-->

Kekerasan Berbasis Gender Online

Oleh : Rania

Dilansir dari https://id.safenet.or.id lonjakan kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO) tercatat signifikan selama masa pandemi COVID-19 di 2020. Berdasarkan Catatan Tahunan 2021 yang dirilis pada 5 Maret 2021, Komnas Perempuan menyebutkan mereka menerima sebanyak 940 kasus KBGO sepanjang 2020, yang menunjukkan peningkatan lebih dari 3x lipat dibanding 281 kasus di tahun sebelumnya. LBH APIK Jakarta juga menghadapi lonjakan kasus KBGO sebanyak 307 kasus sepanjang 2020, yang jelas meningkat dibandingkan 17 kasus KBGO dalam bentuk kekerasan seksual yang difasilitasi teknologi digital yang diterima pada 2019.

Peningkatan kasus kekerasan ini salah satunya diakibatkan oleh terjadinya pandemi covid-19 yang melanda. Kebiasaan normal baru yang memaksa semua orang untuk tinggal di rumah saja secara otomatis meningkatkan intensitas penggunaan platfrom digital. Semua orang melakukan aktivitas sehari-hari melalui ruang digital untuk memenuhi kebutuhan bersosialisasi. Secara otomatis, segala bentuk interaksi baik fisik maupun sosial juga hanya dapat dilakukan secara terbatas. Akibatnya, tingkat stres meningkat dan menyebabkan meningkatnya tindakan KBGO secara eksponensial.

KBGO merupakan bagian dari kekerasan seksual. Kekerasan seksual merupakan pelanggaran hak asasi manusia, kejahatan terhadap martabat kemanusiaan, serta bentuk diskriminasi yang harus dihapuskan. Kebanyakan korban kekerasan seksual adalah perempuan dan anak perempuan sehingga kekerasan seksual juga merupakan kekerasan berbasis gender yang menyasar pada manusia karena jenis kelaminnya perempuan atau mengalami diskriminasi karena relasi kuasa yang timpang.

Kekerasan seksual menimbulkan dampak luar biasa kepada korban, meliputi penderitaan psikis, kesehatan, ekonomi, dan sosial hingga politik. Dampak  kekerasan seksual sangat mempengaruhi hidup korban. Dampak semakin menguat ketika korban adalah bagian dari masyarakat yang marginal secara ekonomi, sosial dan politik,  ataupun  mereka yang memiliki kebutuhan khusus, seperti orang dengan disabilitas dan anak.

Hingga kini hukum positif belum mampu memberikan perlindungan komprehensif korban. Termasuk di dalamnya menjamin kerugian fisik dan psikis korban, rehabilitasi korban dan juga pelaku,  belum mampu melindungi hak-hak korban, menangani kasus secara komprehensif, dan mencegah keberulangan terjadinya kejahatan seksual.

Pendekatan pendidikan masyarakat juga tidak kalah pentingnya  untuk memberikan penyadaran moral dan teologis bahwa kekerasan seksual tidak saja mencederai harkat dan martabat kemanusian, melainkan lebih dari itu. Kekerasan seksual melanggar moral dan nilai-nilai agama yang tidak hanya dipertanggungjawabkan di dunia, melainkan juga di akhirat kelak. Salah satu upaya membangun kesadaran itu adalah dengan terus menerus mensosialisasikan, bahwa kekerasan seksual adalah kejahatan besar yang menjadi   musuh utama agama, di samping penuhanan kepada selain Tuhan Yang Maha Esa.

Sebagai agama yang anti kekerasan, tidak terlalu sulit untuk menyimpulkan bahwa Islam adalah salah satu agama yang turut menyerukan penghapusan kekerasan seksual, mulai dari pelecehan seksual sampai pada perbudakan  dan eksploitasi seksual. Puluhan ayat-ayat Alquran yang menggugah dan membangun kesadaran masyarakat patriarki bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah bertentangan dengan nilai-nilai tauhid dan al-karamah al-insaniya. 

Solusi islam terkait pencegahan kekerasan seksual didunia maya khususnya bagi perempuan. Mereka harus senantiasa berpakaian yang menutup aurat (tidak menimbulkan syahwat), menjaga interaksi dengan lawan jenis kecuali dalam hal yang diperbolehkan seperti bermuamalah atau sebagainya, dan dari sisi perilaku harus terikat dengan hukum islam termasuk di ranah online.