-->

Dinasti Politik Sebagai Hasil Dalam Sistem Demokrasi

Oleh : Aulia Rahmi (Mahasiswi Pascasarjana UNY) 

Penamabda.com - Dinasti politik adalah kekuasaan yang secara turun temurun dilakukan dalam kelompok warga untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan. Dalam politik serentak pilkada tahun 2020 ini sarat akan aroma dinasti politik. Praktik dinasti politik sebenarnya sudah terjadi sejak lama mulai dari rezim Soeharto sampai saat ini. Dinasti politik pun tidak hanya menjangkiti para pejabat nasional tapi juga para pejabat daerah. Praktik ini pun makin subur setelah Majelis Konstitusi (MK) pada 8 Juli 2015 dengan membatalkan Pasal 7 huruf (r) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada yang menerangkan syarat calon Kepala Daerah (Gubernur, Bupati atau Walikota) tak mempunyai konflik kepentingan dengan petahanan. Dalam peraturan ini maka pencalonan kepala daerah dibolehkan dari keluarga petahanan. Maka ini maka secara langsung melegalkan dinasti politik. 

Beberapa sejarah dinasti politik yang terjadi di Indonesia yang dikutip dari www.matamatapolitik.com seperti zaman soeharto yang menunjuk putri sulungnya sebagai menteri dan beberapa rekan ABRI untuk menjabat di DPR RI. Megawati menempatkan anaknya Puan Maharani di Menteri Sosial era Jokowi lalu kini menjadi Ketua DPR RI. Kemudian pada Pilkada serentak 2020 ini, anak dan menantu Jokowi ikut meyalonkan diri dalam pemilihan. Gibran Rakabuming dalam pemilihan calon Walikota Solo dan Bobby Nasution dalam Pilwalkot Medan. 

Selain itu dinasti politik juga terjadi di daerah, dinasti politik di daerah semakin masif lantaran seirirng dengan perubahan hubungan pusat-dearah yang awalnya tersentralisasi menjadi desentralisasi melalui kebijakan otonomi daerah yang melahirkan demokratisasi di tingkat lokal, di mana pemimpin daerah dipimpin langsung oleh warganya.

Seperti kasus bu Atut, Ratu Atut Chosiyah (Mantan Gubernur Banten), dimana banyak dari anggota keluarganya yang pernah dan masih mencicipi kursi pejabat. Dimulai dari adiknya Ratu Tatu Chasanah yang menjabat Wakil Bupati Serang kemudian menjadi Bupati Serang 2016-2021. kemudian adik tirinya, iparnya serta putranya dan istri putranya juga merasakan kursi jabatan. 

Dinasti politik ini juga menghasilkan akses korupsi. Seperti yang terjadi di Banyuasin. Bupati Banyuasin yaitu Yan Anton Ferdian pada periode 2013-2018, diamankan KPK terkait kasus suap proyek di dinas pendidikan Banyuasin. Dia melanjutkan kursi kekuasaan yang diduduki oleh ayahnya sebelumnya yaitu Amiruddin Inoed selama 12 tahun. Diatas hanya beberapa dari contoh klan-klan politik pada tingkat lokal.  

Seperti diatas dampak dinasti politik akan menyuburkan praktek nepotisme dan korupsi. Selain itu, dinasti politik juga bisa menghilangkan fungsi checks and balances. Misalnya pejabat A akan sulit mengkritisi pejabat lain yang berasal dari dinasti yang sama karena hubungan kekeluargaan. Menurut Ujang Komarudin, pengamat politik dari Universitas Al-Azhar. “Pencalonan keluarga penguasa dalam pemilihan kepala daerah akan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang baik dalam level nasional maupun daerah. Ini akan berbahaya bagi proses demokratisasi. demokrasi akan bisa dibajak oleh kekuatan oligarki dan dinasti politik”. 

Politik oligarki adalah bentuk pemerintahan yang kekuasaannya politiknya secara efektif dipegang oleh kelompok elit kecil dari masyarakat baik dibedakan menurut kekayaan, keluarga atau militer. Bedanya dinasti dilakukan orang per orang kalau oligarki dilakukan kelompok. Maka oligarki politik yang dibangun parpol berkuasa dan dinasti politik yang dilakukan individu penguasa adalah keniscayaan dari sistem demokrasi. karena dalam demokrasi sistem pemilihannya melalui suara terbanyak sebagai syarat kemenangan. 

