Akankah Kapitalisme Mewujudkan Keadilan?
Oleh: Ummu Hanan (Aktivis Muslimah)
Kalangan figur publik kembali tersandung kasus narkoba. Kali ini kasus penyalahgunaan narkoba jenis sabu menimpa artis Nia Ramadhani dan suaminya Ardi Bakrie. Pihak kepolisian menetapkan keduanya bersama seorang yang juga diduga menjadi bagian dari kasus penyalahgunaan narkoba ini. Kasus bermula ketika polisi menangkap seorang sopir yang berinisal ZN pada Rabu (7/7). Melalui sopir ini ditemukan barang bukti satu klip sabu sebesar 0,78 gram serta pengakuan bahwa barang tersebut merupakan milik Nia. Ketika pihak kepolisian melakukan penangkapan Nia juga mengaku dirinya mengonsumsi sabu bersama suaminya (cnnindonesia,09/07/2021).
Beberapa pihak mempertanyakan keseriusan pihak penyidik dalam menuntaskan kasus Nia Ramadhani. Hal ini tidak berlebihan mengingat Nia adalah salah seorang artis kenamaan tanah air yang bersuamikan pengusaha. Terlebih dalam proses penyelesaian kasus ini pihak penyidik tidak menghadirkan sosok Nia dan suaminya dengan alasan masih mengumpulkan semua bukti dan meminta keterangan kepada para tersangka. Selain itu, pihak kepolisian selaku penyidik juga menyebut bahwa pengguna narkoba diwajibkan untuk rehabilitasi sebagaimana tercantum dalam pasal 54 Undang-Undang No.35 tahun 2009 (merdeka.com, 10/07/2021).
Keseriusan aparat dalam menegakkan hukum menjadi perkara yang sangat mendesak. Masyarakat membutuhkan adanya kejelasan tindakan yang akan diberikan pada kasus figur publik ini. Meskipun kepolisian telah menetapkan status tersangka atas keduanya namun pihak kuasa hukum Nia dan Ardi akan berupaya mengajukan permohonan rehabilitasi. Menurut kuasa hukum Nia dan Ardi keduanya hanyalah korban dari peredaran narkoba. Berdasar pada UU Nomor 35 tahun 2009 opsi rehabilitasi wajib diberikan kepada korban penyalahgunaan narkoba (megapolitan.kompas,10/07/2021)
Peredaran narkoba seolah menjadi sebuah lingkaran setan yang sulit untuk diputus. Tiada henti kita dapati kabar yang menyebut adanya kasus penyalahgunaan narkoba, mulai dari level masyarakat biasa, aparat, hingga figur publik. Narkoba nampak sebagai barang haram namun keberadaannya sangat dicari. Tak dipungkiri lemahnya penerapan hukuman dan sanksi atas pelaku penyalahgunaan narkoba telah berkontribusi atas penambahan kasus narkoba di masyarakat. Semakin hari jumlah pemakai dan pengedarnya makin bertambah tanpa dapat terdeteksi siapa gerangan bandar kelas kakapnya.
Pemberlakuan sanksi atas pelaku narkoba terkesan tidak tegas dan tebang pilih. Adanya opsi rehabilitasi bagi pelaku narkoba dapat menjadi jalan terlepasnya seseorang dari jerat hukuman dengan dalih sebagai korban. Di sisi lain keberadaan bandar ataupun pemasok utama narkoba begitu tersembunyi keberadaannya. Disinilah keberadaan hukum terasa sangat tumpul ke atas karena bersinggungan dengan kepentingan banyak pihak. Sebaliknya jika perkara hukum menimpa rakyat kecil maka seketika itu pula penerapan sanksi tajam menimpanya.
Maraknya kasus narkoba di negeri ini menjadi bukti gagalnya sistem hukum dalam memberikan efek jera. Hukum yang bersandar pada asas kapitalisme telah menjadikan kepetingan segelintir orang sebagai ukuran dijalankannya hukuman. Pada pelaksanannya, hukum bergantung kepada siapa yang menjadi objek pelakunya bukan kepada kejahatan yang telah dilakukan. Dengan kondisi seperti ini kejahatan menjadi liar dan kendalikan oleh mereka yang kuat secara kapital maupun kekuasaan. Adapun rakyat hanya dapat menyaksikan ketidakadilan yang dipertontonkan di hadapan mereka.
Berbeda dengan kapitalisme, syariat Islam mampu mewujudkan keadilan hukum di tengah masyarakat. Dalam pengaturan sistem Islam hukum tegak di atas asas aqidah. Pelaksanaan hukum berada di bawah kepemimpinan seorang Khalifah dan dibantu oleh aparat negara yang berada di bawahnya. Dalam negara Khilafah dikenal adanya Qadha atau peradilan. Keputusan yang dihasilkan dalam pengadilan Islam bersifat mengikat dan tidak dapat dibatalkan. Karenanya sistem peradilan islam tidak mengenal istilah banding atau yang semisalnya.
Ketegasan penerapan hukum dalam sistem peradilan Islam mencakup seluruh pihak yang terbukti bersalah di pengadilan. Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, putra dari gubernur Amru bin Al Ash pernah dihukum karena telah memukul seorang pemuda di Mesir. Pemberlakuan hukuman setimpal atas kejahatan yang telah dilakukan mampu menghadirkan efek jera, terlebih ketika objeknya adalah penguasa atau orang yang berpengaruh di masyarakat. Bahkan Rasulullah Saw. suatu ketika pernah bersabda sekiranya Fatimah putri Beliau mencuri maka Beliau sendiri yang akan memotong tangannya.
Keadilan menjadi perkara langka dalam sistem peradilan kapitalisme. Kapitalisme telah menempatkan kepentingan sebagian kelompok kaya dan penguasa sebagai penentu keputusan. Hukum menjadi sangat tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Peradilan ala kapitalisme telah gagal memenuhi rasa keadilan di tengah manusia. Syariat Islam hadir memberikan tuntunan paripurna atas manusia. Hukum yang bersumber dari pengaturan Islam mampu memberikan rasa adil karena berpijak pada aturan Pencipta, Allah SWT dan tentunya akan sesuai dengan fitrah manusia.
Posting Komentar