-->

Borneo Ku Yang Hilang

Oleh : F Kurnia

Tahukah kalian dengan kata Borneo?  Ya nama Borneo berasal dari nama kesultanan Brunei, sebuah nama yang dipakai oleh kolonial Inggris dan Belanda untuk menyebut pulau ini secara keseluruhan. Kata ini diturunkan oleh kolonial Inggris dan Belanda pada zaman penjajahan. Daerah yang memiliki flora dan fauna yang cukup tinggi sudah sepantasnya disebut sebagai provinsi yang kaya di Indonesia. Kalimantan berasal dari bahasa Sansekerta kalamanthana.Yaitu pulau yang udaranya sangat panas atau membakar kall yaitu musim atau waktu lalu matan adalah membakar.

Pulau yang memiliki 4 provinsi yaitu, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Tengah, masing-masing memiliki keanekaragaman keasrian hutan dan sangat pantas dikatakan menjadi paru-paru dunia.

Ada 1 keunikan di pulau Borneo ini, yaitu pada plat kendaraan bermotornya. Plat KB yang memiliki singkatan 'Kaya Buah' di miliki oleh Kalimantan Barat. Lalu plat bermotor Kalimantan Selatan adalah DA yang memiliki singkatan 'Daerah Air' atau banyak aliran sungai di daerah yang beribukota Banjarmasin ini.

Namun, dibalik keindahan dan keunikannya itu terdapat orang-orang yang tidak bertanggungjawab menebang, memanfaatkan dan meninggalkan. mereka tidak bisa membudidayakan setelah mereka memanfaatkan hutan di Kalimantan, mereka pergi dan meninggalkan begitu saja. Misalnya hutan lintas Benangin di kabupaten Barito Utara, hutan ini adalah hutan yang memiliki penghasilan daerah tertinggi dibandingkan kabupaten yang berada di Kalimantan tengah. Hutan produksi ini sudah mulai rusak keasliannya disebabkan banyak penebang-penebang liar yang menyinggahi hutan ini dan memanfaatkan sumber daya alamnya saja. Tidak hanya itu, hutan ini juga sengaja dibabat hanya untuk diambil batubaranya saja oleh perusahaan swasta. Ini baru contoh segelintir dari eksploitasi hutan hutan yang ada di Kalimantan.

Hutan Kalimantan diyakini bakal menyusut sebanyak 75% pada tahun 2020 jika laju deforestasi tidak dihentikan. Data lingkungan hidup memprediksi Kalimantan akan kehilangan 75% luas wilayahnya pada luas wilayah hutannya pada 2020. Dari sekitar 74 juta hektar hutan yang dimiliki Kalimantan, hanya 71% yang tersisa pada tahun 2005. Sementara jumlahnya pada 2015 menyusut menjadi 55%. Kalimantan diyakini akan kehilangan 6 juta hektar hutan hingga 2020. Artinya hanya kurang dari sepertiga luas hutan yang tersisa hutan basah Kalimantan yang menjadi habitat alami bagi berbagai jenis satwa. Dan yang paling terancam oleh ekspansi perkebunan kelapa sawit, penambangan, dan pertanian, menurut WWF Kalimantan akan kehilangan 10 sampai 13juta hektar hutan antara 2015 hingga 2020.

Berdasarkan laporan tahun 2020 saja sudah terdapat 814 lubang tambang milik 157 perusahaan batu bara yang masih aktif. Bahkan ditinggal tanpa reklamasi, belum lagi perkebunan kelapa sawit yang mengurangi daya serap tanah dari total luas wilayah 3,7 juta hektar hampir 50% sudah dibebani izin pertambangan dan perkebunan kelapa sawit. Bencana alam akibat kerusakan ekologis adalah buah busuk  pembangunan yang mengiringi pembangunan eksploitatif yang sekuler kapitalis.

KESALAHAN PENGELOLAAN.

Kegagalan pengelolaan hutan selama ini adalah akibat kesalahan pembuat kebijakan, termasuk penyelewengan pelaksanaan regulasi dan penyimpangan dalam tataran teknis di lapangan. Kesalahan pembuat kebijakan itu dengan kata lain sesungguhnya adalah kesalahan ideologis, sebab kebijakan yang terwujud dalam bentuk undang-undang dan peraturan itu tiada lain adalah ekspresi hidup dan nyata dari ideologi yang diyakini pembuat kebijakan.

Dan  yang menjadi sumber utama kegagalan pengelolaan hutan selama ini adalah ideologi kapitalisme. Sifat kapitalisme yang individualis telah mewujud dalam sikap menomorsatukan kepemilikan individu sebagai premis ekonomi dalam Kapitalisme (Heilbroner, 1991). Wajarlah jika dalam pengelolaan hutan, hutan dipandang sebagai milik individu, yakni milik pengusaha melalui pemberian HPH yang diberikan oleh penguasa. Selain mengutamakan kepemilikan individu, pendekatan kapitalisme yang  mementingkan kemanfaatan telah melahirkan sikap eksploitatif atas sumber daya alam seraya mengabaikan aspek moralitas (Heilbroner, 1991).

