-->

Sekolah Zona Hijau Tetap Bikin Galau

Oleh : Darmila Ariyani (Aktivis Muslimah) 

Penamabda.com - Sejak diumumkan oleh menteri pendidikan dan kebudayaan Nadem Makarin tentang bolehnya sekolah yang berada di zona hijau (sejumlah 92 kabupaten / kota atau 6% dari keseluruhan  belajar tatap muka setelah memenuhi beberapa persyaratan. Dan ini mendapat respon beragam banyak pihak galau. Diantaranya, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Jaringan Pengamat Pendidikan Indonesia (JPPI) dan kalangan masyarakat lainnya.

Dan pihak sekolah bakal kerepotan jika harus menangani pembelajaran tatap muka yang terikat dengan berbagai  protokol kesehatan. Utamanya soal physical distancing yang mengharuskan kelas hanya terisi setengahnya. Dan berimbas pada kurikulum dan kinerja pengajarnya. Dari satu sisi ada siswa yang tidak mendapat izin orangtua belajar di sekolah, dan ini pasti sekolah juga harus bertanggung jawab terhadap pembelajaran jarak jauh siswa – siswanya. 

Ditambah pemerintah tidak juga mengeluarkan kurikulum darurat saat pandemi, baik untuk pembelajaran jarak jauh maupun belajar tatap muka saat pandemi, pastinya ini menjadi beban berat bagi pekerjaan sekolah.

Guru- guru kebingungan dengan ketidakjelasan kurikulum dan metode pencapaian. Dari sisi lain, siswa dan orangtua galau. Meski para siswa terobati keinginan untuk belajar di sekolah, namun mereka tetap was – was akan risiko penularan Covid 19 yang begitu cepat dan tak terduga, terlebih kebijakan New Normal  Life mulai diberlakukan.

Daerah zona merah tidak jauh berbeda, juga mengalami kegalauan. Mereka harus berjuang, dan pembelajaran jarak jauh yang diperkirakan berlangsung hingga awal tahun 2021 atau selama satu semester ke depan.

Kenapa adanya kegalauan ini dikarenakan Negara tidak memiliki panduan lengkap lagi shahih tentang penyelenggaraan pendidikan. Sistem pendidikan yang dipakai adalau sistem pendidikan sekuler kapitalisme yang menyimpang dari Islam.
Meski sekilas tujuan pendidikan sudah sesuai Islam  sebagaimana  tampak dalam UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3, yaitu mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab, namun bila ditelaah secara mendalam hakikatnya tidaklah demikian. Secara penerapannya justru menyalahi Islam. Tampak diantaranya kurikulum pendidikan yang tak memberi ruang cukup pembentukan kepribadian Islami melalui upaya memahamkan tsaqafah Islam, sementara penguasaan materi seperti Sains, Matematika, dan literasi (merujuk penilaian PISA) lainnya jauh dari dominan.
Masuknya spiritualitas dalam Kompetensi Inti (KI) di kurikulum nasional pun tidak bisa menghilangkan esensi sekularistiknya pendidikan, karena dimaknai spiritualitas secara sekuler seperti Barat memaknai agama. 

Materi keislaman lebih menonjolkan teori daripada pembentukan sikap, dan ini baik materi ajar maupun guru hingga lingkungan sekolah tak mampu membentuk suasana spiritual yang melahirkan ketaatan total kepada Allah SWT.

Pendidikan kapitalis memang tidak dirancang untuk membentuk kepribadian Islam, tapi justru membentuk kepribadian sekuler. Capaian pendidikan hanya orientasi aspek pengetahuan kognitif. Materi kurikulum sangat padat, bahkan saling tumpang tindih. Model evaluasi pembelajaran (ujian dan ulangan) juga menonjolkan aspek nilai. Akhirnya orientasi ekonomi dan dunia kerja menjadi tolak ukur keberhasilan pendidikan.

Mendikbud memang telah melonggarkan masalah capaian pendidikan agar tak terfokus pada kurikulum yang telah ditetapkan, ternyata malah menjadikan kebingungan bagi guru, karena Negara tidak mampu memberikan gambaran kurikulum pendidikan yang tepat.
Beban semakin bertambah dengan minimnya kualitas guru dan sarana prasarana penunjang, baik tatap muka maupun jarak jauh sama – sama beratnya.
Bagaimana jalan keluarnya menghadapi permasalahan ini di dalam Islam ?
Sebagai agama dan tatanan hidup bernegara yang bersumber dari Allah SWT, memiliki solusi bagi seluruh problematika manusia. Problem pendidikan saat pandemi bisa diselesaikan mengikuti aturan Islam dan bisa dijalankan dalam kehidupan. Sebab asas yang dipakai adalah aqidah Islam yang selaras dengan fitrah manusia.

Di dalam situasi pandemi, Islam yang terepresentasi dalam sistem khilafah menetapkan kebijakan penguncian areal yang terjangkit wabah saja. Oleh karena itu, bagi wilayah yang tidak terjangkit wabah, masyarakatnya berhak untuk mendapatkan pendidikan di sekolah atau belajar tatap muka. Masyarakat pun tidak perlu khawatir perluasan wabah melalui impor ted case karena Negara telah melakukan tindakan penguncian.
Sementara di area wabah yang sudah dikunci, Negara yang menerapkan secara simultan beberapa kebijakan penanganan wabah. Yakni, prinsip isolasi orang terinfeksi dari yang sehat, social distancing, pengujian yang cepat dan akurat, pengobatan hingga sembuh dan peningkatan imunitas warga yang sehat, dan menjamin pemenuhan kebutuhan pokok secara langsung, seperti pangan, pakaian, perumahan, agar memutus rantai penularan yang efektif sehingga wabah tidak meluas dan segera berakhir.

Dengan model penanganan wabah seperti ini, persoalan pendidikan di masa pandemi tidak akan berkepanjangan. Wilayah yang tidak terjangkit tidak perlu galau dengan sekolahnya. Dan pada wilayah yang terjangkit, Negara tetap menjamin hak pendidikan. Selaras dengan kebijakan penanganan wabah. 

Inilah mengapa sistem khilafah menjadi kebutuhan umat sepanjang masa. Sebab menjadi penjaga dari segala kondisi yang mungkin terjadi pada manusia, terlebih kebutuhan pendidikan yang tidak boleh terjeda oleh wabah.