-->

Delusi Kesejahteraan Kolektif


Oleh: Devita Nur Arini Kusumah, S.Pd.

Hampir 2 tahun Covid-19 menghegemoni dunia khususnya Indonesia. Pandemi ini seolah menjadi trigger agar manusia me-review kembali mengenai orientasi dan gaya hidup yang tengah dijalani. Virus yang berasal dari Tiongkok ini bahkan sukses mengekspos kebobrokan peradaban yang sedang terengah-engah menuju kehancurannya. Ya, memang kapitalisme yang menjadi pijakan utama mayoritas negara saat ini memunculkan berbagai komplikasi multi dimensi seperti krisis ekonomi, kebijakan esensial dan sektoral. Secara eksplisit kapitalisme telah membuat jurang besar antara manusia dengan kesejahteraan. Kesejahteraan hanya ada dalam genggaman segelintir orang dengan tittle “kapitalis” yang memonopoli berbagai komoditas di seluruh dunia.

Setiap saat para kapitalis melalui prinsip kapitalismenya menciptakan jurang baru dengan mengeksploitasi SDM menengah-kebawah, menghisap kemampuan materi dan mendistorsi pemikiran umat agar kemampuan untuk bangkit itu tidak pernah digenggam atau bahkan tidak dipikirkan. Maka sangatlah wajar jika umat saat ini mengalami krisis multidimensi khususnya dalam bidang ekonomi, tak hanya di Indonesia tapi dibelahan dunia lain pun mengalami hal yang serupa. Hal tersebut berakar dari pemikiran yang jumud atau lebih layak kita sebut pemikiran yang “dijumudkan” oleh sekelompok orang yang tidak menghendaki kebangkitan umat. Bahkan jika kita melompat lebih jauh maka dapat dilihat bahwa kapitalisme-lah sejatinya yang telah mereproduksi pandemi ketengah-tengah kita saat ini.


PPKM Darurat dan Jeritan Rakyat

Melonjaknya kasus Covid-19 secara eksponensial pada pertengahan kuartal kedua tahun 2021 mengantarkan duka. Angka kematian akibat Covid-19 terus meningkat signifikan, hal tersebut mendorong pemerintah untuk segera mengambil keputusan solutif. Kebijakan PPKM Darurat kemudian digulirkan untuk menanggulangi lonjakan kasus, pembatasan kegiatan di sektor perkantoran, tempat ibadah, pendidikan, perdagangan, fasilitas umum, d.l.l.. Kebijakan ini tentu memunculkan side effect untuk masyarakat, disatu sisi pemerintah menginginkan masyarakat mengurangi produktivitas diluar rumah agar penyebaran virus tidak meningkat, tapi di sisi lain pemerintah tidak memberikan garansi materil untuk masyarakat yang terdampak kebijakan tersebut. Tentu masyarakat yang berpenghasilan harian adalah kelompok yang paling terdampak atas kebijakan ini, bagaimana tidak? Kebijakan ini membuat penghasilan mereka turun drastis karena pembatasan kegiatan. Tak hanya itu badai PHK juga menerpa pekerja, hingga mereka sulit melakukan usaha. Lebih dari itu tindakan aparat penertib masyarakat yang tertangkap kamera penuh arogansi sehingga menambah duka masyarakat.

Narasi “Tidak akan ada warga negara yang dibiarkan kelaparan” (www.merdeka.com / 11 Juli 2021) dari pemerintah akhirnya berbanding terbalik dengan situasi yang terjadi. Rakyat yang dipandang “nakal” karena tidak patuh terhadap aturan PPKM sejatinya merupakan kelalaian pemerintah itu sendiri. Jika kebutuhan pangan masyarakat terpenuhi dengan baik, tentu mereka tidak akan mempertaruhkan dirinya untuk keluar rumah mencari nafkah. Jika dirunut root cause polemik saat ini, kita akan mendapati bahwa hegemoni dari pandemi di Indonesia ini bermuara kembali pada pemerintah yang tidak cepat tanggap saat awal kemunculannya di Wuhan. Masih kita ingat bagaimana gelak tawa pejabat saat itu meremehkan Covid-19 dan tetap mempersilakan WNA masuk ke dalam negeri bahkan hingga hari ini.

“Nasi sudah menjadi bubur” mungkin hanya kiasan inilah yang dapat kita katakan hari ini, mengingat pandemi yang semakin menguras energi dan nadi. Harapan masyarakat pupus dan kepercayaannya pun tergerus pada pemerintah, menyisakan fragmen kekecewaan padanya. Meski demikian pemerintah baik pusat maupun daerah telah berjuang semaksimal mungkin, namun agaknya sulit bagi masyarakat mereset kembali memori mereka mengenai anomali kebijakan dalam penanganan pandemi ini. 

Bantuan sosial yang dinarasikan pemerintah masih menyisakan masalah, selain dana bansos yang “dipenggal” beberapa waktu yang lalu, hilal cair dan jumlah bantuan tersebut masih belum jelas, padahal kondisi masyarakat sudah sangat kritis saat ini. Pemerintah juga enggan mengeluarkan kata “karantina” yang merupakan kata kunci penanganan secara komprehensif. Patut diduga, keengganan pemerintah mengeluarkan kata “karantina” dalam kebijakannya merujuk pada Undang-undang No. 6 Tahun 2018 BAB III Pasal 8, yang mana pemerintah harus memenuhi kebutuhan kehidupan sehari-hari masyararakat selama masa karantina. Jelas memenuhi kebutuhan itu bukan hanya urusan pangan saja namun mencakup sandang, kesehatan, dan lainnya. Tanggung jawab pemerintah dalam memenuhi kebutuhan masyarakat yang sedang dikarantina membutuhkan dana yang besar, apalagi pemerintah saat ini memiliki triliyunan hutang keluar negeri.

Pada akhirnya, kesejahteraan yang diidamkan masyarakat harus “digantungkan” lagi hingga waktu yang entah kapan bisa terealisasi. Kapitalisme yang mencengkram Indonesia memang seolah-olah enggan untuk mengangkat kesejahteraan secara kolektif. Baginya kesejahteraan hanya milik segelintir orang yang memujanya yakni para kapitalis. Maka sungguh sangat wajar bagi para kapitalis untuk bersulang dimeja penderitaan rakyat dan sukses menciptakan delusi kesejahteraan dibawah panji demokrasi.

Masyarakat seharusnya memaksakan diri untuk bangkit menyongsong perubahan hakiki dengan solusi islam sebagai dasar aqidah mereka, bukan kembali terhanyut dalam lantunan irama semu demokrasi. Selayaknya kita kaum mukmin, tidak peduli seberapa berat konsekuensi Aqidah yang kita miliki seharusnya itu menjadi kunci atas langkah kita dengan pasti. Tidak ada solusi lain bagi manusia jika ingin kesejahteraan dunia datang dan keselamatan akhirat dijelang yakni dengan menggunakan Hukum Allah sebagai asas kedaulatan negara. []