Namun suara terbanyak ini dapat diraih dengan uang, ketenaran dan pengaruh jabatan yang dimiliki. Memang kedaulatan ada di tangan rakyat, namun dalam prakteknya nihil. Rakyat hanya memiliki otoritas dalam memilih pemimpin yang akan duduk di kursi pemerintahan. Itu pun memilih orang-orang yang sudah dipilih dan disaring oleh masing-masing parpol dan proses politik. artinya mereka hanya bisa memilih sebagai wakil mereka orang-orang yang sudah ditunjuk oleh parpol peserta bukan pilihan murni dari rakyat itu sendiri. 

Penyaringan sendiri oleh parpol inilah yang akan memuluskan langkah dalam mendirikan dinasti politik. Sehingga kebanyakan orang-orang yang terpilih adalah orang-orang yang akan memberi keuntungan untuk parpolnya masing-masing dan sehingga kriteria tentang skill, kompetensi, tanggung jawab maunpun sifat amanah menjadi kabur dan bukan menjadi prioritas utama. karena itu politik dinasti menjadi hasil mutlak dari sistem demokrasi. 

Hal ini sungguh berbeda dengan sistem islam. Dalam khilafah, pemimpin negara akan dipilih langsung oleh rakyat setelah memenuhi ketentuan syariat dengan kedaulatan berada di tangan syara’. Penguasa negara dituntut untuk menerapkan hukum-hukum Allah dalam segala lini kehidupan. Peanguasa tersebut adalah khalifah (kepala negara), Amir dan Wali yang ditunjuk langsung oleh khalifah untuk memerintah di wilayah tertentu. sementara Muawin Tafwidh sebagai pembantu khalifah. Merekalah yang berwenang mengadopsi hokum syara’ dan undang-undang administrative dalam mengurus urusan rakyat. 

Metode dalam pengangkatan khalifah adalah berdasarkan syariat adalah bai’at dari umat dengan kekuasaan ada ditangan umat. Umat memiliki hak untuk memilih khalifah yang akan mengurusi urusan mereka, sementara wali, amil, dan mu’awin ditunjuk oleh khalifah terpilih.

Sementara dalam penyeleksian calon khalifah akan dipilih oleh mahkamah mazhalim dengan berdasarkan 7 ketentuan in’iqod: (1) muslim; (2) laki-laki; (3) baligh; (4) berakal; (5) adil; (6) merdeka; (8) mampu. Mampu disini, seorang khalifah harus orang yang amanah dalam menjalankan kehilafahan yaitu menjalankan urusan rakyat berdasarkan Al-quran dan Sunnah. 

Termasuk juga pemahaman khalifah terhadap Kitabullah dan Sunnah nabi serta kesiapannya menerapkan secara kaffah dan konsisten. Setelah kriteria ini terpenuhi, calon kepala negara yang sudah diverifikasi dan diseleksi ini diserahkan ke majelis umat. Selanjutnya majelis umat akan melakukan musyawarah untuk menyeleksinya. Pertama, hasil dari majelis umat akan menetapkan 6 calon. kedua, 6 calon tersebut akan dieliminasi sehingga menyisakan 2 nama saja. setelah ini tidak boleh ada penambahan calon lain. Kemudian 2 calon inilah yang akan diserahkan kepada umat untuk dilipih. 
Maka demikianlah islam menggariskan posisi pemilihan khalifah yang didasarkan oleh syariah dan dipilih oleh umat karena ketaqwaan dan kapasitasnya dalam menjalankan seluruh perintah syara’.  

Dengan proses pengangakatan khalifah seperti diatas, maka Islam tidak mengenal adanya politik dinasti dalam sistem pemerintahan islam. Islam tidak mengenal adanya pewarisan kekuasaan kepada putra mahkota. Karena pemimpin yang sudah diseleksi berdasarkan syarat-syarat syar’i tersebut kemudian umat menyampaikan bai’at nya kepada khalifah tersebut. sehingga sistem pengangkatannya dilakukan dengan bai’at umat kepada khalifah tersebut bukan dengan sistem turun temurun atau penunjukkan dari khalifah sebelumnya. 

Khalifah sebelumnya hanya boleh menyalonkan/menyarankan kandidat yang menurutnya mumpuni baik itu keluarganya ataupun bukan, namun tetap keputusan ada ditangan umat. Sehingga kondisi ini akan menutup rapat kemungkinan adanya politik dinasti. 

Wallahu alam bi ash showab.