Sah !! UU Cipta kerja, bukti legalisasi kezaliman
Oleh : Ratna Kurniawati (Aktivis Remaja)
Penamabda.com - Pada akhirnya, DPR bersama pemerintah sepakat mengesahkan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja menjadi undang-undang. Kesepakatan itu diambil melalui hasil rapat paripurna pada Senin (5/10/2020).
Enam fraksi bulat setuju pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU.
Sementara ada dua fraksi, PKS dan Demokrat yang tegas menolak. Sedangkan fraksi PAN menerima dengan catatan.
Ada beberapa pasal dalam UU Cipta Kerja yang dinilai merugikan para kerja. Isi Omnibus Law Cipta Kerja dianggap merugikan karena menghapus ketentuan upah minimum, dan dapat juga menurunkan pesangon.
Omnibus Law UU cipta kerja ini hanya menitikberatkan pada kepentingan ekonomi. Tidak ada pertimbangan keadilan dan kesejahteraan sosial dalam undang-undang tersebut. Jadi hanya bicara pertumbuhan ekonomi tanpa bicara keadilan sosial dan kesejahteraan. Kemudahan dalam aspek ekonomi masyarakat justru terpinggirkan. Kemudahan diberikan justru kepada pemilik modal, kepada asing, dalam rangka mengundang investor lebih banyak. Jadi bukan kita mudah mencari kerja.
Perbudakan Modern
Pasal-pasal yang terkait ketenagakerjaan di UU Cipta kerja akan menciptakan perbudakan modern. Semangat perbudakan modern itu sangat kuat terasa dalam UU tersebut.
Keberadaan UU justru menarik Indonesia kembali ke zaman kolonial Hindia Belanda. UU tersebut sama dengan aturan Koeli Ordonantie yang dikeluarkan pemerintah Hindia Belanda. Ketika berlaku Koeli Ordonantie memberikan jaminan kepada majikan terhadap pekerjanya jika terjadi masalah.Saat itu pemerintah kolonial Hindia Belanda ingin ekspor komoditas-komoditas perkebunan. Untuk menarik banyak investor kemudian mereka membuat undang-undang yang namanya Koeli Ordonantie yang intinya memberikan jaminan kepada pemilik perkebunan akan tenaga kerja yang murah dan dengan perlindungan yang minim.
Solusi Islam
Di dalam sistem Islam dalam naungan daulah Khilafah Islamiyah konflik abadi antara buruh dan pengusaha tidak akan terjadi karena persoalan upah akan dikembalikan pada standar Islam yaitu syariah.
Rasulullah SAW memberikan panduan terkait upah pada hadis yang diriwayatkan Imam Al-Baihaqi,
“Berikanlah gaji kepada pekerja sebelum kering keringatnya, dan beritahukan ketentuan gajinya, terhadap apa yang dikerjakan.”
Seorang pekerja berhak menerima upahnya ketika sudah mengerjakan tugas-tugasnya. Pekerja dan majikan harus menepati akad di antara keduanya mengenai sistem kerja dan sistem pengupahan.
Rasulullah SAW menyampaikan tentang pentingnya kelayakan upah dalam sebuah hadis: “Mereka (para budak dan pelayanmu) adalah saudaramu, Allah menempatkan mereka di bawah asuhanmu, sehingga barangsiapa mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri), dan tidak membebankan pada mereka tugas yang sangat berat, dan jika kamu membebankannya dengan tugas seperti itu, maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya).” (HR Muslim).
Islam bahkan mengatur tata cara pembayaran upah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dari Abdullah bin Umar, Rasulullah Saw. bersabda, “Berikanlah upah orang upahan sebelum kering keringatnya.” (HR Ibnu Majah dan Imam Thabrani).
Besarnya upah tergantung kesepakatan antara pekerja dan majikan, atau berdasar upah standar profesi tersebut.
Dikisahkan, ketika Umar ra. ingin mempekerjakan seorang pemuda yang miskin, maka beliau menawarkan kerjanya dengan mengatakan, “Siapakah yang akan mempekerjakan atas namaku pemuda ini untuk bekerja di ladangnya?” Maka seseorang dari kaum Anshar berkata, “Saya, wahai Amirul Mukminin!” Beliau berkata, “Berapa kamu memberinya upah dalam sebulan?” Ia menjawab, “Dengan demikian dan demikian!” Maka beliau berkata, “Ambillah dia!”.
Riwayat ini memberikan pengertian bahwa Umar menawarkan tenaga kerja, lalu datang permintaan dari pihak orang Anshar tersebut, dan terjadi kesepakatan tentang upah. Jika terjadi konflik antara seorang pekerja dengan majikannya, kasus tersebut bisa diajukan pada qadhi (hakim) sebagai representasi dari negara. Hakim akan menyelesaikan konflik tersebut berdasarkan akad yang terjadi di antara kedua pihak. Pihak yang bersalah akan diberi sanksi.
Dengan sistem pengupahan yang adil, pekerja hidup sejahtera dalam khilafah. Pekerja diupah berdasarkan manfaat yang diberikannya. Jika upah tersebut tak mencukupi kebutuhan dasarnya, negara akan memberi santunan dari dana zakat dan lainnya di baitul mal. Pengusaha juga senang hidup dalam Khilafah karena dia mendapat manfaat dari pekerja dan tidak dibebani untuk menanggung biaya hidup sang pekerja seperti pendidikan dan kesehatan. Kesejahteraan pekerja adalah tanggung jawab negara.
Demikianlah sistem khilafah hadir memberi solusi bagi buruh dan pengusaha sehingga keduanya bisa hidup sejahtera.
Wallahu A’lam Bishawab.
Posting Komentar