-->

PPKM Level 4: Rakyat vs Korporat


Oleh: Ulfa Ayasofya

Serangan Covid-19 semakin menggila. Indonesia berulangkali memecahkan rekor kematian terbanyak akibat pandemi ini. Pada 23 Juli 2021, kematian harian Indonesia mencapai 1.566 kasus (Kemenkes RI 23/07/2021). Total kematian per 24 Juli 2021 mencapai 82.013 kasus (Kemenkes RI 24/07/2021). Positivity rate harian Covid-19 mencapai 25,24% (Kompas.com 24/07/2021). Angka ini melebihi standar yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yaitu 5% (CNN Indonesia 25/07/2021). Artinya, virus ini sudah tidak terkendali.

Keganasan virus semakin menjadi karena kurangnya sikap preventif dari penguasa. Dari awal masuknya virus, penguasa menunjukkan sikap denial. Epidemiolog sudah menyarankan untuk lockdown. Sayangnya, kebijakan ini tidak diterapkan dengan alasan ekonomi. Maka ada istilah PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) hingga PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat). Belakangan ini, muncul istilah PPKM Level 4 Jawa – Bali. Sejatinya, PSBB dan PPKM hanyalah alibi penguasa untuk menghindar dari kebijakan lockdown.

Kebijakan lockdown telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Karantina wilayah merupakan upaya pembatasan keluar-masuknya penduduk untuk mencegah penyebaran virus. Ketika penduduk Indonesia dilarang keluar negeri, semestinya tenaga kerja asing (TKA) dilarang masuk. Akan tetapi, selama PPKM darurat, ternyata 20 ribu TKA Cina lolos di Bandara Makassar. Pihak imigrasi berdalih bahwa TKA masih bisa masuk karena ditujukan untuk berkerja di proyek strategis nasional (Kompas.com 04/07/2021).

Penguasa memberi kesempatan TKA untuk bekerja, tetapi warganya kesulitan mencari makan. Selama PPKM Darurat jam mobilitas dibatasi, maka sektor informal terdampak kebijakan ini. Seperti diketahui bersama, mayoritas penduduk Indonesia bekerja di sektor informal. Misalnya pedagang pasar, pedagang keliling, dan pedagang kaki lima. Pendapatan mereka sifatnya harian, bukan gajian per bulan. Ketika jam kerja dibatasi, maka pendapatan mereka menurun, bahkan sangat mungkin rugi karena tidak balik modal. Jika tidak dapat uang, maka mereka tidak makan.

Pemerintah pernah mewacanakan bantuan uang Rp 300 ribu/bulan selama dua bulan, ditambah 10 kg beras. Umumnya keluarga terdiri dari empat orang: ayah, ibu, dan dua anak. Jangankan untuk sekolah daring, untuk makan saja jumlah sekian masih kurang. Padahal dalam UU Kekarantinaan disebutkan bahwa kecukupan hak dasar dijamin pemerintah pusat, termasuk makanan hewan ternak. Faktanya, wacana bantuan belum terlaksana sehingga memunculkan public distrust. Belum lagi korupsi bansos yang pernah terjadi, menjadikan rakyat makin “hilang rasa” pada penguasa.

Bukan salah rakyat jika nekat berjualan selama PPKM Darurat. Bagi mereka ada dua pilihan: mati karena Covid-19 atau mati karena kelaparan. Ketika uang tidak mencukupi kebutuhan rumah tangga, bagaimana mungkin mereka diam saja. Pasti akan mencari pendapatan tambahan di luar. Itu pun tidak semudah yang dibayangkan. Pada 7 Juli 2021, seorang tukang bubur di Tasikmalaya didenda 5 juta karena melayani pelanggan yang makan di tempat (Kompas.com 09/07/2021). Hakim mengatakan bahwa terdakwa melanggar perda Propinsi Jawa Barat Nomor 13 Tahun 2018 (Kompas.com 08/07/2021). Penghasilan yang tak seberapa tetapi didenda segitu banyaknya.

Di satu sisi penguasa menggalakkan aturan, tegas ke rakyat, bahkan sampai poin sanksi. Tetapi penguasa lupa bahwa kebutuhan dasar rakyat belum tercukupi. Pemerintah selalu menghindari lockdown, menggantinya dengan beragam istilah seperti PSBB dan PPKM. Kebijakan yang nanggung. Alih-alih menyelesaikan pandemi, tanpa lockdown persebaran Covid-19 makin mengingkat karena banyak rakyat yang nekat. Pertumbuhan ekonomi pun makin menurun. Namun pemerintah tetap berdalih, alasannya tetap sama, faktor ekonomi.

Negara yang dibangun atas dasar kapitalisme pasti akan mengedepankan faktor ekonomi. Sekalipun rakyat menjerit kelaparan, proyek infrastruktur tetap jalan. Infrastruktur yang digencarkan diataranya pembangunan jalan tol, pembangkit tenaga listrik, bedungan, dan rumah susun (CNN Indonesia 20/04/2021). Proyek tersebut tentu membutuhkan dana yang besar. Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBN) untuk infrastruktur tahun 2021 ini senilai Rp 414 triliun, lebih tinggi dari tahun lalu (Rp 281 triliun) (Bisnis.com 03.01/2021). Pembangunan infratruktur memang penting, tetapi seharusnya penguasa mempunyai skala prioritas.

Anggaran dana sebaiknya diprioritaskan dulu untuk penanganan Covid-19. Kebutuhan infrastruktur yang tidak mendesak hendaknya dihentikan sementara. Di saat fasilitas kesehatan semakin over kapasitas, stok oksigen semakin langka, dan persediaan vaksin menipis, harusnya penguasa berpikir kesana. Jangan melulu menyalahkan rakyat. Rakyat diminta taat protokol kesehatan tetapi penguasa tidak taat protokol kekuasaan (mengayomi rakyat). Maka ini kurang tepat. Dalam Islam, nyawa rakyat adalah tanggungjawab penguasa. Penguasa wajib memastikan kebutuhan rakyat terpenuhi sampai tingkat individu. 

Infrastruktur memang dibutuhkan. Namun, saat ini pembangunannya masih berbasis utang. Sejatinya utang luar negeri sangat berbahaya. Dalam sistem kapitalisme dikenal no free lunch. Di balik pemberian utang pasti ada kepentingan ekonomi atau politik. Apalagi utang tersebut berbasis riba. Maka dalam Islam utang seperti itu dilarang. Dalam Islam terdapat kepemilikan umum seperti  tambang, hutan, hasil laut, dan sebagainya. Maka hasil dari kepemilikan tersebut seharusnya dikelola oleh negara dan hasilnya untuk memfasilitasi rakyat, salah kesehatan, bukan malah diprivatisasi korporat swasta/asing. 

Masalah pandemi memang kompleks. Dibutuhkan solusi yang komprehensif, yaitu dengan sistem Islam dengan penguasa yang dapat dipercaya.

“Akan datang tahun-tahun penuh dengan kedustaan yang menimpa manusia, pendusta dipercaya, orang jujur didustakan, amanat diberikan pada pengkhianat, orang jujur dikhianati, dan Ruwaibidhah turut bicara.” Lalu beliau ditanya, “Apakah Ruwaibidhah itu?” Beliau menjawab, “Orang-orang bodoh yang mengurusi urusan rakyat” (HR Ibnu Majjah).