-->

PNS Fiktif, Uang Negara Raib


Oleh: Adzkia Mufidah, S.Pd

Baru-baru ini kembali beredar opini terkait banyaknya PNS fiktif. Meskipun isu ini sudah ada sejak bertahun-tahun yang lalu, namun tampaknya hingga sekarang belum ada penyelesaiannya. 


Berdasarkan hasil Pendataan Ulang Pegawai Negeri Sipil (PUPNS) yang dilakukan pada September-Desember 2015, BKN sudah merilis penjelasan mengenai 97.000 PNS yang tidak terekam datanya.  Adapun penyebab ribuan data tersebut tidak terekam yakni karena: Mengalami kesulitan akses melakukan pendaftaran ulang Status mutasi Status meninggal Status berhenti atau sejenisnya yang tidak dilaporkan oleh Instansi kepada BKN. (kompas.com, 2021/05/26).


Menurut Anggota Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda, terungkapnya data PNS fiktif sebanyak 97 ribu orang adalah musibah dalam penataan kepegawaian di tanah air….


“Negara telah dirampok triliunan rupiah akibat hal ini. Dengan asumsi satu orang PNS berpangkat III/A menerima gaji (pokok) Rp2 juta per bulan. Maka potensi kerugian negara hampir Rp2,5 triliun per tahun,” terangnya.


Jika ini telah berlangsung puluhan tahun, tambah Rifqi, maka nilainya tentu sangat fantastis dan miris di tengah krisis APBN akibat pandemi Covid-19 ini. (metropolitan.id/2021/05/26)


Hal senada juga disampaikan oleh Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Guspardi Gaus, tak menutup kemungkinan terjadi persekongkolan sejumlah pihak dalam kasus puluhan ribu PNS fiktif ini. Ia pun mendesak pemerintah mengusut tuntas temuan Badan Kepegawaian Negara (BKN).


"Tidak bisa sendiri itu, yang terkucur dana terus menerus, tiap bulan menerima gaji. Bisa saja dia berkolusi dengan institusi atau atasan yang bersangkutan," kata Guspardi kepada wartawan, Rabu (26/5/2021).


Legislator asal Sumatera Barat ini menambahkan, data fiktif 97.000 PNS ini memalukan dan menunjukkan manajemen kepegawaian negara begitu lemah dan amburadul, apalagi perkara tersebut sudah mencuat sejak 2014. (nasional.sindonews.com. 26/05/2021).


Terlepas dari adanya dugaan kolusi terkait persoalan PNS fiktif tersebut, yang jelas negara tekor alias dirugikan. Pasalnya dana pensiun tetap mengalir dan dibayarkan oleh negara pada sesuatu yang tidak ada wujudnya, selama bertahun-tahun. Maka tidak berlebihan jika ada yang menyebutnya dengan PNS siluman-perampok uang negara.


Sungguh ironis memang. Di tengah krisis keuangan yang melanda akibat dampak pandemi covid-19 yang tak kunjung teratasi, negeri ini masih harus dihadapkan dengan persoalan PNS fiktif. 


Kalau dicermati tampaknya permasalahan pendataan seolah enggan absen dari negeri +62. Hampir setiap tahun terjadi. Tidak hanya pada kepegawaian. Tapi juga pada bagian yang lain. 


Masih segar dalam ingatan kita bagaimana kacaunya pendataan terhadap masyarakat penerima bantuan, baik bantuan sembako, bantuan sosial tunai,  BLT  dana desa, dan lain-lain. Hal tersebut telah menyebabkan penyaluran bantuan menjadi salah sasaran. 


Ini membuktikan telah terjadi kelalaian administrasi. Pun terkait pendataan PNS. Pemutakhiran data  pegawai sepertinya belum dilakukan secara maksimal. Akibatnya triliunan uang negara raib. Jumlah tersebut cukup besar dan akan sangat bermanfaat seandainya digunakan untuk membantu masyarakat miskin yang sekarang kian bertambah jumlahnya.


