-->

PP KEK Lido, Untuk Kepentingan Siapa?

Oleh : Dwi P Sugiarti
(Aktivis Muslimah Majalengka)

Presiden Joko Widodo telah resmi menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) No. 69 Tahun 2021 tentang Kawasan Ekonomi Khusus Pariwisata di kawasan MNC Lido City di Kabupaten Bogor, Jawa Barat yang didirikan PT MNC Land Lido, anak usaha PT MNC Land Tbk milik pengusaha Hary Tanoesoedibjo. (kontan.co.id,17/06/2021)
Dengan luas area 1.040 ha, terbitnya PP tentang KEK Pariwisata Lido ini secara praktis seluruh investor dan pelaku usaha di dalam KEK MNC Lido City sudah dapat menikmati insentif yang melekat pada kawasan ekonomi khusus. 

Menurut Hary, insentif tersebut terdiri dari  insentif pajak berupa pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), PPh Badan, Cukai, dan Bea Masuk Impor, serta berbagai keuntungan bagi investor terkait lalu lintas barang, ketenagakerjaan, keimigrasian, pertanahan dan tata ruang, perizinan berusaha, dan/atau fasilitas serta kemudahan lainnya.

Keuntungan Bagi Korporat

Sebelum terbitnya PP ini, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf/Baparekraf), Sandiaga Salahuddin Uno mengaku optimis dengan adanya pembangunan Kawasan Ekonomi Eksklusif (KEK) Lido City akan dapat membuka lapangan pekerjaan dan peluang usaha bagi masyarakat sekitarnya. Menurutnya, pembangunan yang dimulai pada masa pandemi Covid-19 ini diharapkan dapat menjadi momentum pemulihan perekonomian Tanah Air. Menparekraf/Baparekraf mencatat ada sekitar 105.000 lapangan pekerjaan yang dapat dibuka bagi masyarakat sekitar.

Jika dilihat, keberadaan pembangunan ini memang menjadi peluang terbukanya lapangan kerja baru bagi rakyat. Namun belajar dari proyek-proyek yang semisal, tentu tak serta merta membuka harapan masyarakat memperoleh pekerjaan baru di tengah sulitnya mencari lapangan kerja akibat badai PHK karena pandemi. Sebab keberadaan bisnis wisata kelas dunia membutuhkan pekerja dengan kemampuan bahasa asing yang kompeten. Sehingga faktanya kehadiran megaproyek MNC Lido City tidak berkolerasi dengan peningkatan ekonomi warga, yang terjadi justru hilangnya mata pencaharian penduduk yang didominasi sebagai petani.

Belum lagi masalah alih fungsi lahan, dimana kepemilikan hotel berbintang, resort, property, fasilitas atau kawasan wisata telah beralih dari masyarakat lokal pada pemilik modal yang tidak hanya dimiliki oleh kapitalis lokal, namun juga kapitalis asing. Dampak lain yang juga ditimbulkan adalah masalah pembangunan yang seringkali menyalahi AMDAL. Bahkan  setelah ditandatangani Presiden Joko Widodo menjadi Undang-Undang 11/2020 tentang Cipta Kerja, Amdal tidak diperlukan lagi dalam pembangunan KEK. Siapa lagi yang kelak terkena imbasnya kalau bukan rakyat sekitar? Lalu siapa yang sebenarnya mendapat untung kalau bukan para korporat?

Tak bisa dipungkiri, di balik jargon pariwisata ‘menggairahkan bisnis lokal’, justru pemiskinan terjadi secara masif di sejumlah lokasi wisata. Pembangunan mega protyek ini hanya milik segelintir pengusaha dan pemodal. Sehingga bukan hal yang aneh, jika pembangunan ekonomi dalam sistem kapitalis tak mampu memberikan pemerataan kesejahteraan namun justru menciptakan kesenjangan. Di sisi lain, keberadaan investasi tentu menjadi celah strategis untuk asing berkuasa di negeri ini. Sebab sektor pariwisata menjadi sektor yang menjadi salah satu pintu gerbang untuk memasukkan pemikiran/ budaya asing yang justru merusak generasi. 

Sistem Islam Bertugas Menegakkan Kalimatullah

Dalam Islam, syariat melarang pembiaran asing berkuasa atas kaum mukminin. Ia tidak akan membiarkan celah bagi asing berkuasa, sekalipun ‘hanya’ kerjasama bisnis pariwisata. Seorang pemimpin dalam Islampun tak hanya berfungsi sebagai regulator namun ia adalah pelayan bagi umat. 

Rasulullah SAW bersabda, ‘Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.’” (HR Ibnu Asakir, Abu Nu’aim).
sehingga fokus penguasa adalah kemaslahatan umat. Apalagi, dalam Islam, pariwisata bukan sumber devisa utama dan penopang ekonomi yang permisif demi menggenjot pemasukan. Negara mengandalkan sumber devisa utama dari pos fai-kharaj, kepemilikan umum dan pos sedekah.

Lebih dari itu, tujuan utama dipertahankannya pariwisata adalah sebagai sarana dakwah dan di’ayah (propaganda). Menjadi sarana dakwah, karena manusia biasanya akan tunduk dan takjub ketika menyaksikan keindahan alam. Tafakur alam akan menjadi sarana untuk menumbuhkan atau mengokohkan keimanan pada Allah SWT. Menjadi sarana propaganda (di’ayah), untuk meyakinkan siapapun tentang bukti-bukti keagungan dan kemuliaan peradaban Islam.Sehingga tugas penting sektor pariwisata adalah untuk mengagungkan Kalimatullah. 

Wallahu'alam.