-->

Menakar Tanggung Jawab Negara Dalam Penanganan Covid-19

Oleh: Ummu Tsabit

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menginginkan alat pendeteksi Covid-19, Gajah Mada Elektric Nose Covid-19 atau GeNose C19 digunakan secara massal. Ia bahkan berencana untuk menggunakan alat buatan dalam negeri itu di berbagai fasilitas umum, mulai dari ruang lingkup administrasi masyarakat hingga fasilitas transportasi umum. Dengan harga yang jauh lebih murah ketimbang alat pendeteksi Covid-19 lainnya, GeNose diklaim memiliki tingkat akurasi mencapai 90 persen (Kompas, 25 Jan 21).

Implementasi alat pendeteksi Covid-19 GeNose akan dimulai di stasiun-stasiun kereta pada 5 Februari 2021. Bertahap setelah itu baru pesawat terbang. Biaya tes GeNose sendiri diharapkan bisa di bawah Rp20.000. Sebelumnya penumpang kereta api jarak jauh diwajibkan melakukan rapid test antigen yang harganya mencapai ratusan ribu rupiah. Jika metode Rapid test dan PCR menggunakan sampel darah dan nasofaring, GeNose hanya dengan embusan napas yang disimpan dalam kantung udara. Kemudian kantung udara tersebut dihubungkan ke alat GeNose yang sudah didukung Artificial Intelegence (AI) atau kecerdasan buatan. Menurut Kepala Produksi Konsorsium GeNose C19 Eko Fajar Prasetyo, sistem GeNose dapat mendeteksi virus dalam waktu 50 detik.

Genose sendiri telah disetujui oleh kementrian kesehatan dan diharapkan bisa diproduksi bulan Januari 2021, namun produksi secara massal masih terkendala kapasitas karena proyek perguruan tinggi tidak ada kapasitas produksinya. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin lalu meminta kepada Bio Farma untuk melakukan pendekatan kepada sejumlah perusahaan baik berupa BUMN maupun pihak swasta untuk memproduksi alat skrining Covid-19 ini. Ketua Satgas Covid-19 Doni Monardo juga semangat membeli alat tersebut tapi masih terkendala kesulitan mengejar kapasitas produksi.

Melihat dari masih tingginya kasus positif Covid-19 tak bisa dipungkiri pengadaan alat pendeteksi virus Covid-19 tersebut memang sangat dibutuhkan mengingat akurasi, jangka waktu deteksi virus dan biaya yang lebih terjangkau dibanding alat yang sudah ada sebelumnya. Terlebih bagi mayoritas masyarakat yang selama ini enggan melakukan test disebabkan harus mengeluarkan dana sendiri. Diharapkan dengan biaya yang lebih murah banyak masyarakat yang secara sadar memeriksakan dirinya terutama jika terdapat gejala yang mengarah pada terinfeksi virus Covid-19.

Masyarakat tampaknya harus lebih bersabar melihat kenyataan bahwa produksi alat GeNose secara massal yang masih belum jelas kapan bisa direalisasi. Pemerintah sendiri sebenarnya memiliki perusahaan BUMN yaitu PT Pindad yang sudah lama beroperasi di bidang alat pertahanan negara seperti senjata api. Namun dalam negara yang menganut sistem ekonomi kapitalis sepertinya banyak faktor yang menjadi perhitungan dalam produksi alat tersebut, seperti dari mana sumber dana ataupun prediksi keuntungan apa yang bisa diambil jika memproduksi secara massal. 

Inilah realita penanganan sistem kesehatan di negara Indonesia yang menganut ideologi sekuler kapitalis. Segala hal dihitung berdasarkan untung rugi termasuk pelayanan terhadap masyarakat di tengah pandemi yang merebak. Unsur perlindungan terhadap nyawa rakyat bukan lagi prioritas utama, hal ini terlihat sejak awal pandemi dimana bukannya melakukan lockdown tapi pemerintah malah membuka lebar-lebar sektor pariwisata yang bisa menjadi salah satu faktor pemicu penularan virus Covid-19 di Indonesia.

Sejak awal pemerintah terlihat gagap menangani penyebaran virus yang menggila, hal ini diakui oleh Wakil Presiden Ma’ruf Amin bahwa terdapat ego sektoral dan tumpang tindih regulasi antara instansi satu dengan yang lain sehingga menghambat penanganan pandemi Covid-19. Contoh nyata adalah ketidaktegasan aparat pemerintah dalam melakukan pembatasan kegiatan yang melibatkan banyak orang (social distancing), terlihat pada banyaknya kasus pengerahan massa yang mewarnai kegiatan pilkada menjelang akhir tahun 2020 tadi. Dan yang terakhir adalah kebijakan pemberian vaksin Covid-19 yang menuai kisruh karena faktor keamanan yang belum diyakini oleh masyarakat dan adanya sanksi bagi mereka yang menolak untuk divaksin.

