-->

Parade Perebutan Kekuasaan dan Kepemimpinan Islam

Oleh : Desti Ritdamaya
(Praktisi Pendidikan) 

Walaupun bukan tahun politik, parade ‘panggung’ kekuasaan tergelar di hadapan publik. Media massa dan sosial pun ramai melansirnya. Seperti pelantikan kepala daerah terpilih dari pilkada 2020, walaupun ada yang menyandang status terdakwa; kudeta kepemimpinan salah satu partai politik, dan gonjang ganjing Kongres Luar Biasa (KLB); Rakernas beberapa partai politik menuju 2024; konsolidasi dan survei calon presiden dan wakil presiden 2024; jualan hoaks dan buzzer dalam arena politik.

Tak dipungkiri hingar bingar politik dan kekuasaan tak pernah sepi. Syahwat kekuasaan begitu kental mewarnai sampai terbentuk politik dinasti dan oligarki. Tak ada kawan dan musuh sejati, menjadi slogan abadi. Para kontestan politik, tak ada beban saat mengumbar janji kampanye. Karena memang hanya pemanis di bibir. Rakyat hanya menjadi lumbung suara saat pemilu. Ketika kekuasaan diraih dan ‘langgeng’, tercapai dan terpuaskan asa jabatan, materi dan kepentingan diri dan kelompok. Tak perduli janji sudah menguap kemana, yang penting bagi-bagi jatah angpau dan kursi. 
Padahal jeritan rakyat kecil senantiasa terdengar di pelosok negeri. Apalagi di masa pandemi seperti sekarang. Data dari situs covid19.go.id, tercatat 1.379.662 kasus  per 7 Maret 2021. Covid-19 terus memakan korban dan kematian pun mengintai anak negeri.

BPS mencatat peningkatan angka kemiskinan sebesar 10,19 persen pada September 2020.  Dengan garis kemiskinan sebesar Rp 458.947/kapita/bulan terdapat 27, 55 juta orang miskin. Apabila standar kemiskinan merujuk pada bank dunia, maka angka ini akan melonjak tajam. 

Jumlah pengangguran pun setali tiga uang, BPS mencatat pandemi menyebabkan 2,56 juta penduduk menjadi pengangguran. Terdapat 24,03 juta penduduk bekerja dengan pengurangan jam kerja (www.bps.go.id, 15/02/2021). 
Peningkatan kemiskinan dan pengangguran berimbas pada kriminalitas. Mabes Polri mencatat angkanya meningkat tajam sebesar 5,08 persen. Pada minggu pertama 2021 saja terdapat 4.650 kasus kriminalitas (www.medcom.id, 19/01/2021). Belum lagi masalah pendidikan, kesehatan, hukum dan  sosial lain yang menggunung. Apakah ada tuan puan berdasi dan berkursi yang peduli? Miris.

Inilah realitas politik dan kekuasaan di alam demokrasi kapitalis. Kekuasaan dipakai untuk orientasi duniawi. Bukan melayani tapi minta dilayani. Ini terjadi tak lepas dari asas mendasarnya, yaitu kedaulatan dan kekuasaan di tangan rakyat. Rakyat memiliki kekuasaan memilih anggota perwakilannya yang duduk di parlemen dan pucuk pemimpin. Perwakilan rakyat inilah yang diberikan kedaulatan untuk merancang, memilih dan menetapkan peraturan yang berlaku dalam kehidupan publik. Sedangkan pemimpin yang terpilih melaksanakan amanat dari perwakilan rakyat untuk melaksanakan peraturan tersebut.

Kekuasaan wakil rakyat dan pemimpin secara periodik (5 tahun misalnya) pun berimplikasi politik machiavellist sistemik. Mengapa? karena untuk mendapatkan kekuasaan,  tak sedikit dana kampanye yang harus dikeluarkan. Acapkali mereka mendapat suntikan dana dari pemilik kapital. Dukungan dana ini tentu bukanlah free lunch. Dibaliknya ada perjanjian dan etika balas budi. Sehingga ketika mereka berkuasa ada timbal balik kepentingan dan materi yang terjadi dengan pemilik kapital. Penguasa ingin selalu mempertahankan materi melalui kekuasaannya. Sedangkan pemilik kapital ingin selalu mempertahankan kepentingannya, atau sebaliknya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum. Tak perlu diperdebatkan. 

Sekulerisme menjadikan agama terlepas dari peraturan kehidupan bernegara. Kekuasaan dan politik tak dikaitkan dengan pertanggungjawaban di hadapan Allah. Adanya kekuasaan hanya menjadikan syari’at Allah sebagai prasmanan bukan kewajiban. Secara sistemik, ini menjadikan segenap elemen negara diikat untuk meminggirkan dan menjauhkan diri dari syari’at Allah. 

