebab, penanganan pandemi ini, selain berkaitan dengan ketepatan langkah, juga berpacu dengan cepatnya laju persebaran virus. 

Berkaca dari penanganan pandemi sejak setahun lalu, sayangnya banyak kebijakan  pemerintah yang hasil akhirnya jauh dari ekspektasi. Seringkali bukannya menyelesaikan, justru menimbulkan masalah yang baru. Kebijakan yang tidak dibarengi dengan antisipasi yang tepat menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat. Misalnya, kebijakan larangan berjualan di pasar bagi pedagang yang tidak menjual kebutuhan pokok, jelas menimbulkan dilema sebab pemerintah tidak menanggung biaya hidup pedagang selama masa PPKM. Di satu sisi pedagang menyadari kondisi pandemi, namun disisi lain mereka juga harus memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya. Kebutuhan sandang dan pangan adalah hak setiap manusia, maka seharusnya pemerintah mengantisipasi masalah ini dengan lebih serius lagi. 

Fakta ironis lainnya, dilansir dari tito.id (26/06/2021), Kementrian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan sedang berusaha menuntaskan tunggakan klaim rumah sakit rujukan covid-19. Total tunggakan yang belum dibayarkan pun bukan jumlah yang kecil, yaitu mencapai Rp22, 08 triliun. Direktur Pelayanan Kesehatan Rujukan Kementerian Kesehatan, Rita Rogayah, saat memberikan keterangan pers pada jumat (25/06/2021) mengatakan tunggakan ini terjadi lantaran penyaluran anggaran melewati sejumlah proses birokrasi. Hal ini tentu membuat kita heran, ketika seluruh rakyat dihimbau untuk mengerahkan segala tenaga menghadapi pandemi, pemerintah malah bersikap "pelit" pada pejuang garda terdepan. 

Kemudian yang lebih mencengangkan, sebanyak 20 tenaga kerja asing (TKA) dari China tiba di Bandara Internasional Sultan Hasanuddin, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, Sabtu (3/7) malam. Puluhan TKA China itu masuk Indonesia di tengah pandemi yang kini melanda negeri. Stakeholder Relations Manager, Angkasa Pura I, Iwan Risdianto membenarkan adanya kedatangan puluhan Tenaga Kerja Asing (TKA) asal Tiongkok ini. Mereka selanjutnya akan bekerja di PT Huadi Nikel untuk  membangun smelter di Kabupaten Bantaeng. Sebelumnya mereka akan menjalani tes swab dan karantina selama 14 hari. 

Bagaimanapun, masuknya TKA China ini akan membuat rakyat merasa terkhianati berkali-kali lipat. Betapa tidak, angka pengangguran di Indonesia masih tinggi, banyak orang kesulitan mencari lapangan pekerjaan. Belum lagi maraknya PHK akibat melemahnya ekonomi global selama pandemi, tapi TKA masih saja direkrut. Ibaratnya rakyat sendiri diberi jalan tanah yang berbatu, tetapi TKA diberi karpet merah dengan penyambutan yang gegap gempita atas nama industri strategis. Bahkan pada saat genting seperti ini, dimana semua pintu harus ditutup, rakyat berjibaku dengan penyekatan dijalan-jalan, pengusiran terhadap pedagang dan kerumunan, warga asing yang "bukan siapa-siapa" malah melenggang masuk dengan nyamannya. Sungguh sebuah ironi kejam.

Dengan segala carut marut pelaksanaan PPKM ini, tampaknya sulit memberikan hasil yang efektif. Dalam pengelolaan negara seperti sekarang, akan sangat sulit bagi negeri ini keluar dari kesulitan pandemi dan dampak multi dimensi yang disebabkan olehnya. Bagaimana tidak sulit, jika seluruh SDA negeri ini diserahkan pengelolaannya kepada asing, kita hanya bisa gigit jari menyaksikan perampokan yang terus terjadi. Bagaimana tidak sulit, jika hutang negara terus meroket sedangkan tulang punggung utama ekonomi negara hanya bersumber dari pajak. Sungguh, bagaimana tidak sulit jika pengelolaan negara ditujukan hanya untuk keuntungan para penguasa dan pemilik modal? Mungkinkah rakyat mengecap buah manis dari kekejaman sistem kapitalisme? Sudah saatnya kita meninggalkan sistem yang menyengsarakan umat manusia ini. 

Wallahu a'lam bis'shawab.