-->

Undang-Undang Cipta Kerja, Cermin Pengkhianatan Sistem Demokrasi

Oleh : Puspita Ningtiyas, aktivis Muslimah di Lamongan

Penamabda.com - JAKARTA, Waspada.co.id – Rapat Paripurna DPR RI yang digelar Senin (5/10) di Kompleks DPR secara resmi mengesahkan Omnibus Law Rancangan Undang Undang (RUU) Cipta Kerja menjadi Undang Undang. Sementara itu di depan Kompleks DPR aparat keamanan berjaga-jaga mengantisipasi demonstrasi elemen buruh dan masyarakat sipil. 

Seperti dugaan, UU Cipta Kerja yang baru disahkan ini menuai banyak penolakan dari masyarakat terutama para pekerja yang memperjuangkan hak nya sebagai pekerja. Selain itu juga ada penolakan dari dua fraksi,  Demokrat dan PKS, yang diberitakan ketika sidang paripurna, kedua nya memutuskan walk out. 

"Jadi karena pimpinan sewenang-wenang tidak dikasih kesempatan kami untuk sampaikan pandangan, maka kami mengambil sikap walk out," ujar Benny salah satu anggota fraksi Demokrat, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (5/10)- suara.com.

Jelas ini menunjukkan bahwa DPR telah men-sahkan RUU Cipta Kerja tanpa memperhatikan aspirasi penolakan publik bahkan mengabaikan sebagian fraksi yang menolak walau disebut mini fraksi karena jumlahnya yang sedikit. Ini persis seperti teori dan fakta demokrasi yang selalu mengambil suara terbanyak tanpa melihat siapa yang bersuara, apakah benar atau salah, apakah mewakili aspirasi rakyat secara keseluruhan apa tidak. Jika begini layakkah mereka disebut sebagai wakil rakyat ? Terlebih lagi DPR mengesahkan menjelang tengah malam. Banyak pemberitaan menyampaikan bahwa UU ini adalah inisasi pemerintah yang  mendesak segera disahkan untuk kepentingan para kapitalis.

UU cipta kerja ini harusnya tidak disahkan.  Karena jika dilihat, UU ini berisi banyak sekali pasal yang menguntungkan pengusaha secara sepihak,  jelas ini adalah bentuk pengkhianatan DPR dan pemerintah secara sistematis dalam memenangkan kepentingan kaum kapitalis. Semakin tampak jika melihat pasal pasal penting yang dihapus, seperti aturan mengenai sanksi bagi pengusaha yang tidak membayarkan upah sesuai ketentuan. 

Penghapusan ini tercantum dalam Pasal 81 angka 29 UU Cipta Kerja yang menghapus Pasal 91 UU Ketenagakerjaan. Aturan soal larangan membayarkan besaran upah di bawah ketentuan juga dijelaskan pada Pasal 90 UU ketenagakerjaan, juga dihapus di dalam UU Cipta Kerja. Selain itu UU Cipta Kerja menghapus hak pekerja/buruh mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja (PHK) jika merasa dirugikan oleh perusahaan. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 81 angka 58 UU Cipta Kerja yang menghapus Pasal 169 UU Ketenagakerjaan.

Dari sini jelas satu-satu nya yang diuntungkan oleh UU Cipta Kerja adalah pengusaha, walaupun pemerintah memberikan klaim bahwa UU Cipta Kerja ini demi mengangkat ekonomi Indoenesia tanpa mengorbankan rakyat kecil, nyatanya, secara ekplisit pasal-pasal tersebut menunjukkan sebaliknya. 
Dari Prosedur awal pembuatan UU sampai muncul pasal-pasal kontroversi di dalamnya, betul-betul menggambarkan bagaimana keterpihakan penguasa negeri ini terhadap pengusaha. RUU biasanya dari inisiasi pemerintah kemudian dibawa ke parlemen atau langsung inisiasi parlemen. Keduanya tidak memperhatikan pendapat rakyat secara keseluruhan bahkan mengabaikan syariat Islam dan Al-quran yang menjadi sumber hukum yang paling akurat dan adil karena bersumber dari wahyu Allah SWT. Inilah kesalahan demokrasi yang akan memunculkan pertentangan dan kerusakan di tengah  manusia bahkan diawal  UU tersebut dibuat. 

Saatnya kembali kepada Islam, setiap undang-undang yang dibuat tidak akan bertentangan dengan Al-quran. Dengan itu fitrah manusi terjaga, ekonomi negara, kesejahteraan pengusaha dan para pekerja nya di jamin dengan aturan Islam. 

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” ( Ar-Rum : 41 )