-->

UU Ciptaker Diketok, Demokrasi Memang Bobrok

Oleh : Irayanti S.AB
(Relawan Media)

Penamabda.com - #DewanPengkhianatRakyat mewarnai trending di media sosial twitter. Hal ini berbuntut akibat disahkannya RUU Ciptaker oleh DPR RI dan pemerintah menjadi Undang-Undang Cipta Kerja. 

Dirilis oleh Bisnis.co (06/09/2020) lewat siaran di media sosial Youtube, masyarakat Indonesia menyaksikan secara langsung bagaimana undang-undang Omnibus Law tersebut diketok palu oleh ketua DPR. Ini setelah sebagian besar fraksi di kompleks DPR RI menyetujui UU tersebut kecuali Fraksi Demokrat dan PKS, pada Senin sore di Senayan (5/10/2020).

Mengenal UU Ciptaker Kontroversial

UU Cipta Kerja merupakan bagian dari Omnibus Law. Omnibus Law atau dikenal dengan Omnibus Bill merupakan suatu Undang-Undang (UU) yang dibuat untuk mencabut, menambah, dan mengubah beberapa UU sekaligus menjadi lebih sederhana. Sejatinya, Omnibus Law berkaitan dalam bidang ekonomi. Namun, justru Omnibus Law menjadi ancaman bagi masyarakat, salah satunya sistem ketenagakerjaan yang tidak adil bagi para pekerja. 

Konsep kata ‘omnibus’ berasal dari Bahasa Latin, yang artinya ‘untuk semua’. Artinya, omnibus bersifat lintas sektor atau UU sapu jagat. RUU tersebut menimbulkan kontroversi sejak awal pembahasan lantaran dianggap merugikan para pekerja atau buruh dan hanya mementingkan pemberi kerja atau investor

Meski ditolak banyak elemen masyarakat, omnibus law atau ciptaker ini tetap disahkan. Fenomena ini membuat kita bertanya-tanya, mengapa hal itu bisa terjadi?
Bukankah demokrasi terkenal dengan slogan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat? Lalu dimana pula kedaulatan yang berada di tangan rakyat jika suara rakyat tidak di hiraukan, ataukah ini hanyalah mitos belaka.

Tabiat Demokrasi

Penolakan terhadap UU Ciptaker ini mengundang massa dari kalangan buruh, mahasiswa, pelajar serta berbagai organisasi. Tak peduli dengn korona yang kian meningkat, merekapun menggelar berbagai aksi unjuk rasa di beberapa wilayah Indonesia dengan memakai protokol kesehatan namun berujung beberapa aksi anarkis/vandalisme yang dilakukan oleh beberapa oknum.

Dari pihak pemerintah menyebarkan narasi bahwasanya para pendemo karena terpancing hoax draf UU. Mereka meminta rakyat membaca draft UU yang asli sebelum melakukan penolakan. Eksekutif dan legislatif pun bersuara menyarankan jika protes publik diarahkan ke Mahkamah Yudikatif (MK) dengan mengajukan Yudisial Review. Secara normatif, hal tersebut sah-sah saja. Tapi secara substantif merendahkan nalar publik dan terkesan lucu. Menurut anggota DPR RI dari fraksi partai Denokrat, Herman Khaeron dan dari PKS, Amin AK mengaku tidak menerima draf RUU Ciptaker sebelum rapat paripurna diselenggarakan. 

Anggota DPR RI yang hadir saat pengesahan adalah sebanyak 318 orang atau 55% dari total 575 anggota DPR RI. Benarkah para anggota ini telah membaca pula draf RUU yang notabenenya belum dibagikan sebelum mereka mengatakan setuju? Jika belum maka sangat memalukan, menyuruh rakyat membaca draf yg asli tapi naskah aslinya pula masih dalam tahap penyempurnaan tapi sudah disahkan, suatu tipu-tipu alam demokrasi yang selalu berulang.

Beginilah tabiat demokrasi, kedaulatan berada di tangan rakyat hanya sebuah mitos dan slogan yang rusak. Ketahuilah saat hukum dibuat oleh manusia dengan asas sekulerisme justru akan tetap menyengsarakan. 

Slogan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat juga hanya tipuan. Di Tanah Air regulasi ketenagakerjaan sering justru berpihak kepada pengusaha atau investor. Dengan dalih menyuburkan iklim investasi, yakni agar para investor mau berinvestasi dan membuka lapangan pekerjaan, beragam regulasi dibuat untuk kepentingan mereka dengan meminggirkan kepentingan tenaga kerja. Inilah dampak sistem kapitalisme. Hakikatnya, aturan buatan manusia tidak akan menyejahterakan rakyat termasuk buruh/pekerja. 

Aturan yang dibuatpun rentan konflik seperti yang terjadi saat demo tolak omnibuslaw yang terjadi di gedung DPR dan beberapa wilayah Indonesia. Fenomena ini bukan sekali terjadi tapi berkali-kali. Menyampaikan kritik boleh saja, namun melakukan pengrusakan adalah hal yang salah. 

Islam Solusi Problematika

Perburuhan dalam Islam dinamakan ijarah. Dalam Islam, ijarah adalah: ‘aqd[un] ‘ala manfa’at[in] bi ‘iwadh[in] (akad/kesepakatan atas suatu jasa dengan adanya imbalan/kompensasi tertentu). Dan hukumnya adalah mubah (boleh).

Dalam akad ijarah (perburuhan) ada beberapa rukun yang wajib diperhatikan: (1) dua pihak yang berakad, yakni buruh dan majikan/perusahaan; (2) ijab-kabul dari dua belah pihak, yakni buruh sebagai pemberi jasa dan majikan/perusahaan sebagai penerima manfaat/jasa; (3) upah tertentu dari pihak majikan/perusahaan (4); jasa/manfaat tertentu dari pihak buruh/pekerja. Akad yang telah disepakati wajib dilaksanakan oleh kedua pihak yang berakad. Allah SWT berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu (TQS al-Maidah [5]: 1).

Buruh/pekerja wajib memberikan jasa sebagaimana yang disepakati bersama dengan pihak majikan/perusahaan. Ia pun terikat dengan jam/hari kerja maupun jenis pekerjaannya. Sebaliknya, sejak awal majikan/perusahaan wajib menjelaskan kepada calon pekerja/buruh tentang jenis pekerjaannya, waktu kerjanya serta besaran upah dan hak-hak mereka. Nabi saw. bersabda:
Siapa saja yang mempekerjakan seorang buruh hendaklah ia memberitahukan upahnya kepada buruh tersebut (HR Abdur Razaq dan Ibnu Abi Syaibah).

Pihak majikan/perusahaan haram mengurangi hak buruh, mengubah kontrak kerja secara sepihak, atau menunda-nunda pembayaran upah buruh. Rasulullah saw. bersabda:
Berikanlah kepada pekerja upahnya sebelum keringatnya kering (HR Ibnu Majah).

Negara wajib turun tangan menyelesaikan perselisihan buruh dengan majikan/perusahaan. Negara tidak boleh berpihak kepada salah satu pihak. Akan tetapi, negara harus menimbang dan menyelesaikan permasalahan kedua pihak secara adil. Sayangnya, jika masih mempertahankan sistem kapitalisme maka keadilam tersebut tidak akan pernah tercapai. Hanya kembali kepada hukum Islam lah keadilan dan kesejahteraan serta keamanan akan tercapai. Sebagaimana Islam mengatur seluruh aspek kehidupan bukan hanya sekedar ritual ibadah. 

Wallahu a'lam bishowwab