-->

Pergantian Pemimpin di Tengah Masa Jabatan, Untuk Apa?

Oleh : Puspita NT

Rencana Reshuffle menteri telah dicanangkan oleh Presiden dalam waktu dekat. Hal ini memang menjadi kewenangan penuh presiden di dalam sistem politik demokrasi. Namun harapannya, reshuffle yang dilakukan tidak sekedar bentuk balas budi kepada mereka yang berjasa atas kepemimpinan yang terbentuk dari pemilu sebelumnya.

Sebagaimana yang disampaikan oleh Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Ahmad Syaikhu ketika merespons isu perombakan kabinet (reshuffle) Indonesia Maju Jilid II tersebut. Syaikhu berharap, reshuffle dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bukan untuk kepentingan  akomodasi politik, melainkan untuk membantu kerja presiden dalam menjalankan roda pemerintahan kedepan.

Selalu ada perdebatan ketika isu perombakan kabinet muncul. Perdebatannya selalu soal apakah ada kepentingan akomodasi politik atau perselingkuhan penguasa dengan partai saat menentukan pergantian menteri tersebut. Seolah menjadi hal yang biasa ketika ada reshuffle,  hampir bisa dipastikan ada udang di balik batu.

Posisi pemimpin adalah tempat bergantung rakyatnya. Mereka adalah tempat meminta ketika lapar, tempat mengadu untuk mendapat keadilan, tempat dimana jaminan kemaslahatan rakyat disandarkan. 

“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari)

Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW bersabda, 

”Sesungguhnya al-Imam (Khalifah) itu perisai, di mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dll)

Jelas  bahwa fungsi pemimpin adalah sebagau raa'in ( penggembala / pemimpin) dan Junnah ( perisai).

Makna raa‘in (penggembala/pemimpin) adalah “penjaga” dan “yang diberi amanah” atas bawahannya. Rasulullah saw memerintahkan mereka untuk memberi nasehat kepada setiap orang yang dipimpinnya dan memberi peringatan untuk tidak berkhianat. 

Imam Suyuthi mengatakan lafaz raa‘in (pemimpin) adalah setiap orang yang mengurusi kepemimpinannya. Lebih lanjut ia mengatakan, “Setiap kamu adalah pemimpin” Artinya, penjaga yang terpercaya dengan kebaikan tugas dan apa saja yang di bawah pengawasannya (serambinews.com, 07/07/2017)

Dalam sejarah kegemilangan Islam, sosok raa’in ini salah satu nya bisa kita lihat pada sosok Khalifah Umar Bin Khattab ketika memanggul sendiri sekarung gandum untuk seorang janda yang anaknya menangis kelaparan. Bukan hanya itu, Sang Khalifah juga memasak dan memastikan rakyatnya yang dijumpai nya kala itu sedang butuh makanan, sampai benar-benar kenyang.

Begitu juga yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz, yang berusaha keras memakmurkan rakyat dalam 2,5 tahun pemerintahannya sampai-sampai tidak didapati seorangpun yang berhak menerima zakat.

Adapun makna Junnah adalah perumpamaan sebagai bentuk pujian terhadap imam yang memiliki tugas mulia untuk melindungi orang-orang yang ada di bawah kekuasaannya sebagaimana dijelaskan oleh al-Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, “(Imam itu perisai) yakni seperti as-sitr (pelindung), karena Imam (Khalifah) menghalangi/mencegah musuh dari mencelakai kaum Muslimin, dan mencegah antar manusia satu dengan yang lain untuk saling mencelakai, memelihara kemurnian ajaran Islam, dan manusia berlindung di belakangnya dan mereka tunduk di bawah kekuasaannya.”

Begitu pentingnya peran pemimpin, tentu dalam proses pemilihannya membutuhkan pertimbangan bahkan aturan khusus yang tentu bukan dari akal manusia. Seperti apa pemimpin yang harus dipilih, Islam punya aturannya. Begitupun ketika masa akhir jabatan tidak bisa begitu saja di putuskan. Termasuk juga ketika butuh ada pergantian pemimpin di tengah-tengah masa jabatan, pun harus menggunakan prinsip Islam. Ketika pengaturannya menggunakan Islam, maka jelas tidak ada lagi kepentingan satu atau beberapa orang. Semua nya demi menjalankan syariat Islam semata . 

Imam Abu Hamid al-Ghazali dalam kitabnya al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd hlm. 128 mengumpamakan diin dan kekuasaan (kepemimpinan), sebagai saudara kembar. Beliau berkata :

“Al-Dîin itu asas dan penguasa itu penjaganya, maka apa-apa yang tidak ada asasnya maka ia akan roboh dan apa-apa yang tidak ada penjaganya maka ia akan hilang.”