Pendidikan Kapitalisme: Produsen Generasi Materialistik
Oleh: Mustika Lestari (Pemerhati Sosial)
Kenyataan yang tidak bisa dibantah, bahwa untuk kesekian kalinya sistem pembelajaran Indonesia terus berganti. Dalihnya adalah dunia mengalami perubahan yang sangat cepat sehingga sistem pembelajaran yang berlaku harus terus di-update dan di-upgrade sesuai kehendak zaman.
Dilansir dari m.medcom.id (16/1/2021), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim menyebut bahwa sistem pembelajaran berbasis proyek atau project based learning mesti digalakkan. Hal ini agar kolaborasi antar pelajar terus terbangun melalui proyek pembelajaran tersebut. “Makanya saya ingin semua project based learning. Saya ingin kuliah di project based learning, di sekolah project based learning. Jadi buat picu kemandirian, kolaborasi dan kreativitas,” kata Nadiem dalam siaran langsung instagram @unicefindonesia, Jumat (15/1/21).
Selain itu, Nadiem mengatakan bahwa kemampuan berkolaborasi di dunia pendidikan itu sendiri semakin dibutuhkan saat ini. Ia menilai, banyak orang tidak menyadari pentingnya kemampuan berkolaborasi yang tanpa memandang bentuk atau jenis proyek yang dikerjakan. Melalui kolaborasi, profil Pelajar Pancasila dapat muncul. Inilah yang menjadi tujuan dari sistem pendidikan Indonesia ke depan. “Kita menemukan profil Pelajar Pancasila yang sebenarnya arah sistem pendidikan kita ke sana,” terang Nadiem.
Orientasi Materi Melalui Dunia Pendidikan
Melihat arah kebijakan Nadiem di atas, tampak selaras dengan target Mendikbud untuk menyiapkan lulusan pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) maupun pendidikan perguruan tinggi (vokasi) yang diharapkan “siap pakai” di dunia kerja. Pembangunan dalam kemandirian, kolaborasi dan kreativitas terhadap jenis proyek yang dikerjakan akan diupayakan agar berpengaruh pada kualitas pendidikan (skill dan profesionalitas).
Dengan konsep link and match, konon akan berpengaruh pada perbaikan kualitas pendidikan tersebut, terkhusus penguasaan keahlian tertentu. Link and match sendiri merupakan penggalian kompetensi yang dibutuhkan pasar kerja ke depan, dengan paradigma orientasi pendidikan tidak lagi supply minded (orientasi jumlah) tapi lebih demand minded (kebutuhan) pasar. Pasalnya, program ini tidak hanya menguntungkan dunia pendidikan dengan menyinergikan antara pendidikan vokasi (termasuk SMK) dengan dunia industri, akan tetapi industri pun dapat merasakan hal yang sama dengan mendapatkan tenaga kerja handal, sekaligus menghemat pengeluaran untuk menjaring SDM baru yang sesuai dengan kebutuhan industri.
Dilansir oleh nasional.tempo.co dari laman resmi Kemendikbud, dalam program link and match menurut Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi, Wikan Sakarinto menyebut bahwa terdapat lima syarat yang harus diwujudkan. Pertama, pembuatan kurikulum bersama yang harus disetujui oleh industri dan disinkronisasi setiap tahunnya. Kedua, pihak industri diwajibkan memberikan guru atau tamu yang wajib mengajar minimal 50 jam per semester. Ketiga, memberikan kesempatan magang minimal satu semester kepada siswa SMK dan mahasiswa vokasi dari pihak industri yang dirancang bersama. Keempat, sertifikasi kompetensi, dimana kompetensi ini merupakan hal yang penting untuk lulusan vokasi menurut Wikan. Serta kelima adalah komitmen menyerap lulusan sekolah vokasi oleh industri.
Dari sini, tampak jelas kemana arah pendidikan Indonesia saat ini. Meski para praktisi pendidikan ketika berbicara tentang tujuan pendidikan itu sendiri secara latah akan merujuk pada UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3 bahwa, tujuan pendidikan adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif dan mandiri. Namun faktanya, semua itu hanyalah formalitas belaka.