Namun, lagi-lagi pemerintah mengeluarkan seribu macam alasan guna membela diri. Mulai dari kesulitan akses melakukan pendaftaran ulang, status mutasi, status meninggal, status berhenti dan alasan lainnya. Hal ini tentu aneh. Bukankah sarana dan teknologi sekarang telah berkembang? Tidak bisakah hal itu dimanfaatkan untuk mengoptimalkan pendataan PNS?.


Adanya persoalan PNS fiktif, menunjukan betapa kacau dan amburadulnya manajemen kepegawaian di negara ini. Di samping itu ini juga menunjukkan lemahnya kontrol penguasa terhadap pejabat dan orang-orang yang bekerja di bawahnya. Padahal keberadaan dan kewajiban mereka sesungguhnya adalah untuk mengurus rakyat dengan benar.  


Sungguh kelalaian demi kelalaian, bahkan juga berbagai kerusakan terus dipertontonkan di depan kita. Inilah buah dari diterapkannya sistem batil, sistem demokrasi-kapitalis. 


Hal ini sangat jauh berbeda dengan sistem Islam. Seluruh pegawai yang bekerja pada sistem pemerintahan Khilafah diatur sepenuhnya di bawah hukum-hukum ijarah (kontrak kerja). Mereka mendapatkan perlakuan adil sesuai dengan hukum syariat. Hak-hak mereka sebagai pegawai dilindungi Khilafah. 


Sebagai pegawai, mereka bertugas melayani urusan-urusan rakyat sesuai dengan tugas dan fungsi mereka di masing-masing departemen, jawatan, dan unit. Mereka tidak dibebani dan dituntut melakukan tugas-tugas di luar tugas yang telah diakadkan dalam akad ijarah.


Sementara itu, dalam posisi mereka sebagai rakyat, Khilafah akan melayani dan memperlakukan mereka secara adil, sehingga apa yang menjadi hak mereka terpenuhi secara sempurna. Efeknya, seluruh pelayanan urusan dan kepentingan rakyat pun berjalan dengan mudah, cepat, dengan hasil yang sempurna.


Terkait pendataan pegawai, Khalifah akan selalu melakukan pembaruan data kepegawaian dengan memanfaatkan berbagai sarana maupun teknologi. Di samping itu pula, ada kontrol dan evaluasi ketat yang dilakukan setiap kepala pada masing-masing departemen. Semua terpusat dalam kendali Khalifah. 


Oleh karenanya, hal ini akan mampu meminimalkan adanya kelalaian para pegawai. Sebab, tidak  ada peluang untuk melakukan kecurangan serta penipuan. Bahkan khalifah tidak segan-segan memecat pegawai negara yang melanggar aturan serta menyusahkan rakyatnya.


Meski begitu, khalifah juga tidak ragu memberikan gaji dan tunjangan yang menyejahterakan para pegawai negara. Hal ini pernah dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Beliau misalnya, menggaji pegawai negaranya sebesar 300 dinar.


Saat beliau ditanya mengapa begitu besar menggaji pegawainya, ia menjawab, “Aku ingin membuat mereka kaya dan menghindarkan mereka dari pengkhianatan.” (Abdullah bin Abdul Hakam, Biografi Umar bin Abdul Aziz).


Selain itu, karena para pegawai tersebut telah dibekali dengan pemahaman yang benar  terkait kewajiban mereka ketika mereka direkrut, sehingga mereka paham bahwa mengurusi urusan saudaranya merupakan hal yang lebih utama. 


Ditambah dengan  dorongan ketaqwaan  individu para pegawai maka mereka tidak akan pernah berpikir mengambil hak orang lain. Sebab mereka tahu betul bahwa nafkah yang halal, yang diperoleh dari hasil usaha sendiri merupakan nafkah yang terbaik. Dan Allah sebaik-baik pengawas mereka.


Sungguh hanya sistem Islam satu-satunya yang dapat melahirkan para pejabat dan pegawai yang memahami hak dan kewajiabannya dengan baik. Mereka bekerja semata-mata atas dasar ibadah kepada Allah dan untuk meraih ridho-Nya. 

Wallahua’lam