-->

Modifikasi Istilah Agar Lepas Tanggung Jawab


Oleh: Nabila Fadel

Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati. Ia heran karena pemerintah tidak menggunakan UU No. 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan untuk menjalankan kewajiban dalam penanganan pandemi Covid-19. (nasional.kompas, 18/7/2021)

Ia juga menambahkan, pemerintah seolah menghindari kewajiban memenuhi kebutuhan dasar warganya. Tampak dari berbagai istilah kebijakan pembatasan yang diterapkan pemerintah, baik itu PSBB ataupun yang kini berubah menjadi PPKM Darurat. Bahkan sekarang muncul istilah lagi PPKM level 1—4.

Kesekian kalinya rakyat mengalami kekecewaan, penderitaan. Pemerintah bersuara, demi menurunkan angka lonjakan pandemi yang makin meninggi, maka dibutuhkan PPKM Darurat, lalu kini memunculkan PPKM level 1—4. Rakyat pun tak bisa berbuat apa-apa selain menerima kebijakan dengan penuh kebingungan. Sebab begitu cepat diminta menghentikan aktivitas berdagang, menutup toko dan sejumlah warung makan serta menutup banyak tempat hingga rakyat sulit mencari makan. Sementara banyak masyarakat yang masih kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya. Tak memiliki bekal yang cukup selama PPKM darurat diterapkan, pemerintah pun abai atas kondisi tersebut.

Katanya, ada jaminan kesehatan, nyatanya kesehatan menjadi tanggung jawab masing-masing rakyat, vaksin pun sempat diwacanakan akan dikomersialkan. Katanya menjamin kebutuhan pokok dasar warga selama karantina, nyatanya tak semua orang bisa mendapatkannya. Katanya pandemi bisa dikendalikan, nyatanya masyarakat terus berguguran hingga makin penuh lahan perkuburan.

Dalam UU No. 6/2018, diatur mengenai karantina wilayah ketika terjadi kedaruratan kesehatan. Dalam Undang – undang tersebut dinyatakan bahwa selama karantina wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang ada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Maka, ketika PSBB atau PPKM diterapkan, pemerintah memodifikasi istilahn peraturan agar kewajiban dalam UU tersebut dilupakan hingga kebutuhan hidup masyarakatnya tidak terpenuhi.

Mungkin publik belum banyak mengetahui isi UU Kekarantinaan Kesehatan. Dalam Pasal 1 berbunyi, “Kekarantinaan kesehatan adalah upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/ atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat.” Jadi, pendekatan pemerintah dan aparat seharusnya kedaruratan kesehatan bukan darurat militer. Jelas keduanya sangat berbeda.

Kemudian, tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah tertuang dalam Pasal 4, yaitu melindungi kesehatan masyarakat dari penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat melalui penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan. Artinya, tanggung jawab ini tidak bisa beralih kepada warganya masing-masing untuk melindungi diri dari wabah penyakit. Setiap kesehatan masing-masing warga negara yang menjaminnya.

Selanjutnya dalam Pasal 8 berbunyi, “Setiap orang mempunyai hak mendapatkan pelayanan kesehatan dasar sesuai kebutuhan medis, kebutuhan pangan, dan kebutuhan kehidupan sehari-hari lainnya selama Karantina.”

Dari penjelasan setiap pasal tersebut dapat dipahami bahwa tidak ada alasan bagi pemerintah membiarkan warganya tidak makan, tidak mendapatkan pelayanan kesehatan, tidak memenuhi kebutuhan oksigen, memberikan insentif para nakes yang telah dijanjikan, dan lain sebagainya.

Jika rakyat diminta berkorban selama masa pandemi, bukan berarti harus menjadi korban kelalaian pemerintah mengurusi dan memenuhi kebutuhan  rakyatnya. Tak perlu juga meminta rakyat berkorban, karena nyatanya rakyat menjadi korban atas kebijakan yang diterapkan. 

Sistem kapitalistik yang dianut hanya berorientasi terhadap keuntungan semata. Sangat wajar ketika lahir para penguasa yang sangat mudah melepas tanggung jawabnya dalam memenuhi kebutuhan rakyat serta krisis kepekaan, kepedulian dan keprihatinan penguasa negeri ini terhadap kondisi rakyat pada saat ini.

Hal ini berbeda dalam pandangan islam. Islam telah mensyariatkan kepada para gubernur untuk peduli dan memperhatikan kondisi rakyatnya. Bukan untuk pencitraan karena mengawali menjabat ataupun selama menjabat demi mendapatkan simpatik rakyat. Para gubernur dalam Islam memastikan kondisi rakyatnya tanpa harus disorot awak media.

Bahkan, mereka mencontoh pemimpin di atas mereka, memastikan kondisi rakyat dengan sembunyi-sembunyi dan penyamaran. Tak jarang rakyat sering tidak mengetahui jika mereka sedang berhadapan dengan para pejabat Khilafah. Hingga Khalifah juga jajarannya memahami betul permasalahan yang dihadapi oleh rakyatnya.

Tepat pulalah dalam mengambil langkah-langkah solusi dan menetapkan berbagai kebijakan untuk menuntaskan masalah dengan cepat. Tanpa ada satu pun yang ditutup-tutupi oleh rakyat dan para pejabatnya. Bahkan, dengan ketegasan, seorang Khalifah Umar bin Khaththab pernah memecat seorang gubernur yang tidak melihat orang yang sakit dan tidak memperbolehkan orang-orang yang lemah masuk ke kantornya.

Luar biasa perhatian Khalifah dan jajarannya rakyat, hingga sulit menemukan celah atas kecacatan dari pengurusan mereka. Memang miris hidup dalam sistem demokrasi kapitalisme, pengurusan hajat hidup orang banyak malah dikomersialkan. Sudah seharusnya umat makin yakin untuk beralih kepada Islam beserta seperangkat aturannya, karena telah terbukti mampu mengurus rakyat, peduli, dan bertanggung jawab atas kebutuhan hidup mereka. 

Wallahu’alam bi showab