Inilah yang dapat menjelaskan mengapa dalam pengelolaan hutan selama ini sering terjadi penyelewengan pelaksanaan regulasi –misalnya perusahaan HPH menebang melebihi volume yang dilaporkan– dan penyimpangan dalam tataran teknis di lapangan, misalnya penyimpangan aturan TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia).

Pengelolaan Hutan Menurut Syariah

Berikut ini beberapa ketentuan syariah Islam terpenting dalam pengelolaan hutan :

1. Hutan termasuk dalam kepemilikan umum, bukan kepemilikan individu atau negara.

Syariah telah memecahkan masalah kepemilikan hutan dengan tepat, yaitu hutan (al-ghaabaat) termasuk dalam kepemilikan umum (al-milkiyah al-‘ammah) (Zallum, 1983:25). Ketentuan ini didasarkan pada hadits Nabi SAW :

“Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal : dalam air, padang rumput [gembalaan], dan api.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 1140).

Hadits ini menunjukkan bahwa tiga benda tersebut adalah milik umum, karena sama-sama mempunyai sifat tertentu sebagai illat (alasan penetapan hukum), yakni menjadi hajat hidup orang banyak (min marafiq al-jama’ah). Termasuk milik umum adalah hutan (al-ghaabaat), karena diqiyaskan dengan tiga benda di atas berdasarkan sifat yang sama dengan tiga benda tersebut, yaitu menjadi hajat hidup orang banyak. (Ali as-Salus, 2002:37).

2. Pengelolaan hutan hanya dilakukan oleh negara saja, bukan oleh pihak lain (misalnya swasta atau asing).

Zallum (1983:81-82) menerangkan ada dua cara pemanfaatan kepemilikan umum :

Pertama, untuk benda-benda milik umum yang mudah dimanfaatkan secara langsung, seperti jalan umum, rakyat berhak memanfaatkannya secara langsung. Namun disyaratkan tidak boleh menimbulkan bahaya (dharar) kepada orang lain dan tidak menghalangi hak orang lain untuk turut memanfaatkannya.

Kedua, untuk benda-benda milik umum yang tidak mudah dimanfaatkan secara langsung, serta membutuhkan keahlian, sarana, atau dana besar untuk memanfaatkannya, seperti tambang gas, minyak, dan emas, hanya negaralah –sebagai wakil kaum muslimin– yang berhak untuk mengelolanya.

Atas dasar itu, maka pengelolaan hutan menurut syariah hanya boleh dilakukan oleh negara (Khalifah), sebab pemanfaatan atau pengolahan hutan tidak mudah dilakukan secara langsung oleh orang per orang, serta membutuhkan keahlian, sarana, atau dana yang besar.

Sabda Rasulullah SAW : “Imam adalah ibarat penggembala dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya (rakyatnya).” (HR. Muslim)

Dikecualikan dalam hal ini, pemanfaatan hutan yang mudah dilakukan secara langsung oleh individu (misalnya oleh masyarakat sekitar hutan) dalam skala terbatas di bawah pengawasan negara. Misalnya, pengambilan ranting-ranting kayu, atau penebangan pohon dalam skala terbatas, atau pemanfaatan hutan untuk berburu hewan liar, mengambil madu, rotan, buah-buahan, dan air dalam hutan. Semua ini dibolehkan selama tidak menimbulkan bahaya dan tidak menghalangi hak orang lain untuk turut memanfaatkan hutan.

3. Pengelolaan hutan dari segi kebijakan politik dan keuangan bersifat sentralisasi, sedangkan dari segi administratif adalah desentralisasi (ditangani pemerintahan propinsi/wilayah).

Meskipun pengelolaan hutan menurut syariah adalah di tangan negara, tidak berarti semua urusan hutan ditangani oleh pemerintah pusat (Khalifah).

Hal-hal yang menyangkut kebijakan politik, seperti pengangkatan Dirjen Kehutanan, dan kebijakan keuangan (maaliyah), ada di tangan Khalifah sebagai pemimpin pemerintah pusat. Sedangkan hal-hal yang menyangkut administratif (al-idariyah) dalam pengelolaan hutan, ditangani oleh pemerintahan wilayah (propinsi). Misalnya pengurusan surat menyurat kepegawaian dinas kehutanan, pembayaran gaji pegawai kehutanan, pengurusan jual beli hasil hutan untuk dalam negeri, dan sebagainya.

Dalil untuk ketentuan ini adalah kaidah fikih yang menyatakan : al- ashlu fi al-af’aal al-idariyah al-ibahah (hukum asal aktivitas administrasi/manajerial adalah boleh).

Jadi pada dasarnya urusan administrasi itu adalah boleh bagi Khalifah untuk menetapkannya sendiri, dan boleh juga Khalifah mendelegasikannya untuk ditetapkan dan ditangani oleh Wali (Gubernur) di daerah.