Tingginya kasus positif dan kematian akibat virus Covid-19 semakin menegaskan rendahnya kemampuan negara melindungi rakyatnya, kebijakan yang diambil pun terkesan mencla-mencle seperti saat pemerintah nekat menggelontorkan dana di sektor pariwisata karena khawatir ekonomi negara terpuruk pada saat mewabahnya pandemi covid-19. Alhasil, daerah pariwisata seperti Bali menjadi zona merah penularan virus. Hal ini tidak bisa dihindari oleh negara penganut sistem ekonomi kapitalis yang selalu tawar menawar antara keuntungan ekonomi dengan nyawa rakyatnya sendiri.

Seperti inilah gambaran hubungan negara dan masyarakat dalam sistem sekuler kapitalis, kebijakan yang dibuat terkadang justru merugikan rakyat bahkan terkadang rakyat dijadikan ladang bisnis. Termasuk dalam pengadaan alat GeNose yang sangat dibutuhkan rakyat, peran negara sangat dibutuhkan dalam memfasilitasi penyediaan alat, distribusi ke semua tempat dan pelayanan secara murah atau gratis. Namun hal tersebut rasanya sulit terwujud karena anggaran yang minim di bidang kesehatan dan adanya mental bisnis yang membayangi setiap kebijakan pemerintah.

Selama sistem kapitalisme masih menjadi landasan negara dalam mengambil kebijakan di bidang kesehatan, maka sulit untuk mewujudkan perlindungan terhadap nyawa rakyat. Pemerintah akan sulit menunaikan tanggung jawab menjadikan kesehatan sebagai kebutuhan pokok tiap rakyat karena hubungan yang ada layaknya penjual dan pembeli, dimana pemerintah menyediakan layanan kesehatan dengan syarat rakyat menghargai dengan materi/uang. Artinya motif ekonomi menjadi landasan pelayanan dalam negara penganut ideologi sekuler kapitalis.

Berbeda dengan pelayanan kesehatan dalam Islam yang termasuk perkara pokok selain pangan, pakaian, tempat tinggal, keamanan dan pendidikan. Islam menjadikan perkara kesehatan sebagai hal penting karena kelalaian dalam hal ini bisa mengakibatkan hilangnya nyawa manusia. Islam tidak membeda-bedakan perlindungan kesehatan bagi rakyatnya yang muslim dengan non muslim. Hal ini karena pemimpin dalam Islam laksana perisai yang melindungi rakyatnya termasuk ketika wabah virus Covid-19 melanda. 

Islam juga menjelaskan aktivitas yang harus diambil ketika terjadi wabah yaitu dengan mengisolasi suatu wilayah yang terkena wabah, tidak boleh keluar dari wilayah tersebut dan terlarang memasukinya. Dengan demikian resiko penyebaran wabah bisa ditekan. Sebagai perisai, kepala negara juga dituntut untuk memberikan pengobatan kepada rakyat yang terinfeksi dengan menyediakan dokter dan obat-obatan secara gratis sehingga mempercepat proses kesembuhan pasien tertular. 

Segala daya akan dikerahkan penguasa/Khalifah untuk memutus penularan virus sebagai bentuk tanggung jawab penguasa terhadap rakyat. Termasuk dengan mengerahkan dana yang tidak sedikit di bidang pelayanan kesehatan. Diantaranya dengan memenuhi kebutuhan pokok rakyat terhadap pangan dalam suasana lockdown, pemerintah pun akan dengan tegas menerapkan protokol kesehatan, membatasi kegiatan massal sampai musibah virus bisa teratasi. 

Demikianlah, serangan virus Covid-19 menjadi ajang introspeksi bagi kaum muslim bahwa sistem pemerintahan yang ada saat ini tidak bisa memberikan jaminan kesehatan yang memadai. Sudah saatnya mengalihkan pandangan pada sistem hidup yang menjamin keselamatan bagi rakyat secara menyeluruh. Inilah sistem Islam yang berasal dari Zat yang Maha tahu mana yang terbaik bagi manusia. Seluruh kaum muslim harus menyadari hal ini dan berupaya mewujudkan kembalinya sistem pemerintahan yang akan menerapkan hukum syariat islam sehingga islam kembali menjadi pemecah persoalan manusia jika diterapkan secara menyeluruh. Wallahu a’lam.