-->

Kembalikan Pada Syariah

Oleh: Dina Wachid

Penamabda.com - Klepon, jajanan tradisional Indonesia ini tiba-tiba jadi trending beberapa hari terakhir. Pasalnya muncul sebuah postingan yang menyebutkan bahwa jajanan yang berisikan gula merah ini sebagai makanan tidak islami. Kabar tersebut berawal dari beredarnya sebuah flyer dengan memperlihatkan foto kue klepon yang bertuliskan, "Kue klepon tidak Islami. Yuk tinggalkan jajanan yang tidak Islami dengan cara memberi jajanan Islami. Aneka kurma yang tersedia di toko Syariah kami." Di foto itu juga diberikan keterangan 'Abu Ikhwan Aziz' yang mengarah pada nama toko yang dimaksud.

Ternyata foto kue klepon yang dijadikan sebagai flyer tersebut diambil tanpa izin dari seorang Food Photographer, Dita W.Ichwandardi. Dalam cuitannya di Twitter (21/07) ia mengaku terkejut dengan foto kleponnya yang diambil tanpa izin dan dijadikan flyer yang berisi pesan sentimen. Lebih lanjut, ia juga mengatakan bahwa foto klepon tersebut diambil pada tahun 2008, saat dirinya masih aktif sebagai Food Photographer dan Food Blogger (detik.com, 22/07/2020).

Kemudian ajakan membeli kurma yang islami dan meninggalkan klepon yang tak islami, seperti menggiring publik pada suatu opini yang keliru. Semua yang dari Arab, seperti kurma, seolah adalah islami dan sesuai syariah. Sedangkan yang lokal, seperti klepon, dianggap tak islami. 
Hal ini tentu berbahaya karena menganggap ukuran islami (sesuai syariah) dan tak islami adalah ditentukan dari tempatnya. Sehingga apapun yang dari Arab adalah halal dan semua yang asli lokal setempat adalah haram. Padahal tak selalu begitu. Ini jelas salah kaprah dan menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat. 

Masalah seperti ini mudah saja jika tahu hukumnya. Dalam Islam, berlaku kaidah syara’ yaitu; “hukum asal benda adalah mubah (boleh), selama tidak ada dalil yang mengharamkannya.” Artinya, hukum asal benda itu adalah mubah, bukan haram, kecuali ada dalil syariah yang mengharamkannya. 

Makanan adalah termasuk benda. Maka, hukumnya mengikuti sebagaimana hukum benda, yaitu mubah/boleh. Tidak berubah hukum suatu benda, selama tidak ada dalil yang membuatnya menjadi haram. Ukuran halal dan haram pada suatu benda hanyalah berasal dari pandangan syariah.
Klepon boleh dimakan, dijual-belikan, dibuat, dsb, selama tidak ada unsur-unsur haram yang tercampur padanya. Misalnya dalam pembuatannya dicampur dengan gelatin babi atau alat masaknya bekas memasak bahan makanan yang diharamkan. Atau mungkin di dalamnya berisikan daging babi atau anjing misalnya. Maka, jika seperti ini hukumnya berubah menjadi haram karena ia telah tercampur oleh zat yang diharamkan oleh syariah.

Tidak perlu terjadi perdebatan, apalagi sampai debat kusir dan mengeluarkan caci maki. Umat jangan terpancing dengan hal-hal semacam ini yang jelas ingin membuat gaduh dan keributan. Apalagi juga tak jelas siapa yang membuat postingan tersebut.  

Banyak masalah lain yang lebih penting daripada perdebatan islami atau tidak islami suatu makanan. Jangan sampai energi kita habis membahas masalah kecil dan cabang hingga mengabaikan dari yang pokok. Yakni, masalah tidak diterapkannya aturan Islam, yang membuat umat ini terus-menerus didera masalah tak berkesudahan.

Adanya penerapan sistem kapitalisme sekuler liberal dalam kehidupan menjadi akar dari permasalahan umat Islam. Inilah masalah mendasar bagi umat Islam. Selama sistem ini masih berlaku di tengah masyarakat, maka akan terus menimbulkan kekacauan dan kerusakan. Mulai dari masalah dalam keluarga hingga masalah dalam bernegara. Mulai dari hal-hal yang privat sampai yang berkaitan dengan publik, semua tak luput dari sistem yang rusak ini.

Bukti dan fakta kerusakan sistem kapitalisme ini jelas terpampang di depan mata. Dan masalah klepon tak islami ini adalah salah satunya. Melihat benda bukan dari halal dan haram menurut syariah, tetapi menurut persepsi masing-masing.

Tentunya tak bisa jika manusia dibiarkan menentukan sendiri hukum dalam kehidupan, sedang manusia sangat terbatas akalnya. Penilaian manusia juga akan dipengaruhi dimana ia hidup dan latar belakang darimana ia berasal. Sehingga sangat memungkinkan terjadinya perbedaan persepsi atas segala hal. Bahkan seringkali terjadi pertentangan dan konflik karena perbedaan tersebut.
Maka, yang bisa menentukan hukum dan aturan segala hal dalam hidup hanyalah Allah, Sang Khalik yang telah menciptakan manusia, alam dan kehidupan. Bukan manusia itu sendiri. Aturan Allah yang merupakan syariah Islam berlaku untuk seluruh umat manusia. Hanya aturanNya saja yang pantas dan bisa diterapkan oleh manusia. Siapa yang lebih tahu seluk beluk manusia dibanding penciptanya? Hanya Allah Yang Maha Mengetahui segalanya.

Jadi, jika ada ada masalah dalam kehidupan, jangan berdebat tiada henti menurut pemahaman dan ego masing-masing. Apalagi meributkan hal kecil yang sudah jelas hukumnya dalam Islam. Jangan menyibukkan diri pada hal-hal yang kontraproduktif bagi kebangkitan umat. Kembalikan semua permasalahan itu menurut syariah yang sudah diturunkan oleh Allah untuk menjamin kehidupan manusia selalu diliputi berkah dan jauh dari masalah. Fokuslah pada penyadaran umat   untuk kebangkitan yang hakiki dan perjuangan penegakkan syariah secara kaffah. 

Wallahu a'lam bish-shawab[]