Pendidikan sebagai salah satu pilar penting dari kemajuan sebuah bangsa, secara normatif seharusnya bisa membawa pelajar/peserta didik ke arah peningkatan kompetensi, keterampilan dan karakternya. Dalam hal ini, terkait kompetensi dan keterampilan bisa jadi Mendikbud dapat berbicara banyak melihat beragam upaya yang ingin diwujudkannya, meski bukan dengan orientasi yang tepat. Namun, terkait karakter nampaknya semakin menghawatirkan sebab kita bisa melihat potret pelajar yang kian mengalami krisis dalam berbagai dimensi kehidupan.
Adapun, menyoroti orientasi pendidikan saat ini dengan mantra “link and match” yang tengah didengungkan, hanya akan menjadikan generasi sebagai budak industri. Persoalannya adalah haruskah generasi muda kita dibuat menjadi “generasi tukang” oleh dunia pendidikan? Jika demikian, berarti dunia pendidikan berubah wajah menjadi arena pelatihan keterampilan belaka yang kemudian menciptakan pelayan-pelayan perusahaan multinasional, yang secara tidak langsung “sekolah” menjadi pabrik manusia yang siap kerja.
Padahal, terkait hal ini Pakar Tenaga Kerja Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Sukamdi pernah mengatakan bahwa memang persoalan yang mendasar sejak dulu adalah perencanaan di sektor pendidikan dan dunia usaha tidak pernah sejalan beriringan. Meski demikian, sektor pendidikan memiliki fungsi ideal untuk mencerdaskan bangsa, bukan sekadar memenuhi kebutuhan dunia usaha. “Konsep link and match bukan hanya mencocokkan supply and demand dunia usaha, sehingga tidak harus strict bahwa bidang yang dikembangkan itu yang dibutuhkan pasar,” ujar Sukamdi.
Sukamdi menambahkan, jangan sampai kebijakan ini menekankan sisi kognitif atau ranah kemampuan berpikir, tetapi tidak ada fokus dari peningkatan sisi afektif berupa sikap dan nilai-nilai kehidupan. “Jangan sampai kebijakan link and match membuat pendidikan nanti menekankan sisi kognitif tapi afektifnya tidak ada, nanti akan kacau jadinya,” tambahnya (m.cnnindonesia.com).
Maka, tidak bisa dinafikkan bahwa pendidikan di negeri yang berdiri atas Ideologi Kapitalisme ini sedang berjalan pada arah yang tidak jelas. Sistem pendidikan yang bercorak sekularisme menjadikan dunia pendidikan kontraproduktif antara visi dan misinya. Sekularisme, menurut Al-‘Allamah as-Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani (1953) adalah pemisahan antara agama dari kehidupan. Artinya, Islam hanya dijadikan sebagai agama ritual semata, sementara persoalan kehidupan harus steril dari aturan Islam. Akibatnya, lahirlah berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai agama, salah satunya sistem pendidikan yang penuh dengan materialistik, liberal dan disorientasi keimanan serta ketakwaan.
Di sisi lain, dalam paradigma kapitalisme-sekular ini meniscayakan negara berada dalam cengkraman tentakel korporat, sehingga mengorbankan rakyatnya untuk menjadi operator sekaligus pelayan terbaik bagi para pemodal di atas bayang-bayang rusaknya landasan kehidupan generasi bangsanya. Pelajar diarahkan bagaimana profesional dalam skill, berburu materi sebanyak mungkin, namun kering spiritual dan daya nalar kreatifnya dilumpuhkan dengan bayang-bayang semboyan “kerja, kerja, dan kerja” demi rupiah. Persoalan sistemik inilah penyebab pendidikan bangsa ini tidak mampu diwujudkan sebagaimana harapan bersama, yaitu berilmu, terampil, mandiri dan berkarakter.
