-->

OMNIBUS LAW RUU CIPTAKER DISAHKAN SIAPA YANG DIUNTUNGKAN?

Oleh : Nabila Fadel

Penamabda.com - Pemerintah dan DPR akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja (Ciptaker) menjadi Undang-Undang (UU) dalam sidang paripurna, Senin (5/10/2020). UU ini disahkan meski banyak penolakan, khususnya dari para buruh. Pengesahan RUU Ciptaker dilakukan setelah fraksi-fraksi memberikan pandangan. Dari 9 fraksi yang ada, 2 fraksi menolak untuk disahkan yakni Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi PKS..

Menurut kajian "Catatan Kritis dan Rekomendasi terhadap RUU Cipta Kerja - Fakultas Hukum UGM 2020", RUU Cipta Kerja lebih fokus pada tujuan peningkatan ekonomi, dan abai terhadap peningkatan kompetensi sumber daya manusia. 

Sebagian besar peraturan yang diubah dalam RUU ini banyak berbicara mengenai efisiensi dan peningkatan produktivitas tenaga kerja, tetapi RUU ini justru tidak mengubah atau membuat peraturan baru yang berkaitan dengan pelatihan kerja atau peningkatan kompetensi pekerja. 

Padahal, berbicara mengenai penciptaan lapangan kerja seharusnya justru berkaitan erat dengan upaya untuk meningkatkan kompetensi calon tenaga kerja. Alih-alih perlindungan pekerja, RUU Cipta Kerja justru berpotensi membuat pasal ketenagakerjaan kembali terpinggirkan, tergerus oleh kebutuhan investasi dan ekonomi.

Melihat terburu-buru pemerintah dan DPR mengesahkannya, patut dicurigai. Pembahasannya bagai operasi senyap. Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, mengkritik keras Badan Legislasi (Baleg) DPR yang cepat menyelesaikan pembahasan RUU Cipta Kerja. 

Menurutnya, RUU ini cepat selesai karena adanya pesanan dari sejumlah pihak.
“Pemesan rupanya adalah mereka yang justru sedang menunggu manis di ujung lorong, mereka yang sudah siap dengan brankas jumbo demi menyimpan hasil keuntungan dari manisnya peraturan yang memihak mereka,” ujar Lucius. (Republika, 5/10/2020)

Secara keseluruhan, UU Cipta Kerja terdiri atas 11 klaster. Di antaranya Penyederhanaan Perizinan, Persyaratan Investasi, Ketenagakerjaan, Kemudahan Berusaha, Pemberdayaan dan Perlindungan UMKM, Dukungan Riset dan Inovasi, Administrasi Pemerintahan, Pengenaan Sanksi, Pengadaan Lahan, Kemudahan Investasi dan Proyek Pemerintah, serta Kawasan Ekonomi Khusus.

RUU ini dinilai menghilangkan hak pekerja dan memberi angin segar bagi pelaku usaha. Di antara pasal kontroversi tersebut antara lain adalah 
1. penghapusan Upah Minimum Kota/Kabupaten sebagai dasar upah minimum pekerja
2. peningkatan waktu kerja lembur yang dianggap sebagi bentuk eksploitasi pada pekerja
3. pengurangan nilai pesangon; perjanjian kerja waktu tertentu yang terus diperpanjang alias kontrak seumur hidup,
4. ketentuan cuti, dan sejumlah pasal lain yang mengabaikan hak pekerja, lingkungan hidup, dan partisipasi publik sebagai check and balance bagi pemerintah. 
Disahkannya UU ini mengindikasikan aspirasi rakyat tak berlaku. Meski mayoritas rakyat menolak, toh tetap disahkan juga. 

Pertanyaannya, wakil rakyat itu sesungguhnya mewakili siapa? Suara rakyat hanya dibutuhkan saat pemilu. Setelah menang, mereka acuh tak acuh. Rakyat tak didengar, UU tetap disahkan.
Demokrasi yang katanya pemerintahan “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”, nyatanya “dari kapital, oleh kapital, dan untuk kapital”. Rapat baleg atau paripurna DPR lebih mirip drama yang dipertontonkan seolah mereka bicara atas nama rakyat. Praktiknya, mereka bicara atas nama kepentingan oligarki dan partainya sendiri.

UU Cipta Kerja adalah produk nyata perselingkuhan penguasa, pengusaha, dan oligarki kekuasaan. Rakyat menjadi tumbal keserakahan kapitalis. Undang-undang dibuat hanya untuk memenuhi kehendak kapitalis.

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengklaim sejumlah manfaat dalam UU ini. Seperti kemudahan izin usaha dan investasi, membuka lapangan kerja, pelaku usaha mendapat insentif dan berbagai kemudahan. Pelaku usaha juga mendapat jaminan perlindungan hukum, dll.

Bila UU ini dinilai menarik minat investor, adakah jaminan investasi itu berkorelasi positif pada lapangan kerja baru? Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sendiri mencatat, Indonesia berhasil menyerap investasi senilai Rp809,6 triliun sepanjang 2019. Namun investasi sebesar itu hanya mampu menciptakan lapangan pekerjaan bagi 1.033.835 orang.

