-->

Gender Setara, Sesuaikah dengan Fitrah?

Oleh : Maulinda Rawitra Pradanti, S.Pd
(Lingkar Studi Muslimah Bali)

Bulan Maret selalu saja hangat dengan berita kesetaraan gender. Pasalnya tanggal 8 Maret memang menjadi ceremonial khusus, yakni memperingati International Woman’s Day atau Hari Perempuan Internasional. Hari tersebut selalu digelorakan oleh para feminis kepada kaum perempuan untuk menuntut haknya agar mereka dianggap setara kedudukannya sebagaimana para pria.

Para perempuan diopinikan bahwa mereka juga harus mampu bekerja di luar rumah untuk menghasilkan pundi-pundi rupiah untuk memenuhi kebutuhannya. Sebagaimana para lelaki yang mampu bekerja pagi hingga petang dan menghasilkan banyak rupiah.

Namun ternyata tuntutan untuk menyetarakan kedudukan ini tidak terlepas dari opini para kapital untuk mengeksploitasi kaum perempuan. Perempuan diimingi-imingi posisi yang mentereng mengalahkan para lelaki. Perempuan dijadikan seorang pemimpin perusahaan. Perempuan dijadikan bahan promosi untuk menarik pembeli, dan seabrek posisi yang biasanya diduduki oleh para lelaki.

Hal inilah yang jarang disadari oleh kaum hawa. Kebanyakan mereka hanya melihat nikmatnya saja agar bisa bekerja di luar  rumah atau bekerja di kantor-kantor layaknya para pria. Memimpin perusahaan terkenal dan bebas mengatur siapapun tanpa melihat  gender. Padahal kesetaraan gender pada hal-hal seperti itu bukanlah fitrah seorang perempuan.

Istilah kesetaraan gender ini mulai muncul di kalangan perempuan Barat karena disebabkan mereka tak mendapatkan haknya dan adanya diskriminasi terhadap peran perempuan di tengah-tengah masyarakat.

Ditambah pula dengan adanya rasa ketidakadilan yang di dapat oleh kaum buruh perempuan terkait upah dan jam kerja sebagaimana yang terjadi pada tahun 1908 di New York, AS. Gerakan kesetaraan gender semakin menguat saat PBB mengakui gerakan ini pada tahun 1975.

Di dalam Islam, perempuan memang dibolehkan untuk bekerja namun dengan berbagai pertimbangan dan bidang pekerjaannya pun disesuaikan dengan kapasitas perempuan. Tentu jenis pekerjaannya pun bukan jenis pekerjaan lelaki yang notabene perlu tenaga ekstra.

Di dalam Islam, perempuan sangatlah dimuliakan. Dijaga kehormatannya dan dilindungi keberadaannya serta mengharamkan siapapun untuk mengeksploitasi diri perempuan. Maka dari itu Islam sangatlah memperhatikan pembagian peran antara perempuan dan laki-laki, termasuk dalam pemenuhan kebutuhan dan pekerjaan yang dilakukan.

Perempuan sesuai fitrahnya adalah sebagai al umm wa rabbatul bait. Sementara lelaki adalah al qowwam. Dikatakan al umm wa rabbatul bait, berarti seorang perempuan diperintahkan untuk menjadi  seorang ibu dan pengatur urusan rumah, sementara al qowwam adalah pemimpin dalam pengaturan tersebut. Tentu tanggung jawab al qowwam lebih besar daripada al umm.

Akan tetapi  perbedaaan tanggung jawab ini sesungguhnya tidaklah menjadi ajang kompetisi yang saling mengungguli ataupun saling bersaing satu sama lain. Justru inilah yang sesuai dengan fitrah. Karena perempuan dan lelaki memiliki sifat dan kemampuan yang  berbeda. 

Di samping itu, perempuan dan lelaki juga memiliki beban hukum yang berbeda, seperti berpakaian, mencari nafkah, pembagian harta waris, perwalian, dan lain lain. Dengan pembagian peran ini maka seorang perempuan dan laki-laki tidak dibolehkan mencapur adukkan ataupun membalikkan fakta yang  tidak sesuai dengan fitrahnya.

Jika peran antara perempuan dengan lelaki dibalik, maka yang terjadi adalah kekacauan dan ketimpangan dimana-mana. Seperti ibu yang harus bekerja memenuhi nafkah keluarga sementara si ayah tinggal di rumah mengurus anak dan rumah. Sungguh inilah fakta yang sudah banyak terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Akibatnya pendidikan anak kurang terarah, pekerjaan domestik di dalam rumah pun kacau balau. Sang ibu pun juga semakin jauh dari fitrahnya karena sibuk mengurusi pekerjaan di luar rumah. Sehingga ketika terjadi percekcokan antara ibu dan ayah, tidak menutup kemungkinan ketahanan keluarga akan berada di ujung tanduk perceraian. Dan anak lagi lagi menjadi korbannya.

Oleh karena itu kesetaraan gender yang digencarkan oleh para feminis tidaklah sesuai dengan ajaran Islam. Maka seorang muslim tidak dibolehkan mendukung ide kesetaraan gender. Seorang muslim diperintahkan berperilaku sesuai dengan fitrah yang telah diberikan oleh Allah dan diminta untuk ridha terhadap kelebihan ataupun kekurangannya masing-masing. Disinilah taawun (tolong menolong) harus dilakukan untuk mendukung dan menopang kekurangan-kekurangan yang ada.

Dengan demikian, maka kesetaraan antara perempuan dan laki-laki hanya dalam perkara keimanan dan ketakwaan kepada Allah saja bukan kepada perkara-perkara yang bersifat materi sebagaimana yang digencarkan oleh para feminis.

Allah berfirman di dalam Alquran surah al-Hujurat ayat 4 yang artinya: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertakwa.”

Wallahu a’lam bish showab.