Perempuan Berkiprah Demi Segelintir Upah, Cukupkah?
Oleh : Uqy Chan
(Komunitas Pena Ngopi)
Penamabda.com - Tuntutan para perempuan mencuat kembali ke permukaan. Tak terkecuali para feminis / gender. Mereka menuntut kesejahteraan perempuan melalui upah kerja yang setara. Yaitu tuntutan upah kerja yang rendah dari laki - laki. Seperti yang dilansir www.bisnis.com, 21/9/2020, bahwa perempuan dan laki-laki harus digaji setara, dinilai berdasarkan bakat, hasil kerja dan kompetensi, dan bukan dari gender. Saat ini tenaga kerja perempuan masih dibayar lebih rendah dibandingkan laki-laki, dengan perkiraan kesenjangan upah sebesar 16 persen. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh International Labour Organization (ILO) dan UN Women, perempuan memperoleh 77 sen dari setiap satu dolar yang diperoleh laki-laki untuk pekerjaan yang bernilai sama. Angka ini sudah dihitung dengan kesenjangan yang bahkan lebih besar bagi perempuan yang memiliki anak.
Problem upah kerja yang setara muncul karena beban yang dialami perempuan. Apalagi di masa pandemi ini. Pria sebagai dampak yang terkena PHK (Putus Hubungan Kerja), sehingga banyak perempuan yang mengganti perannya sebagai pencari kerja. Ditengah kemerosotan ekonomi negara, gender kini semakin gencar mewacanakan upah kerja agar setara melalui peringatan perdana Hari Kesetaraan Upah Internasional tanggal 18 September 2020 lalu. Mereka menentang segala bentuk diskriminasi, termasuk diskriminasi terhadap perempuan dan anak perempuan.
Apa yang dilakukan para feminis saat ini sungguh jauh dari akar permasalahan yang terjadi. Sebab bukanlah masalahnya pada upah wanita lebih rendah dari pria atau kedudukannya lebih rendah dihadapan pria. Namun semua problem perempuan oleh karena sistem Kapitalis Sekuler yang diterapkan. Kapitalis hanya berfikir mengambil keuntungan sebanyak - banyaknya. Semua diukur berdasar materi, yaitu manfaat serta untung dan rugi.
Kini perempuan tetap bekerja dengan mempertahankan upah yang jauh dari harapan. Dampaknya ekonomi rumah tangga menjadi rentan. Perceraian meningkat tajam. Semua ini akibat dari sistem Kapitalis yang tak mampu menjamin kesejahteraan perempuan. Perempuan tetap tak akan mampu atasi kebutuhannya terlepas dari upah. Karena itu problem kesetaraan tak akan bisa terwujud dalam sistem ini. Tak peduli berpendidikan tinggi, selama sistem Kapitalis meraja, perempuan hanyalah buruh kerja. Perempuan dipandang hanya sebatas materi. Jika demikian, kiprah perempuan demi meraih upah, cukupkah?
Untuk memenuhi kebutuhan dalam sistem Kapitalis jelas tak ada habis. Harus ada solusi praktis agar masalah perempuan ini terselesaikan dengan sudut pandang yang benar. Bukan dengan sudut pandang materi. Saatnya melihat dengan mata yang jernih bahwa apa yang dialami perempuan saat ini menjadikannya jauh dari kondisi sejahtera. Perempuan bekerja tak lebih dari bentuk eksploitasi. Aktivitasnya jauh dari aturan ilahi. Padahal perempuan dengan segala kelebihannya telah diatur dengan hukum yang Syar'i (syariat Islam).
Syariat Islam memiliki aturan dalam memandang problem upah. Bahwa pemberian upah kerja tak melihat gender. Berapapun upah yang diberikan sesuai dengan keahlian wanita dan pria. Bisa jadi perempuan lebih banyak upahnya dari laki - laki dan sebaliknya. Para dokter, guru, buruh, pegawai, dan lainnyapun masing - masing berbeda upahnya. Sistem Islam (Khilafah) akan mengatur hak perempuan dan menjamin kesejahteraannya.
Sekalipun perempuan tak bekerja di luar, ada santunan yang mensyaratkannya yaitu bila tak ada yang mampu menafkahinya. Dananya bisa diambil dari kas negara (baitu mal). Adapun jika menjadi buruh pabrik maka harus ada akod ijarah. Yaitu berapa lama masa kerjanya, berapa lama waktu kerja, dan jenis pekerjaan yang sesuai dengan tenaga perempuan serta besarnya gaji yang diberikan. Pekerjaan yang dipekerjakan adalah sesuai dengan kodratnya sebagai wanita. Misalnya menjadi baby sister (pembantu rumah tangga), memasak, menjahit, kerajinan, dan lain sebagainya. Besarnya gaji yang diberikan sesuai dengan jenis pekerjaan dan lamanya waktu bekerja.
Begitulah Islam mengatur sebaik - baiknya perempuan. Namun demikian, Islam mengatur batasan perempuan yang bekerja di luar. Ia boleh bekerja di luar atas izin suami, bapak atau saudara laki - lakinya jika ia memiliki suami atau saudara laki - laki. Ia tidak menggantikan perannya sebagai istri dan ibu. Sebab ia tetap memiliki kewajiban di rumahnya mengatur rumah tangga, mendidik anaknya dan melayani suaminya. Begitupun sebaliknya jika ia masih bujang, maka ia menjadi tanggungjawab bapak dan saudara laki - lakinya atau keluarganya yang laki - laki. Jika tak memiliki keluarga maka menjadi tanggungjawab sepenuhnya oleh negara.
Maka sangat jauh berbeda dengan kondisi saat ini yang jauh dari pengurusan terhadap perempuan. Semua diserahkan pada sektor swasta yang tak lain adalah Kapitalis (pengusaha). Alhasil jauh dari sejahtera. Maka problem ini merupakan problem yang sangat mendesak untuk perempuan. Perempuan butuh solusi segera dari negara. Yaitu negara yang menerapkan hukum syariat Islam yang dapat mengatur perempuan. Agar semua perempuan sejahtera, tak galau lagi dengan upah yang lebih rendah dari pria.
Walahu a'lam bisshowab.
Posting Komentar