-->

TERUS BERHUTANG, HARTA MELAYANG

Oleh : Lia Rahmawati (Aktivis Muslimah Bangka Belitung)

Penamabda.com - Posisi hutang Indonesia per akhir bulan Mei 2020 berada di angka Rp 5.285,57 T. Nilai ini naik dari posisi akhir bulan April 2020 berkisar Rp 5.172,48 T. Pinjaman asing ini diperoleh pemerintah Indonesia dari Bank Dunia (World Bank). Hal itu perlu dilakukan sebagai upaya pemerintah untuk memulihkan ekonomi sebagai imbas dari dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan dari pandemik Covid 19, seolah olah di dalam negeri ini tidak ada lagi cara lain untuk memulihkan ekonomi, kecuali hanya dengan berhutang dan terkadang dengan mencetak uang. Sebab hanya solusi inilah yang mampu dilakukan negara yang menganut sistem Kapitalisme untuk menguasai devisit anggaran. 

Ditambah lagi dengan penguasa sekarang yang suka berhutang dan memalak rakyatnya berupa pajak dengan dalih untuk kemaslahatan bersama, padahal dengan bertambahnya hutang kepada para kapital hanya akan mengancam kedaulatan negara dan menambah penderitaan rakyatnya. 

Hutang negara semakin membengkak, sementara rakyat semakin tak terurus. Hutang yang diberikan oleh negara yang menjadi pemberi hutang hanya bertujuan untuk menguasai harta negara ini. Ibarat kata pepatah " Tidak Ada Makan Siang Yang Gratis ". Hutang ini tidak akan bisa terbayarkan dengan sistem kapitalis ini , karena bunganya sangatlah besar. Sebab untuk melunasi hutang tersebut dilakukan dalam rentang waktu yang lama. Tak bisa terbayangkan oleh benak kita, beban bunga yang harus ditanggung oleh rakyat sekarang dan generasi penerus yang akan datang, melalui pajak yang sangat tinggi. Maka tidak heran pemerintah mengambil pajak hampir di setiap sektor. Rakyat semakin dipersulit dan semakin tercekik, seolah-olah rakyat hidup dari pajak yang diambil dari rakyat sendiri. 

Efek dari hutang negara dengan bunga yang selangit ini terhadap masyarakat, yaitu semakin tingginya pajak kepada rakyat. Kebiajakan yang pro kepada kapitalis ini tidak pro kepada rakyat. Pemerintah semakin tunduk kepada kapital pemberi hutang. Sebagai contoh, yaitu semakin mudahnya tenaga kerja asing masuk dan bekerja di negeri ini. Sementara rakyat sendiri semakin banyak yang kehilangan pekerjaan, terlebih di masa pandemi ini. Dilepasnya penguasaan terhadap sumber daya alam kepada para kapital/si pemberi hutang. Peran negara bukan untuk mengurusi masalah rakyatnya, tetapi sudah seperti penjual dan pembeli. Rakyat harus membeli apa yang sebenarnya menjadi hak mereka secara gratis. Abainya negara dalam mengurusi masalah rakyatnya, seperti masalah kesehatan. Di saat rakyat sangat kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, apalagi dimasa pandemi seperti ini, pemerintah dengan teganya menaikkan iuran BPJS yang nyata-nyata sangat menyengsarakan rakyat. 

Pemerintah menyatakan sudah mengucurkan dana triliunan untuk dana Covid 19. Kemana perginya dana sebesar itu? Nyatanya untuk melakukan rapid test rakyat pun harus membayarnya. Para sopir yang akan mengangkut barang keluar masuk daerah harus menjalani rapid test setiap kali berada di pelabuhan manapun dan harus membayar sendiri. Sedangkan mereka juga harus membiayai keluarga mereka masing masing. Biaya rapid pun tergolong mahal. Anak-anak santri yang harus kembali ke pesantren harus melakukan rapid test yang harganya mahal semakin  menambah beban orangtua. Padahal anak-anak ini harus kembali masuk sekolah, karena diberlakukannya new normal oleh pemerintah. Padahal anak dan orangtua pun sangat khawatir dengan kondisi anak mereka di perjalanan, karena wabah Covid 19 yang setiap hari semakin meningkat. Penguasa hari ini hanya bisa mengeluarkan kebijakan tanpa solusi. 

Inilah potret wajah negeri ini, yang semakin bertumpuk masalah, hutang semakin besar, masalah pun tak kelar-kelar. Rakyat selalu dicurigai tetapi, pendatang asing selalu diberi angin segar untuk masuk ke negeri ini. Bak pangeran yang disambut dengan penjagaan di bandara yang mereka datangi tanpa dipersulit sedikit pun. Sementara rakyat sendiri dibuat seolah-olah seperti maling yang akan masuk ke dalam rumah yang siap ditangkap dan disikat. Pemerintah benar benar tidak siap untuk menanggulangi wabah Covid 19 ini, yang dilakukan hanya dengan menambah hutang negara untuk menutupi biaya negeri ini. Bayangkan saja kalau hutang sudah banyak dan untuk membayarnya pun lama, serta jatuh tempo dari janji pembayaran maka dapat di pastikan negeri ini akan tergadaikan dan bisa jadi akan dijual kepada yang memberi hutang. Dan kenyataannya pun aset negeri ini sudah lama dikuasai asing, dan kita sebagai rakyat hanya kebagian susahnya saja. Susah dalam segala hal. Untuk sakit saja harus bayar, jauh dari kata rakyat sejahtera. Inilah yang terjadi apabila sistem kapitalis yang terus dibangga- banggakan dan dipertahankan di negeri ini. Kita akan terus hidup sengsara sampai generasi selanjutnya. Selama sistem ini tetap terus dipertahankan, kita akan kehilangan negeri yang kaya dengan sumber daya alamnya. 

Padahal, apabila dikelola sendiri maka seluruh rakyat negeri ini akan sejahtera. Sebab hutang dalam sistem kapitalis adalah hutang riba yang jelas haram hukumnya dalam Islam. 

Solusi sehatnya keuangan negeri hari ini bisa sangat mudah terselesaikan, jika negeri ini mau taat kepada syariat Islam secara sempurna. Penguasa dalam sistem Islam, yaitu seorang khalifah, ia tidak akan menerapkan praktik hutang ribawi yang sangat merugikan. Melainkan dengan menerapkan sistem keuangan berbasis syariah, yakni baitul mal. Khalifah akan menghindari hutang bahkan haram hutang tersebut dari pihak asing. Khalifah akan melakukan optimalisasi pengelolaan sumber daya alam dalam negeri secara mandiri. Hasil pengelolaan ini sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan negara dan mensubsidi kebutuhan rakyat. Seperti pendidikan, kesehatan, pembangunan infrastruktur, dan pembiayaan di kala pandemi. Maka sudah jelas rakyat akan sejahtera apabila diterapkan syariat Islam di negeri ini. Karena hanya Islam satu satunya solusi bagi permasalahan permasalahan di negeri ini.

Wallahu A’lam Bishshawab