-->

Mampukah POP Mewujudkan Guru Berkualitas?

Oleh: Siti Muslikhah
(Aktivis Dakwah Musi Banyuasin)

Penamabda.com - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) meluncurkan sebuah program unggulan yaitu Program Organisasi Penggerak (POP). Program ini adalah bagian dari kebijakan Merdeka Belajar episode keempat  pada 10 Maret 2020.

Menurut Peraturan Sekjen Kemendikbud Nomor 4 Tahun 2020, Program Organisasi Penggerak adalah program peningkatan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan dengan melibatkan ormas sebagai mitra yang berdampak pada peningkatan hasil belajar peserta didik. Organisasi yang berpartisipasi dapat menerima dukungan pemerintah untuk mentrasformasi sekolah menjadi Sekolah Penggerak. Pada tahun 2020-2022 Program Organisasi Penggerak (POP) memiliki sasaran meningkatkan kompetensi 50.000 guru, kepala sekolah dan tenaga kependidikan di 5.000 PAUD, SD dan SMP.

Kemendikbud mengalokasikan anggaran Rp 595 miliar per tahun untuk membiayai pelatihan atau kegiatan yang diselenggarakan organisasi terpilih. Organisasi yang terpilih dibagi tiga kategori yakni Gajah, Macan, dan Kijang. Untuk Gajah dialokasikan anggaran sebesar maksimal Rp20 miliar per tahun, Macan Rp5 miliar per tahun, dan Kijang Rp1 miliar per tahun. 

Dalam Surat Pemberitahuan Hasil Evaluasi Proposal POP Nomor: 2314/B.B2/GT/2020 pada 17 Juli 2020 Kemdikbud menyatakan 183 proposal dari 156 ormas memenuhi kriteria untuk melaksanakan program peningkatan Kompetensi Pendidik dan Tenaga Kependidikan dengan menggunakan dana bantuan pemerintah. Evaluasi ini dilakukan oleh SMERU Research Institute menggunakan double blind review dengan kriteria yang sama untuk menjaga netralitas dan independensi.

Akan tetapi Program Organisasi Penggerak (POP) saat ini mendapat sorotan dari masyarakat ditengah pandemi Covid-19. Sejumlah organisasi menyatakan mundur dari Program Organisasi Penggerak (POP), diantaranya adalah Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama (LP Ma’arif NU), dan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Mereka menilai pemilihan ormas dan lembaga pendidikan yang ditetapkan lolos evaluasi proposal bantuan dana POP tidak jelas dan transparan. (Bisnis.com 25/7/2020).

Lolosnya dua korporasi besar yang berafiliasi dengan Tanoto Foundation dan Putera Sampoerna Foundation mendapatkan protes. Yayasan Putera Sampoerna mendapatkan dana Kategori Macan dan Gajah, sedangkan Yayasan Bhakti Tanoto mendapatkan dana Kategori Gajah sebanyak dua kali yaitu Pelatihan guru SD dan SMP. Padahal keduanya dikenal luas sebagai organisasi Corporate Social Responsibility (CSR) yang sudah sangat kaya sumber daya finansialnya. Sehingga tidak selayaknya mendapat sokongan lagi dari APBN.

Mendikbud Nadiem Makarim di laman resminya kemdikbud.go.id (28/7/2020) mengklarifikasi  bahwa Putera Sampoerna Foundation bersama Tanoto Foundation dipastikan menggunakan skema pembiaayan mandiri untuk mendukung POP. Mendikbud juga meminta maaf kepada tiga organisasi tersebut dan mengajak kembali bergabung ke dalam POP. 

Kebijakan POP Patut Diwaspadai

Meningkatan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan merupakan bagian penting dari keberlangsungan kualitas pendidikan. Dan tugas ini merupakan tanggung jawab negara. Pemerintah tidak boleh bermitra dengan pihak lain/korporasi karena arah pendidikan terutama kualitas guru, akan sulit di kontrol negara.

Program peningkatan kualitas guru yang dilakukan oleh CSR sebuah perusahaan besar misalnya. Besar kemungkinan tujuannya mengarah pada profit. Meski konsep CSR adalah sebagai kontribusi mereka di bidang sosial masyarakat, tetap saja tidak akan terlepas dari target keuntungan perusahaan.

Maka, kualitas guru yang mereka inginkan tentu sosok guru yang sejalan dengan kepentingan mereka. Selain itu, kemitraan ini berpotensi buruk terhadap arah pendidikan negara yang bisa disetir kepentingan korporasi.

Jika kita teliti, kebijakan POP ini tidak lepas dari paradigma kekuasaan dalam sistem kapitalis neoliberal yang dikenal dengan istilah Reinventing Government. Dengan paradigma ini negara hanya berfungsi sebagai regulator, bukan penanggung jawab dan penyelenggara urusan kebutuhan publik. Maka diharuskan adanya distribusi fungsi, wewenang, dan tanggung jawab negara kepada masyarakat.

Paradigma inilah yang diimplementasikan dalam masalah pendidikan, khususnya kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan. Masalah ini dianggap sebagai tanggung jawab bersama.

Pemerintah hanya berperan sebagai pembuat regulasi global dan pemasok dana “seperlunya”. Selebihnya akan diserahkan kepada masyarakat dan swasta sebagai bentuk partisipasi pembangun. Dengan konsep “berbagi peran” inilah, POP diluncurkan. Walhasil, peningkatan kualitas pendidik dan tenaga kependidikan bukan lagi tugas dan tanggung jawab penuh bagi negara, tetapi ada pembagian peran dengan organisasi massa bahkan individu warga negara.

