Pemerintah Koruptif dan Oligarki, Rakyat Harus Bagaimana?
Oleh: Desi Novitasari, SE (Aktivitas Muslimah Bangka Belitung)
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menpolhukam), Mahfud Md meminta masyarakat tak sepenuhnya kecewa kepada pemerintahan yang dinilai koruptif dan oligarki. Sebab, kata dia, ada kemajuan dari waktu ke waktu yang terus dilakukan pemerintah.
Dikutip dari Tempo.co, Mahfud Md mengatakan dari sejak era Presiden Soekarno, tingkat kemiskinan terus ditekan dari yang awalnya sangat tinggi, hingga mencapai 11,9 persen pada akhir era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Di era pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo, angka ini terus ditekan hingga 9,1 persen. Masuk ke periode kedua Jokowi, Mahfud menyebut tingkat kemiskinan kembali naik ke 9,7 akibat pandemi Covid-19 yang menyerang sejak tahun lalu.
Dia menambahkan bahwa ini artinya ada kemajuan meski banyak korupsinya. Indonesia ini kaya raya. Meski jika dikelola secara koruptif, itu manfaatnya tetap banyak oleh rakyat. Apalagi jika dikelolanya nanti secara bersih dari korupsi.
Mahfud mengatakan korupsi memang bisa dilihat sebagai fenomena pelanggaran hukum. Tapi dalam disertasinya, ia mengatakan baik buruknya hukum itu tergantung pada demokrasinya. Jika demokrasinya berjalan baik, maka hukum akan baik. Kalau demokrasinya buruk, maka hukum juga akan buruk. Dalam pendapatnya tersebut, rakyat diminta agar tidak sepenuhnya kecewa dalam penerapan sistem demokrasi yang ada di Indonesia meski dinilai koruptif dan oligarki. Dengan perkataannya pula, Mahfud menilai bahwa penerapan hukum yang bersifat koruptif dan oligarki tersebut dipengaruhi oleh demokrasi yang berjalan buruk.
Data menunjukkan kasus korupsi di Indonesia pada tahun 2020 saja sangat mencengangkan publik. Di tahun 2020 kasus korupsi PT Asuransi Jiwasraya (persero) bahkan di sebut sebagai kerugian besar bagi negara oleh Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) yang mencapai hingga belasan triliun rupiah. Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut, terdapat 1.298 terdakwa kasus korupsi di Indonesia sepanjang tahun 2020. Terdapat 1.218 perkara korupsi baik yang diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Pengadilan Tinggi, hingga Mahkamah Agung, dengan total 1.298 terdakwa.
Menilik dari data tersebut, sikap kita sebagai seorang muslim dan sebagai warga negara yang mencintai negeri ini seharusnya tak hanya kecewa, namun harus menyadari bahwa akar permasalahan di negeri ini adalah sistem sekuler yang turunannya adalah demokrasi. Rakyat harus aktif mendorong berbagai pemangku kepentingan untuk menghentikan praktik pemerintah sekuler yang memisahkan agama dari aturan kehidupan.
Islam sebagai agama yang sempurna memiliki seperangkat aturan termasuk bagaimana mengatur dalam lingkup negara. Islam sendiri dengan tegas melarang korupsi. Nabi Muhammad SAW sudah mengantisipasi umatnya untuk mencegah terjadinya konflik kepentingan yang bisa melahirkan korupsi. Contohnya ketika adanya konflik kepentingan antara petugas pemungut zakat yang juga sekaligus pendakwah Islam di Yaman.
Kala itu, petugas tersebut ditugaskan di Yaman karena masyarakatnya sedang dibina mengenai zakat. Nabi kemudian mengutus Mu’az bin Jabal ke Yaman sebagai juru dakwah. Dalam pengakuan Mu’az bin Jabal, sesaat setelah Nabi melepasnya dan Abu Musa al-Asy’ari ke Yaman, Nabi ternyata melupakan satu wasiat penting. Hingga akhirnya, beliau mengutus kembali seseorang agar mereka kembali baru dilepaskan lagi. Usai mereka kembali, peristiwa ini pun terekam dalam hadis shahih riwayat Ahmad: “Dari al-Hars bin Amr dari beberapa orang teman-teman Mu’az, sesungguhnya Nabi mengutus Mu’az dan beliau bertanya: ‘bagaimana kamu akan memutuskan hukum?’, Mu’az pun menjawab akan memutuskan hukum dengan dasar Kitabullah.
Kemudian, Rasulullah bertanya kembali: ‘Kalau tidak kamu dapatkan dalam Kitabullah?’, Muaz menjawab akan merujuk dasar sunnah Rasulullah. Rasul bertanya lagi: ‘Kalau tidak kau dapatkan dalam sunnah Nabi?’ Muaz menjawab akan melakukan ijtihad dengan pemikirannya. Mendengar ini, Rasulullah pun bersabda: ‘Segala puji bagi Allah yang telah menolong utusan Rasulullah SAW,”.
Rasulullah juga berpesan kepada Mu’az untuk tidak melakukan korupsi terhadap apapun selama bertugas menjadi pendakwah dan pejabat di Yaman. Berdasarkan hadis riwayat At-Tirmizi diceritakan:
“Dari Mu’az bin Jabal, ia berkata: Rasulullah mengutus saya ke Yaman. Ketika saya baru berangkat, beliau memerintahkan seseorang untuk memanggil saya kembali. Maka saya pun kembali dan beliau berkata: apakah engkau tahu aku mengirimmu orang untuk kembali? Janganlah kamu mengambil sesuatu tanpa izin saya, karena hal itu adalah ghulul. Dan barangsiapa berlaku ghulul, maka ia akan membawa barang yang digelapkan atau dikorupsi itu pada hari kiamat. Untuk itulah aku memanggilmu. Sekarang berangkatlah untuk tugasmu.
Atas dasar hadis tersebutlah, cakupan ghulul pada tahun ke-10 hijriah bukan hanya sebatas pada harta rampasan perang sebagaimana yang terjadi di tahun sebelumnya. Uang tip, pelicin, dan uang keamanan masuk dalam kategori tindakan korupsi. Dalam istilah Nabi, uang-uang ini disebut al-maksu atau pungutan liar.
Begitulah aturan Islam mengenai korupsi, larangannya tegas dan jelas. Maka solusi pemerintahan yang koruptif dan oligarki adalah kembali pada islam dan berlakunya Islam adalah solusi tuntas bagi kemajuan dan pemerintah yang bersih.
Wallahu a'lam bishshawab.
Posting Komentar