4. Negara memasukkan segala pendapatan hasil hutan ke dalam Baitul Mal (Kas Negara) dan mendistribusikan dananya sesuai kemaslahatan rakyat dalam koridor hukum-hukum syariah.

Segala pendapatan hasil hutan menjadi sumber pendapatan kas negara (Baitul Mal) dari sektor Kepemilikan Umum. Mengenai distribusi hasil hutan, negara tidak terikat dengan satu cara tertentu yang baku. Negara boleh mendistribusikan hasil hutan dalam berbagai cara sepanjang untuk kemaslahatan rakyat dalam bingkai syariah Islam. Kaidah fikih menyebutkan :

“Tasharruf al-Imaam ‘alaa al-ra’iyyah manuuthun bi al-maslahah.” (Kebijakan Imam/Khalifah dalam mengatur rakyatnya berpatokan pada asas kemaslahatan) (Lihat Imam Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazha`ir fi Al-Furu’)

5. Negara boleh melakukan kebijakan hima atas hutan tertentu untuk suatu kepentingan khusus.

Hima artinya kebijakan negara memanfaatkan suatu kepemilikan umum untuk suatu keperluan tertentu, misalnya untuk keperluan jihad fi sabilillah.

Dalil bolehnya negara melakukan hima adalah hadits bahwa Rasulullah SAW telah melakukan hima atas Naqii’ (nama padang gembalaan dekat Madinah) untuk kuda-kuda perang milik kaum muslimin (HR Ahmad dan Ibnu Hibban) (Athif Abu Zaid Sulaiman Ali, Ihya` al-Aradhi al-Amwat fi Al-Islam, h. 105) .

Maka dari itu, negara boleh melakukan hima atas hutan Kalimantan misalnya, khusus untuk pendanaan jihad fi sabilillah. Tidak boleh hasilnya untuk gaji dinas kehutanan, atau untuk membeli mesin dan sarana kehutanan, atau keperluan apa pun di luar kepentingan jihad fi sabilillah.

6. Negara wajib melakukan pengawasan terhadap hutan dan pengelolaan hutan.

Fungsi pengawasan operasional lapangan ini dijalankan oleh lembaga peradilan, yaitu Muhtasib (Qadhi Hisbah) yang tugas pokoknya adalah menjaga terpeliharanya hak-hak masyarakat secara umum (termasuk pengelolaan hutan). Muhtasib misalnya menangani kasus pencurian kayu hutan, atau pembakaran dan perusakan hutan.

Muhtasib bertugas disertai aparat polisi (syurthah) di bawah wewenangnya. Muhtasib dapat bersidang di lapangan (hutan), dan menjatuhkan vonis di lapangan. Sedangkan fungsi pengawasan keuangan, dijalankan oleh para Bagian Pengawasan Umum (Diwan Muhasabah Amah), yang merupakan bagian dari institusi Baitul Mal (Zallum, 1983).

7. Negara wajib mencegah segala bahaya (dharar) atau kerusakan (fasad) pada hutan.

Dalam kaidah fikih dikatakan, “Adh-dlarar yuzal”, artinya segala bentuk kemudharatan atau bahaya itu wajib dihilangkan. Nabi SAW bersabda, “Laa dharara wa laa dhiraara.” (HR Ahmad & Ibn Majah), artinya tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun membahayakan orang lain.

Ketentuan pokok ini mempunyai banyak sekali cabang-cabang peraturan teknis yang penting. Antara lain, negara wajib mengadopsi sains dan teknologi yang dapat menjaga kelestarian hutan. Misalnya teknologi TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia). Negara wajib juga melakukan konservasi hutan, menjaga keanekaragaman hayati (biodiversity), melakukan penelitian kehutanan, dan sebagainya.

8. Negara berhak menjatuhkan sanksi ta’zir yang tegas atas segala pihak yang merusak hutan.

Orang yang melakukan pembalakan liar, pembakaran hutan, penebangan diluar batas yang dibolehkan, dan segala macam pelanggaran lainnya terkait hutan wajib diberi sanksi ta’zir yang tegas oleh negara (peradilan). Ta’zir ini dapat berupa denda, cambuk, penjara, bahkan sampai hukuman mati, tergantung tingkat bahaya dan kerugian yang ditimbulkannya. Prinsipnya, ta’zir harus sedemikian rupa menimbulkan efek jera agar kejahatan perusakan hutan tidak terjadi lagi dan hak-hak seluruh masyarakat dapat terpelihara. Seorang cukong illegal loging, misalnya, dapat digantung lalu disalib di lapangan umum atau disiarkan TV nasional. Jenis dan kadar sanksi ta’zir dapat ditetapkan oleh Khalifah dalam undang-undang, atau ditetapkan oleh Qadhi Hisbah jika Khalifah tidak mengadopsi suatu undang-undang ta’zir yang khusus.

Demikianlah Islam mengatur segala aspek kehidupan manusia, dari mulai kehidupan individu, masyarakat hingga bernegara.