Konsep berbagi peran ini sekilas nampak baik, namun pada hakikatnya menunjukkan abainya negara dalam mengurusi kebutuhan warganya dalam masalah pendidikan. Program POP  ini adalah bentuk pengalihan tanggung jawab negara kepada masyarakat atau swasta. Tentu ini berbahaya, sebab dapat menjauhkan dari tujuan pendidikan yang sahih.

Kebijakan Islam dalam Mewujudkan Kualitas Pendidikan

Dalam Islam, negara mengemban amanah untuk menjadi pelaksana langsung pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, termasuk menyediakan guru kompeten agar kebutuhan pendidikan terpenuhi dengan baik. Negara tidak boleh menyerahkan tanggung jawabnya kepada masyarakat maupun swasta. Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Seorang imam (khalifah /kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya” (HR al-Bukhari).

Disamping itu Islam memandang pendidikan adalah salah satu kebutuhan asasi bagi rakyat keseluruhan. Pendidikan bukan sebagai kebutuhan sampingan, karena tanpa pendidikan martabat manusia tidak akan mulia. Pendidikan merupakan hak setiap warga negara, tanpa membedakan martabat, usia, maupun jenis kelamin seseorang. Karenanya, pelayanan pendidikan wajib dipenuhi oleh negara Islam (khilafah) secara langsung, baik berkaitan dengan penyediaan sarana prasarana pendidikan, pembuatan kurikulum, hingga mencetak guru-guru atau tenaga-tenaga pengajar yang mumpuni.

Dalam mencetak guru-guru berkualitas dan memadai, khilafah memfasilitasi dengan membuka perguruan tinggi yang sangat luas jurusan keguruannya yang outputnya akan berprofesi sebagai guru di sekolah-sekolah. Pendidikan ini tentu akan diperoleh oleh warga negara yang ingin berprofesi sebagai guru dengan cuma-cuma atau gratis dan dengan berkualitas terbaik.

Peran guru yang sangat mulia dalam mendidik generasi dan menyiapkan generasi sebagai pemimpin peradaban menjadikan khilafah harus menjamin profesionalisme guru . Guru harus handal dan memiliki kompetensi dalam menjamin terwujudnya tujuan pendidikan. Khilafah menjadikan kompetensi kepribadian yang melekat pada figur guru diantaranya; berkepribadian Islam, berakhlak mulia dan berjiwa pemimpin, serta menjadi teladan bagi anak didiknya. 

Profesionalisme guru ini benar-benar akan tumbuh subur dalam khilafah. Sebab khilafah membangun lingkungan yang kondusif, memiliki perundang-undangan yang mendukung diterapkannya sistem pendidikan Islam dan memberikan anggaran dana yang sangat tinggi sehingga tersedia gaji dan fasilitas yang sangat baik bagi guru. Penghargaan kholifah terhadap guru yakni dengan memberikan gaji yang sangat besar dan mencukupi kehidupan mereka. Seperti pada masa Umar bin Khattab ra. Yang memberikan gaji tiga orang guru yang mengajar anak-anak di Madinah dengan masing-masing sebesar 15 dinar. 1 dinar 4,25 gram emas sekitar 38 juta rupiah dengan harga 1 gram emas sekarang 600 ribu rupiah .

Segala fasilitas yang menunjang kegiatan belajar mengajar yang memudahkan guru dalam mentransfer ilmu dan membina peserta didik sesuai dengan kreativitas, daya cipta dan kebutuhan akan disediakan oleh negara. Sarana itu dapat berupa buku-buku pelajaran, bangunan gedung sekolah atau kampus, asrama siswa, perumahan staf pengajar atau guru, perpustakaan, laboratorium, toko-toko buku,  ruang seminar auditorium tempat dilakukan aktivitas diskusi, majalah, surat kabar, radio, televisi, kaset, komputer, internet dan lain sebagainya. Semua sarana tersebut diberikan secara cuma-cuma. 

Seluruh pembiayaan pendidikan di dalam negara khilafah diambil dari baitul mal, yakni dari pos fai’ dan khoroj serta pos kepemilikan umum. Jika pembiayaan dari  dua pos tersebut mencukupi,  maka negara tidak akan menarik pungutan apa pun dari rakyat. Jika harta baitul mal habis, atau tidak cukup untuk menutupi pembiayaan pendidikan maka negara Khilafah meminta sumbangan sukarela dari kaum muslim. Jika sumbangan kaum muslim juga tidak mencukupi maka kewajiban pembiayaan untuk pos pendidikan beralih kepada seluruh kaum muslim. Dalam kondisi seperti ini, Allah SWT memberikan hak kepada negara untuk memungut pajak (dharibah) dari kaum muslim. Hanya saja penarikan pajak dilakukan secara selektif yakni pada pihak-pihak yang dirasa mampu dan berkecukupan saja yaitu orang kaya. Dukungan negara seperti inilah yang akan mengembalikan peradaban cemerlang. Dimana guru menjalankan tugas yang mulia yang akan melahirkan pemimpin dan manusia beradab masa depan dan membangun peradaban bangsanya.

Wallahu a’lam bishshawwab