-->

Dibalik Narasi Busuk Radikalisme

Oleh: Devita Deandra (Aktivis Muslimah)

Di tengah kondisi negeri yang sedang berduka akibat beberapa bencana yang terjadi sepanjang awal tahun ini. Rupanya narasi radikalisme, ekstremisme dan terorisme masih saja menjadi isu hangat yang selalu dimunculkan. Bahkan gaungnya melebihi banyaknya bencana yang menimpa bangsa.

Baru-baru ini calon Kapolri Komjen Listyo Sigit Prabowo angkat suara mengenai upayanya kedepan dalam mencegah berkembangnya paham radikalisme. Menurutnya, hal itu bisa dilakukan dengan cara menggandeng sejumlah tokoh agama, organisasi masyarakat (ormas), tokoh masyarakat, hingga komunitas sipil (cnnindonesia.com, 20/01/2021).

Setelah di sahkannya kebijakan RAN PE melalui UU No.7 tahun 2021, oleh Presiden Jokowi.  Tampaknya tahun 2021 merupakan tahun peningkatan aktivitas penanggulangan radikalisme terorisme. Sebagaimana kita pahami, isu-isu radikalisme terorisme menjadi concern utama pemerintah untuk menciptakan Indonesia yang lebih ramah terbebas dari gerakan ataupun aktivitas yang mengarah kepada aksi-aksi terorisme.

Maka tak heran dalam setiap pergantian Kapolri, isu penanggulangan radikalisme terorisme menjadi isu utama yang mesti diperhatikan dan diberi ruang khusus untuk ditangani

Lantas apa di balik Narasi Busuk Radikalisme?

Merunut definisi, radikalisme berasal dari bahasa latin "radix, radicis", yang berarti akar.  Di Indonesia juga dapat diperoleh definisi radikalisme dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).  Didapati kata radikal secara terminologi berarti (1) secara mendasar, sampai hal yang prinsip, (2) amat keras menuntut perubahan, (3) maju dalam berfikir atau bertindak. Jika kita terjemahkan kata radikal ini bermakna sebuah upaya dalam berfikir dan bertindak untuk sebuah perubahan. 

Namun, definisi ini berubah ketika global dalam hal ini AS mulai menjalankan proyek WoT.  Kata radikal ditambahkan  akhiran isme menjadi radikalisme yang dibawa pada ranah politik. Perubahan ini memiliki konsekuensi perubahan secara drastis terhadap makna radikal itu sendiri. Radikalisme akhirnya didefinisikan sebagai paham atau aliran radikal dalam politik yang menginginkan perubahan sosial dan politik berdasarkan kepercayaan agama dengan implementasi yang ekstrem.

Narasi radikalisme sebagai bagian dari tindakan untuk menangkal terorisme terus ditanamkan dan disematkan dalam benak negara-negara yang katanya berkomitmen aktif memerangi radikalisme itu sendiri. Indonesia sendiri mengamanatkannya dalam UU No. 5 Tahun 2018 tentang Penetapan Peraturan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang. Kata radikal selalu disandingkan dengan terorisme. Menurut hukum, radikalisme adalah suatu tindakan kekerasan untuk anti-pancasila, anti-NKRI, anti-kebhinekaan dan intoleransi. Maka untuk melawan radikalisme haruslah dilawan sebagaimana yang diartikan dalam hukum ini.

Namun, jika dicermati justru sasaran radikalisme, terorisme itu malah ditujukan kepada umat Islam. Dan kepada siapa pun yang menginginkan perubahan dengan kembali menerapkan hukum Islam bukan hukum atau sistem sekularisme yang di terapkan hari ini.

Alhasil, sebagai sebuah ideologi yang sahih, Islam mendapatkan berbagai tuduhan dan fitnah keji yang dilemparkan pihak-pihak lawan dalam peperangan ideologi. Islam dianggap ajaran yang menakutkan, mengajarkan kekerasan, ekstremisme ataupun terorisme. Sudut pandang inilah yang mendudukkan bahwa Islam dan para pengikutnya layak untuk dicurigai dan memiliki potensi untuk menyebarkan paham-paham radikal. Sehingga gerakan, organisasi ataupun individu yang bersinggungan dengan dakwah Islam kaffah dipanah dengan narasi yang menyesatkan. Pengajian-pengajian, masjid-masjid dan konten ceramah banyak diawasi.

Tentu saja tindakan dan fikiran demikian amatlah salah. Bagaimana mungkin, Islam dianggap mengajarkan sesuatu yang merusak sementara Islam itu sendiri adalah agama yang rahmatan lil'alamin? Tapi kesalahan berfikir telah menutupi kebenaran yang dibawa Islam. Kebencian dunia yang begitu takut akan bangkitnya kekuatan Islam politik menjadikan mereka memaksa banyak negara menjalankan proyek deradikalisasi. Semua jalan diupayakan. Termasuk dengan merangkul Ormas Islam untuk menangkal pergerakan radikalisme di Indonesia.

Hal ini sangat berbahaya. Pasalnya bisa menuai konflik antar sesama umat yang berjuang mendakwahkan ajaran Islam. Umat akan terpolarisasi menjadi dua kutub. Satu kutub gigih dan berkomitmen mendakwahkan Islam. Di kutub lain menjadi pihak yang melaporkan dakwah saudaranya. Jalan ini akan memecah kesatuan tubuh umat Islam. Umat akan saling mencurigai, mengintimidasi dan saling mengkriminalisasi.  Tentu hal ini bukanlah sesuatu yang diharapkan.

Sebab seharusnya saat ini, umat bersatu. Menyelesaikan masalah yang dihadapi bangsa ini yang disebabnya sistem sekular kapitalistik. Pandemi yang tak kunjung berakhir. Bencana yang melanda. Kebutuhan pokok yang makin mencekik, aset negara banyak beralih  ke swasta belum lagi utang negara yang makin bertambah. Apakah ini salah Islam? apakah ini akibat sistem Islam? tentu tidak, namun justru akibat di tinggalkannya hukum Islam.

Maka solusi problem hari ini tidak lain adalah Islam. Sebab Masalah bangsa ini bukanlah radikalisme, ekstremisme atau pun terorisme. Narasi-narasi tersebut adalah narasi busuk yang digunakan pihak-pihak tertentu untuk menutupi kegagalan dalam mengelola bangsa sekaligus semakin memudahkan asing untuk menjarah aset SDA bangsa. Sudah selayaknya Perpres ini dicabut, karena urgensitas kelahirannya tidak ada dan justru akan menyulut konflik antar anak bangsa.

Padahal, Islam menetapkan bahwa sesama muslim adalah saudara, “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (TQS. Al Hujurat : 10)

Sudah saatnya Islamophobia dihentikan, karena sudah terbukti merupakan bentukan asing Barat untuk menjauhkan Muslim dari Islam. Mengembalikan aturan kehidupan sesuai dengan aturan yang Menciptakan Kehidupan, Allah Azza wa Jalla. Sebab aturanNya adalah petunjuk, aturan yang sesuai dengan fithrah manusia, sehingga berlangsungnya kehidupan manusia terjaga dalam fithrahnya, menghadirkan rasa aman, dan menjauhkan dari perselisihan antarumat. Wallahu A'lam