Politik dan Kepemimpinan dalam Islam

Islam sebagai ideologi memberikan aturan kehidupan kaffah. Termasuk di dalamnya tentang politik dan kepemimpinan. Dalilnya tak hanya termaktub dalam Al Quran tapi juga diperkuat oleh hadits. Rasulullah SAW telah mencontohkan secara langsung terkait kepemimpinan dalam Islam. Adanya Bai’at Aqabah dua, secara de facto menjadikan Rasulullah SAW sebagai kepala negara di Madinah. Selanjutnya kepemimpinan Beliau digantikan oleh khalifah Abu Bakar Ash Shidiq. Kekhalifahan ini bahkan terus berlanjut dan berjalan sampai lebih dari 13 abad lamanya. Sampai yang terakhir khalifah Abdul Hamid II di Turki Utsmani. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW dalam hadits.

كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ تَكْثُرُ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ وَأَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ 

Artinya :  Dulu Bani Israil selalu dipimpin/diurus oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, datang nabi lain menggantikannya. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku; yang ada adalah para khalifah yang banyak." Para sahabat bertanya, "Apa yang engkau perintahkan kepada kami?" Beliau menjawab, "Penuhilah baiat yang pertama; yang pertama itu saja. Berikanlah kepada mereka haknya, karena Allah nanti akan menuntut pertanggungjawaban mereka atas rakyat yang diurusnya  (HR al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).

Berdasarkan hadits di atas, ada beberapa point penting yang harus dipahami. 

Pertama, Rasulullah SAW memberikan bisyarah bahwa pemimpin dalam Islam setelah Rasulullah SAW adalah khalifah. Sistemnya dalam bentuk kekhilafahan. Artinya sistem demokrasi sekuler yang dianut oleh sebagian besar negeri-negeri muslim hari ini, tidak sesuai dengan tuntunan dari Rasulullah SAW.  

Kedua, hadits di atas menjelaskan tentang makna politik (as siyasah). Lafadz tasusu dalam hadist di atas berasal dari kata sasa-yasusu-siyasah. Makna as siyasah dalam Islam adalah ri’ayah syu’un al ummah (pengaturan dan pemeliharaan urusan-urusan umat). Dalam kitab al ahkam as sulthaniyyah, Mawardi menjelaskan bahwa khalifah berperan sebagai pengganti Nabi. Kewajiban yang harus dilakukannya adalah menegakkan din (agama) dan mengatur kehidupan dunia dengan syari’at Allah. 

Pundak politikus dan pemimpin memikul tanggung jawab besar untuk penegakan agama dan syari’at Islam dalam kehidupan. Tujuannya haruslah lillah (untuk Allah), bukan li ghayrillah (selain Allah) seperti materi, popularitas dan kepentingan. Termasuk pengkhianatan kepada Allah dan RasulNya apabila sengaja melalaikan tanggung jawab ini. Bahkan di akhirat akan menjadi kehinaan dan penyesalan. Yaitu bagi yang memintanya secara berambisi tapi sengaja melalaikan tanggung jawab, atau memiliki niat baik tapi lemah dalam memegang tanggung jawab ini. Hal ini disampaikan oleh Rasulullah SAW kepada Abu Dzar ra.

يَا أَبَا ذَرٍّ، إِنَّكَ ضَعِيْفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ، إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيْهَا

Artinya : “Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah, sementara kepemimpinan itu adalah amanat. Pada hari kiamat nanti, ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali orang yang mengambil dengan haknya dan menunaikan apa yang seharusnya ia tunaikan dalam kepemimpinan tersebut" (HR Muslim).

Bagi yang bertaqwa menjadi politikus dan pemimpin adalah ujian bahkan musibah. Sikap ini ditunjukkan oleh Umar bin Abdul Azis. Beliau begitu terkejut dan mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi raji’un ketika dipilih menjadi khalifah. Bahkan Beliau menangis terisak-isak saat hendak dibai’at kaum Muslim. Beliau berpidato : “taatlah kamu kepadaku selama aku ta’at kepada Allah. Jika aku durhaka kepada Allah, maka tak ada keharusan bagimu untuk taat kepadaku”.
Ketaqwaan mengarahkannya untuk amanah terhadap tanggung jawab kepemimpinan. Sehingga hanya dalam waktu 2,5 tahun,  kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan dirasakan oleh rakyat kekhalifahan Islam saat itu. 

Jika hari ini syari’at Allah masih ditelantarkan dalam kehidupan bernegara; kemiskinan atau masalah sosial lainnya menumpuk dan tak terurus; maka takutlah wahai para pemimpin dan politikus. Karena Allah akan meminta pertanggungjawabannya!   

Wallahu a’lam bish-shawabi.