-->

Negara Hilang Peran, Buntut Ormas Dibubarkan

Oleh : Nisa Revolter

Penamabda.com - Tahun 2020, tahun yang menyimpan aneka kisah. Begitu membuat mata terbelalak berkali-kali. Bahkan di penghujung tahun 2020 masih menujukkan kisah pilu. Betapa tidak, tindakan pembubaran ormas kembali dilakukan. Ormas FPI (Front Pembela Islam) resmi dibubarkan oleh pemerintah. Seluruh aktivitasnya diberhentikan. 

Dalam konferensi pers di kanal Youtube Kemenko Polhukam RI pada rabu (30/12), Mahfud Md secara resmi mengumumkan pelarangan aktivitas FPI dan menghentikan semua kegiatannya. Sebab FPI tidak punya legal standing baik sebagai ormas maupun organisasi biasa.

Sejak pengumuman resmi tersebut, dukungan terhadap Menkopolhukam datang dari segala sisi. Begitu mengapresiasi dengan tindakan pemerintah, karangan bunga terpampang di sejumlah instansi daerah Jawa Timur (Jatim). Beberapa ormas di antaranya, seperti Lembaga Aksi Bersama Rakyat Untuk Keadilan (LABRAK). Menurut koordinator LABRAK, Daniel Datih, FPI dengan berbagai aksinya tidak mencerminkan kepribadian bangsa yang cinta damai dan saling menghormati. Justru dapat merusak kebinekaan dan pluralisme di Indonesia.

Ormas yang baru saja dinobatkan terlarang itu dianggap telah melabrak aturan hukum. Pasalnya, FPI yang paling vokal melakukan sweeping dan menutup hiburan malam. Sedang menurut Datih, itu bukan tugas FPI, dalam hal ini aparat penegak hukum yang harusnya berwenang (telisik.id, 1/1/2021).

Ormas Hanya Ber-Amar Ma'ruf Nahi Mungkar, Kenapa Dibubarkan?

Jika kita teliti lebih dalam, aksi yang dilakukan FPI sebenarnya wujud dari kewajiban amar makruf nahi mungkar. Mencegah kemunkaran, dengan menutup pintu-pintu kemaksiatan. Hanya saja, aksi yang ditunjukkan mungkin mengarah kepada aksi fisik (secara paksa). Ini yang perlu disesalkan.

Namun, jika kita bisa lebih fair, dengan melihat sepak terjang FPI, tidak melulu sweeping atau menutup secara paksa klub-klub malam. Justru FPI lebih banyak terlibat dalam aksi-aksi kemanusiaan. FPI menjadi garda terdepan dalam membantu korban bencana. Tahun 2004, FPI terjun langsung di Aceh saat tsunami meluluhlantakkan Aceh. Mengevakuasi jenazah yang berserakan di bibir pantai Aceh. Tahun 2018, saat gempa di Palu, FPI yang pertama menyalurkan bantuan logistik kepada korban bencana. Tahun 2019, gempa menerjang Ambon, FPI yang juga mengurus penyaluran air bersih di lokasi pengungsi. Tidak ketinggalan di tahun ini pula, FPI juga turut melakukan aksi penyemprotan desinfektan di Poso (CNN Indonesia, 30/12/2020).

Jika memang semua hal yang dilakukan ormas yang resmi dibubarkan itu adalah melabrak aturan hukum, melampaui wewenang aparat, lalu kemana aparat saat terjadi bencana? Bukankah harusnya mereka berada di garda terdepan? Kenapa begitu cepat merespon saat tindakan ormas yang menggunakan fisik untuk memusnahkan kemaksiatan, namun lamban ketika melihat ormas yang membubarkan pengajian? Mengapa tak cepat merespon ketika konser dangdutan digelar yang nyata-nyata merugikan warga setempat? Mengapa ormas yang bergerak di bidang kemanusiaan dibubarkan sedang yang mendukung maksiat dibiarkan oleh aparat, bahkan dijaga penuh?

Negara Hilang Peran

Sejatinya baik ormas maupun masyarakat tidak berhak untuk melakukan aksi fisik, sebab yang berhak melakukan segalanya adalah negara. Kenapa? Sebab negara patut bertanggungjawab atas semua yang terjadi. Tugas negara adalah mengurus urusan rakyat. Bukan membiarkan rakyat mengurus dirinya sendiri. 

Hadirnya sekelompok orang atau ormas yang melakukan aksi keras, tanda bahwa negara lamban menjalankan tugasnya. Negara tak mampu meriayah secara penuh rakyatnya. Negara harusnya melakukan tindakan tegas atas perbuatan atau tempat kemaksiatan. Namun yang terjadi tidak demikian, negara bukannya menghentikan pelaku-pelaku kemaksiatan dengan sanksi yang tegas, justru memfasilitasi dan melokalisasi pelaku kemaksiatan. Walhasil, perbuatan maksiat semakin menjamur.

Fakta demikian semakin menunjukkan bahwa negara tidak benar-benar serius mengurus rakyatnya. Negara hanya bergerak atas dasar unsur kepentingan belaka. Tak akan ada negara, apalagi aparat yang akan menindak tegas pelaku maksiat, para pembuat onar jika di dalamnya ada pundi-pundi materi yang didapat. Demikianlah yang terjadi jika kapitalisme masih bercokol dalam negeri. Tidak sedikitpun menaruh perhatian pada rakyat, kecuali hanya "kepentingan".

Islam Solusi Tuntas

Dalam islam, aktivitas amar makruf nahi mungkar sangat diperlukan. Baik oleh negara, masyarakat maupun individu. Sebab Rasulullah SAW bersabda : "Barangsiapa dari kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim). 

Jika tangan adalah anggota badan yang pertama diperintahkan untuk mencegah kemungkaran. Jika tangan punya kuasa untuk berbuat. Maka negaralah yang pantas berada di posisi demikian. Negara punya kuasa. Dengan kekuasaannya mampu meluluhlantakkan kedzaliman. Namun jika negara lamban atau bergerak tak sesuai koridornya, maka rakyat tak lupa perannya dengan me-muhasabah lil hukkam (mengoreksi penguasa), agar negara kembali taat pada syariat islam. Negara juga tak boleh apatis, tidak lupa tugasnya sebagai rain (pengurus) dan junnah (pelindung) rakyatnya. 

Andai islam diterapkan, andaikan negara mau bersinergi dengan rakyat, kedzaliman akan sirna. Namun jika masih bertahan dengan egoisme kapitalisme, tunggulah kehancuran akan datang. Hari ini FPI, besok siapa lagi?

Wallahu a'lam bishshowab