-->

Menggugat Kemerdekan Berkumpul, Berserikat dan Mengeluarkan Pendapat

Oleh : Ummu Hanif, (Anggota Lingkar Penulis Ideologis)

Penamabda.com - Era industry 4.0 menyebabkan pergerakan informasi sangat cepat, melebihi kecepatan gerak manusia dengan alat transportasinya. Sebuah kejadian bisa langsung tersebar ke seantero negeri, ketika telah sampai di media sosial. Demikian juga peristiwa yang amat disayangkan, yang menciderai persaudaraan seiman. Sebuah video yang memperlihatkan puluhan anggota Banser menggeruduk salah satu tempat pendidikan. Anggota Banser tersebut mendatangi Lembaga pendidikan madrasah, Yayasan Al Hamidy – Al Islamiyah di Desa Kalisat, Kecamatan Rembang  Kamis (20/8/2020). Mereka menduga lembaga pendidikan TK, MI dan MTs itu menjadi sarang HTI dan penyebaran paham khilafah.

Dalam video yang beredar tersebut, Ketua GP Ansor Bangil, Kabupaten Pasuruan, Saad Muafi tampak bebicara keras dengan seorang pria yang ditengarai menyebarkan paham khilafah.

Video tersebut mendapatkan banyak respon, terutama saat warganet menyoroti sikap Saad Muafi yang dinilai mengabaikan adab kepada ulama yang lebih tua. Bahkan, Wakil Sekjend Majelis Ulama Indonesia, Najamudin Ramli dalam video call di program Kabar Petang TV One, menyebut tindakan Saad Muafi dan puluhan Banser sebagai 'tindakan polisional yang sangat disayangkan'. Terlebih, Saad Muadi, yang juga anggota DPRD Kabupaten Pasuruan, dinilai tidak mengedepankan adab kepada orang yang lebih tua. (www.tribunnews.com, 23/08/2020)

Menilik awal konflik, yakni keberatan dengan paham khilafah, rasanya perlu kita mencermati sejenak. Syariah yang kaffah sebagai ajaran Islam yang menyeluruh, dalam konteks tsaqafah pasti akan bertemu dengan Khilafah. Antara syariah kaffah dan Khilafah memang tidak bisa dipisahkan.
Khilafah itu bagian dari syariah Islam di bidang politik. Sedang khilafah sebagai institusi bertugas untuk menerapkan syariah secara kaffah. Dan dengan penerapan syariah secara kaffah itulah akan terwujud rahmatan lil ‘alamin.

Jika benar kita sebagai bangsa yang selalu mengedepankan dialog dan musyawarah, mestinya kita juga berani membiarkan terjadi dialog dalam soal-soal seperti ini. Yang selama ini terjadi, dialog itu tidak ada. Kalau tidak ada dialog, dan selama tidak ada dialog, antara aspirasi syariat Islam dan negara, pasti akan melahirkan polarisasi, yaitu kutub-kutub yang terus konflik dan bertentangan bahkan makin tajam dan mengeras atas dasar curiga dan ketidaktahuan.

Bagaimana wacana akan cair bila dialog tidak ada. Dan bagaimana akan terjadi dialog bila yang berkembang adalah tuduhan-tuduhan dan klaim-klaim: HTI radikal, HTI anti-Pancasila, HTI berbahaya, dan sebagainya. Dialog itu kebutuhan kita bersama sebagai bangsa karena bangsa ini bukan milik sekelompok orang tapi milik bersama seluruh rakyat Indonesia. Pemerintahlah yang berkewajiban menyelenggarakan dialog untuk mendengar aspirasi rakyat.

Dan bila polarisasi itu terjadi, akan bergeser menjadi konflik horizontal antara sesama anak bangsa. Yang satu atas nama agama, yang lain menyerang aspirasi agama. Seperti halnya yang terjadi pada kasus tersebut di atas. Maka, masih adakah sebenarnya kemerdekaan berkumpul, berserikat dan mengeluarkan pendapat di negeri ini? Bukankah ironis, kemerdekaan warga negara justru terenggut di bulan ini? Bulan dimana seluruh anak negeri berbangga atas nama kemerdekaan Indonesia.

Wallahu a’lam bi ash showab