-->

Jihad, Solusi atas Palestina, Bukan Normalisasi Hubungan dengan Israel

Oleh : Neti Ummu Hasna

Penamabda.com - Pernyataan cukup mengejutkan diungkapkan oleh Pengamat bidang militer dan pertahanan Connie Rahakundini Bakrie. Dia mengatakan Indonesia harus berani membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Hal ini merupakan upaya untuk memudahkan Indonesia melakukan diplomasi dalam mewujudkan kemerdekaan Palestina.

"Sudah saatnya Indonesia bertindak konkret agar bisa lebih memahami Israel dengan membuka hubungan diplomatik sehingga ada diskusi lebih lanjut," ujar Connie, Sabtu (26/9).

Connie menyatakan Indonesia tidak mungkin dapat berperan secara konkret dalam mendamaikan Israel dan Palestina jika hanya condong ke salah satu pihak. Dia menilai normalisasi hubungan Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain dengan Israel jangan dipandang sebagai bentuk pengkhianatan terhadap kemerdekaan Palestina. (Republika, 26 September 2020).

Apa yang disampaikan Connie tersebut menambah deret panjang negeri-negeri muslim yang mulai melunakkan hubungan dengan Israel. Sebelumnya Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain telah membuka hubungan diplomatik setelah menandatangani Perjanjian Abraham Accord secara resmi di Gedung Putih AS pada tanggal 15 September 2020 lalu. Sebelumnya langkah ini juga telah dilakukan oleh Mesir dan Yordania. Tak hanya itu, Trump bahkan menyatakan sedikitnya  akan ada 6 negara Teluk yang mengikuti jejak Bahrain dan UEA tanpa mnyebut negara-negara yang dimaksud. Dengan congkaknya Trump menyatakan kesepakatan abad ini merupakan terobosan bersejarah yang akan mengarah pada proses perdamaian di Timur Tengah. Langkah ini tentu saja merupakan pengkhianatan besar pada kaum muslimin Palestina dan tanah suci yang diberkahi.

Penderitaan Palestina telah terjadi sejak Perjanjian Sykes-Picot pada tahun 1916 yang membagi wilayah Turki Ustmani pasca Perang Dunia I antara Inggris dan Perancis. Salah satu poin dalam perjanjian ini adalah menjadikan Palestina menjadi wilayah internasional di bawah perlindungan Inggris, Perancis dan Rusia. 

Berikutnya pada tahun 1917 terjadi Deklarasi Belfour. Sejak itulah orang-orang Yahudi bermigrasi besar-besaran ke Palestina. Umat Islam Palestina pun kian menderita pasca runtuhnya Khilafah Ustmani pada tahun 1924. Tidak ada lagi Khalifah yang dapat melindungi tanah suci ini dari penjajahan kaum kafir. Israel pun resmi berdiri setelah PBB membuat resolusi pembagian wilayah Palestina pada tahun 1947. Berdasarkan resolusi itu Israel mendapat bagian 55% wilayah Palestina. Dengan dukungan Inggris pada tahun 1948 Israel berdiri. Sejak itu Israel terus memperluas wilayah tanah penguasaannya dengan cara-cara yang ilegal dan kriminal. 

Pengkhianatan terhadap Palestina terus berlanjut dengan adanya perjanjian Camp David yang ditandatangani oleh Presiden AS Jimmy Charter, Perdana Menteri Israel Menachem Begin, Pimpinan PLO Yasser Arafat dan Presiden Mesir Anwar Sadat yang mendamaikan antara Palestina dan Israel dengan two state solution atau solusi dua negara. Solusi dua negara makin ditegaskan dalam perjanjian Oslo ketika PLO dibawah Yasser Arafat menerima solusi tersebut dan menjadi dasar berdirinya otoritas negara Israel.

Masalah Palestina akhirnya hanya berputar pada masalah tapal batas semata. Fakta ini sesungguhnya menegaskan bahwa penguasa negeri-negeri muslim hanyalah para penguasa boneka. Kebijakan luar negerinya tunduk pada keputusan negara-negara penjajah yakni Inggris Amerika Serikat dan para sekutunya.

Sementara itu negara-negara penjajah mustahil membuat kebijakan yang pro terhadap umat Islam. Maka Solusi dua negara yang ditawarkan untuk menyelesaikan masalah Palestina dengan Israel hanyalah solusi tipu-tipu negara penjajah demi menjaga kepentingan ekonomi dan ideologi mereka atas negeri-negeri kaum muslim di Timur Tengah. Maka tentu saja mereka akan terus menjaga keberadaan entitas Yahudi ini di tanah Palestina. 

Jelas akar masalah Palestina hakikatnya adalah keberadaan Israel yang telah menyerobot, merampok dan menduduki wilayah palestina dengan mengusir penduduk dan pemilik aslinya. Sebaliknya solusi dua negara atau normalisasi hubungan sejatinya merupakan bentuk pengakuan terhadap keberadaan Israel dan pembenaran atas perampokan penjajah Israel atas tanah Palestina.

 Tanah palestina merupakan tanah kharajiyah milik kaum muslim di seluruh dunia. Statusnya tetap seperti itu sampai hari kiamat. Tidak ada seorangpun yang boleh menyerahkannya kepada pihak lain apalagi kepada perampok dan penjajah seperti Israel. Di sisi lain umat Islam juga haram menjadi teman setia penjajah termasuk Israel yg jelas-jelas telah menimbulkan petaka bagi kaum muslim Palestina.

Allah SWT berfirman dalam QS al-Maidah: 51
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.

Imam Ibnu Katsir dalam ayat ini menjelaskan bahwa Allah SWT melarang hambaNya untuk bermuwalah (bersikap saling setia) dengan orang orang Yahudi dan Nasrani yang merupakan musuh Islam dan umatnya. 

Oleh karena itu kewajiban umat Islam adalah merebut kembali wilayah Palestina dari penjajah Yahudi Israel dan mengusir mereka dari tanah suci ini. Penjagaan seperti inilah yang pernah dilakukan oleh Khalifah Abdul Hamid II pada saat Theodore Herzl berusaha menyogok Khalifah agar memberikan tanah Palestina. Diantara sogokan yang disodorkan Herzl adalah uang 150 juta Poudsterling khusus untuk Khalifah, membayar utang pemerintah Ustmaniyah yg mencapai 33 juta Poundsterling, membangun kapal induk untuk pemerintah dengan biaya 120 juta Franc, memberi pinjaman 5 juta Poundsterling tanpa bunga dan membangun Universitas Ustmaniyah di Palestina. Namun dengan tegas  Khalifah Abdul Hamid II menyatakan, "Aku tidak melepaskan meskipun sejengkal tanah ini (Palestina) karena ini bukan milikku." Bahkan Abdul Hamid menegaskan bahwa selama masih hidup, dia lebih rela menusukkan pedang ke tubuhnya sendiri daripada melihat tanah palestina dikhianati dan dipisahkan dari Khilafah Islamiyah. 

Penjagaan atas Palestina yang seperti ini juga atas negeri-negeri muslim lainnya dari penjajah hanya bisa dilakukan oleh Khilafah dibawah kepemimpinan seorang Khalifah. Khalifah akan dengan mudah mengirimkan pasukan terbaiknya untuk memerangi dan mengusir kaum kafir penjajah. Di bawah satu  komando seorang Khalifah umat Islam akan diserukan jihad fii sabilillah demi melindungi kesucian dan kehormatan Islam dan kaum muslim. Maka tak hanya Israel, bahkan Inggris hingga Amerika Serikat akan sangat mudah dikalahkan.