Untuk itu, solusi tepat harus dilakukan secara fundamental yang hanya dapat terwujud dengan melakukan perombakan aturan secara menyeluruh. Diawali dari perubahan paradigma pendidikan sekular menjadi paradigma Islami yang shahih. Asas pendidikan itulah yang akan menentukan hal-hal paling prinsip dalam sistem pendidikan, seperti tujuan pendidikan dan struktur kurikulum menuju output generasi yang cemerlang.
Kembali Kepada Sistem Pendidikan Ala Islam
Islam membentuk setiap generasi Muslim menjadi generasi yang terbaik. Generasi cemerlang yang memurnikan kataatannya hanya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala semata, yang senantiasa menghiasi kehidupannya dengan ketaatan dan keteguhan, sehingga mempunyai tujuan dan visi hidup yang jelas. Dalam hal ini, Islam adalah agama yang sangat memperhatikan pendidikan guna melahirkan generasi terbaik tersebut.
Pendidikan dalam Islam secara garis besar memiliki tiga komponen pokok yaitu membentuk kepribadian Islam, menguasai tsaqofah Islam dan menguasai ilmu kehidupan (IPTEK, keahlian dan keterampilan). Hal ini dapat mencetak generasi unggul yang mahir dalam IPTEK, juga kokoh dalam kepribadian dan keimanannya.
Pertama, membentuk kepribadian Islam. Dalam hal ini, pendidikan wajib berlandaskan akidah Islam, dimana mata pelajaran dan metode penyampaiannya secara keseluruhan disusun tanpa ada penyimpangan sedikit pun dari asas Islam. Sehingga potret generasi yang lahir darinya adalah generasi yang berpola pikir serta sikap yang Islami. Kedua, menguasai tsaqofah Islam. Tsaqofah (ilmu-ilmu) Islam diajarkan disemua tingkat pendidikan. Dalam tingkat perguruan tinggi dibuka berbagai jurusan dalam berbagai cabang ilmu keislaman, misalnya ilmu fikh, ushul fikih, hadis dan lain-lain. Ketiga, menguasai IPTEK. Dalam Islam, ilmu-ilmu terapan dipisahkan dari imu tsaqofah. Ilmu terapan akan diajarkan menurut kebutuhan masyarakat dan tidak terikat dengan jenjang pendidikan tertentu. Misalnya, masyarakat pesisir dibuka jurusan teknik kelautan, atau di era digital seperti halnya saat ini akan dibuka jurusan multimedia dan sejenisnya. Dari lulusan itu, mereka akan mengabdikan ilmunya untuk kemaslahatan umat semata, bukan unsur lain apalagi kepentingan korporat.
Inilah solusi ala Islam yang bisa diimplementasikan agar visi-misi pendidikan negeri ini dapat tercapai secara menyeluruh. Dimulai dengan mengganti sistem yang rusak menuju sistem pendidikan Islam yang teratur. Salah satu contoh generasi Islam yang hidup dengan fasilitas pendidikan Islam, yaitu Abu Ali Al-Husein Ibnu Sina. Beliau adalah ilmuwan muslim dan filosof besar pada waktu itu, hingga kepadanya diberikan julukan Syeh Al-Rais. Istimewanya, umur 10 tahun sudah hafal Al-qur’an, usia 18 tahun sudah mampu menguasai semua ilmu yang ada pada waktu itu. Bidang keahliannya adalah ilmu Kedokteran, ilmu Fisika, Geologi dan Mineralogi.
Semua itu karena pada masa kejayaan peradaban Islam, remaja-remaja digembleng sejak dini sebagai aset umat. Dimulai dari pendidikan agama yang kuat, dididik untuk menjadi pribadi yang haus ilmu, cinta pada Al-qur’an, getol mempelajari, mengamalkan dan mengajarkannya. Tujuannya, semata-mata mengharap ridho Allah Subhanahu wa ta’ala, bukan orientasi duniawi. Dan Suasana ini hanya akan terwujud jika kehidupan ini ditopang oleh negara ideologis dan kuat dalam mengimplementasikan Islam secara Kaffah (keseluruhan) yaitu Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah.
Wallahu a’lam bi ash-shawwab.
Posting Komentar