Pasal-pasal dalam UU tersebut sangat menguntungkan pelaku usaha namun merugikan para pekerja. UU yang sarat kepentingan pemodal dan menihilkan kesejahteraan buruh dan pekerja.

Problem dasar yang menjadi penyakit akut sistem kapitalisme adalah kesejahteraan. Buruh dan pekerja masih jauh dari kata sejahtera. Dalam kapitalisme, negara hanya berperan sebagai regulator kepentingan kapitalis. Akibatnya, kesejahteraan rakyat terabaikan. Kekayaan hanya dinikmati segelintir orang.

Masalah perburuhan sebenarnya dipicu sistem kapitalisme yang menerapkan prinsip kebebasan kepemilikan, kebebasan bekerja, dan living cost terendah yang dijadikan tolak ukur dalam menetapkan gaji buruh. Oleh karena itu, masalah pekerja/buruh akan selalu muncul selama hubungan antara pengusaha dan pekerja dijalankan berdasarkan sistem ini.

Dalam pandangan Islam, negara adalah khodim al ummah. Yakni pelayannya umat, mengurusi kepentingan dan kemaslahatan umat. Negara bertugas memberi jaminan dan pelayanan. Menjamin penghidupan, kesejahteraan, keamanan, serta kebutuhan dasar rakyat.

Di sistem pemerintahan Islam, regulasi dan Undang-undang yang dibuat tidak akan menyalahi syariat. Legislasi hukum dalam sistem Islam dibuat sesuai ketentuan Islam. Tidak ada politik kepentingan. Tidak ada pula produk hukum yang dibuat berdasarkan kepentingan manusia.

Sistem ekonomi Islam menerapkan seperangkat aturan yang berkeadilan. Dari aturan kepemilikan harta hingga distribusi harta kepada rakyat. Islam tidak mengenal kebebasan kepemilikan. Islam membolehkan kepemilikan harta dengan menjadikan halal haram sebagai standarnya. Pengaturan harta ini terbagi dalam tiga aspek, yaitu kepemilikan individu, umum, dan negara.

Dalam Islam tidak ada kebebasan bagi seseorang memiliki apa saja dengan cara apa pun. Ia harus terikat dengan ketentuan Islam, baik cara memperoleh harta maupun menafkahkannya.

Islam juga tidak mengenal kebebasan bekerja. Kebebasan bekerja membolehkan orang bekerja dalam hal apa pun tanpa melihat halal haramnya. Sementara Islam hanya mengenal konsep ibahatul amal, yakni membolehkan setiap orang bekerja sesuai ketentuan syariat Islam.

Dalam menentukan standar gaji buruh, maka Islam menetapkannya berdasarkan manfaat tenaga yang diberikan pekerja, bukan living cost terendah. Karena itu, tidak akan terjadi eksploitasi buruh oleh para majikan. Buruh dan pegawai negeri sama, karena buruh mendapatkan upahnya sesuai dengan ketentuan upah sepadan yang berlaku di tengah masyarakat.

Jika terjadi sengketa antara pekerja dan majikan terkait upah, maka pakar (khubara’) lah yang menentukan upah sepadan. Pakar ini dipilih kedua belah pihak. Jika masih bersengketa, negaralah yang memilih pakar tersebut dan memaksa kedua belah pihak untuk mengikuti keputusan pakar tersebut.
Negara tidak perlu menetapkan UMK. Penetapan seperti ini tidak dibolehkan sebagaimana larangan menetapkan harga. Karena keduanya sama-sama kompensasi yang diterima seseorang. Jika harga adalah kompensasi barang, maka upah adalah kompensasi jasa.

Dalam mengatasi pengangguran, negara akan memberdayakan iklim usaha yang sehat. Membuka seluas-luasnya lapangan kerja bagi rakyat. Yang tidak punya modal, diberi modal oleh negara agar ia bekerja.
Yang tidak punya keterampilan bekerja juga akan diberi pelatihan agar ia memiliki kemampuan dan skill yang mumpuni. Sebab, dalam Islam, pengangguran dan bermalas-malasan itu dilarang. Setiap kepala keluarga wajib mencari nafkah. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu alaihi wa salam, “Cukuplah seorang Muslim berdosa jika tidak mencurahkan kekuatan menafkahi tanggungannya.” (HR Muslim).

Dalam hal ini negara akan membuka lapangan pekerjaan yang menyerap tenag laki-laki. Perempuan tidak akan dibebani dengan masalah ekonomi. Karena tugas utamanya adalah mendidik generasi. Negara juga memberi jaminan pemenuhan kebutuhan dasar yang layak. Seperti jaminan kesehatan, pendidikan, keamanan, sandang, pangan, serta papan.

Berbagai solusi yang dilakukan sistem kapitalis pada dasarnya bukanlah solusi. Tetapi, sekadar “obat penghilang rasa sakit”. Sumber penyakitnya tidak pernah diselesaikan. Kesejahteraan bisa terwujud manakala kebutuhan dasar rakyat terpenuhi. Buruh sejahtera hanya jika Islam diterapkan secara kaffah.
 
Wa’allahualam bi showab