-->

Polemik UKT Dimasa Pandemi

Oleh : Binti Masruroh (Pendidik)

Penamabda.com - Sejak pandemi virus corona mulai menginfeksi Indonesia pada Maret lalu, seluruh kegiatan pembelajaran di perguruan tinggi mulai beralih melalui daring atau online. Semenjak itu pula, beragam keluhan mulai dirasakan oleh para mahasiswa.

Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam aliansi Gerakan Mahasiswa Jakarta Bersatu melakukan aksi unjuk rasa di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Mereka meminta adanya audiensi langsung bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim guna membahas aspirasi mereka terhadap dunia perguruan tinggi, mereka  meminta adanya audiensi bersama Nadiem Makarim Senin (detiknews 22/6/2020).

Aksi serupa juga dilakukan oleh mahasiswa, IAIN Palangka, mahasiswa Batik Surakatata, mahasiswa Universitas Brawijawa, UIN Sultan Maulana Banten.
Mahasiswa menuntut  penurunan hingga pembebasan  Uang Kuliah Tunggal (UKT) Banyak dari mereka menganggap bahwa hak yang diterima mahasiswa selama pembelajaran daring tak sebanding dengan biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang dibayarkan selama satu semester. 

Selama semester ganjil ini mereka tidak menggunakan fasilitas kampus seperti listrik, air, laboratorium dan lainnya. 
Mahasiswa juga menuntut fasilitas yang memadai saat kuliah daring berupa subsidi untuk mendapatkan pulsa, mengingat ekonomi orang tua yang berdampak pandemi. 

Menanggapi hal itu, pengamat pendidikan Darmaningtyas meminta agar pemerintah bisa menggratiskan UKT pada mahasiswa di semestar ganjil mendatang. "Bebaskan saja UKT untuk PTN pada semester ini, yang dipersoalkan kan pasti yang akan masuk bulan Juli atau semester ganjil. Karena kuliahnya juga tidak jelas ya lebih baik dibebaskan," kata Darmaningtyas saat dihubungi, kompas.com (2/6/2020). 

"Mahasiswa berarti kan tidak memanfaatkan fasilitas kampus. Dosennya kalau di negeri kan sudah dibayar negara," jelas dia. 

Menanggapi berbagai demonstrasi mahasiswa, kemendikbud mengeluarkan skema penurunan UKT. Kemendikbud  menganggarkan Rp1 triliun untuk program Dana Bantuan Uang Kuliah Tunggal ( UKT). Penerima Dana Bantuan UKT akan diutamakan dari mahasiswa perguruan tinggi swasta (PTS).Kompas.com, 21/06/2020.

Mendikbud juga menyebut bahwa Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri (MRPTN) telah meyediakan opsi keringanan pembayaran UKT seperti menunda pembayaran, menyicil pembayaran, mengajukan penurunan, dan bantuan finansial bagi yang berhak. Dengan catatan, seluruh mekanisme tersebut diatur oleh masing-masing PTN.

Untuk mendapatkan keringanan UKT, mahasiswa PTN dapat mengajukan permohonan kepada pimpinan PTN sesuai prosedur yang berlaku di masing-masing PTN.

Banyak pihak yang menyayangkan akan mendapatkan bantuan ini, mengingat persyaratannya yang cukup berbelit.
Tuntutan mahasiswa terkait penurunan dan pembebasan UKT merupakan hal yang lumrah karean mahasiswa tidak menggunakan fasilitas kampus selama pandemi, mahasiswa justru harus mengeluarkan biaya tambahan untuk membeli pulsa internet. 

Sejak Sebelum terjadinya pandemi, pendidikan di negeri ini tergolong mahal. Sejak keluarnya (Badan Hukum Pendidikan). Pemerintah mengurangi subsidi pendidikan tinggi. Sebagai gantinya Perguruan Tinngi diberi kewenangan untuk menarik biaya dari masyarakat (orang tua mahasisawa) berupa UKT yang yang harus dibayarkan setiap semester. Besaran UKT tergolong tinggi. Sehingga hanya masyarakat yang mampu saja yang mampu membayar, sementara masyarakat  miskin bisa menjangkau, jikalau ada subsidi, biasanya jumlahnya sangat sedikit, tidak sebanding dengan jumlah mahasiswa. 

Itulah karakter negara yang menerapkan sistem kapitalisme. Sistem kapitalisme menjadikan manfaat sebagai landasan dalam kehidupan. Sehingga sesuatu yang semestinya menjadi tanggung jawabpun akan ditimbang dengan asas manfaat. Untung dan rugi. Akibatnya rakyat diposisikan sebagai konsimen yang harus membiayai sendiri kebutuhan primernya. Termasuk pendidikan maupun kesehatan. Pemerintah hanya bertindak sebagai regulator.

Lepas tangan dari perannya sebagai penanggung jawab urusan rakyat.
Berbeda dengan sistem Islam. 

Dalam sistem Islam negara wajib menyediakannya pendidikan untuk seluruh warga secara gratis. Karena pendidikan merupakan kebutuhan primer selain keamanan dan kesehatan yang harus dipenuhi negara kepada semua wagra negara. Baik fakir, miskin maupun orang kaya, kepada muslim maupun non muslim, laki-laki maupun perempuan, pendidikan dasar maupun pendidikan tinggi. Semua berkesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas dari negara secara gratis.

Negara dalam Islam benar-benar menyadari bahwa pendidikan adalah sebuah investasi masa depan. Negara wajib menyediakan fasilitas dan infrastruktur pendidikan yang cukup dan memadai seperti gedung-gedung sekolah, laboratorium, balai-balai penelitian, buku-buku pelajaran, fasilitas internet, bahkan termasuk sarana penunjang berupa asrama mahasiswa, klinik kesehatan semua disediakan oleh negara secara gratis.

Negara  juga berkewajiban menyediakan tenaga-tenaga pengajar yang ahli di bidangnya, sekaligus memberikan gaji yang cukup bagi guru dan pegawai yang bekerja di kantor pendidikan.
Para Sahabat telah sepakat mengenai kewajiban memberikan ujrah (gaji) kepada tenaga-tenaga pengajar yang bekerja di instansi pendidikan negara Khilafah di seluruh strata pendidikan. Khalifah Umar bin Khaththab ra. pernah menggaji guru-guru yang mengajar anak-anak kecil di Madinah sebanyak 15 dinar setiap bulan. (1 dinar = 4,25 gram emas).

Sistem pendidikan formal yang diselenggarakan Negara memperoleh sumber pembiayaan sepenuhnya dari Negara (Baitul Mal). Dalam sejarah, pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab, sumber pembiayaan untuk kemaslahatan umum (termasuk pendidikan) berasal dari jizyah, kharaj, dan usyur.

Terdapat 2 (dua) sumber pendapatan Baitul Mal yang dapat digunakan membiayai pendidikan, yaitu: (1) pos fai’ dan kharaj—yang merupakan kepemilikan negara—seperti ghanîmah, khumuûs (seperlima harta rampasan perang), jizyah, dan dharîbah (pajak); (2) pos kepemilikan umum seperti tambang minyak dan gas, hutan, laut, dan hima (milik umum yang penggunaannya telah dikhususkan). 

Biaya pendidikan dari Baitul Mal itu secara garis besar dibelanjakan untuk 2 (dua) kepentingan. Pertama: untuk membayar gaji segala pihak yang terkait dengan pelayanan pendidikan seperti guru, dosen, karyawan, dan lain-lain. Kedua: untuk membiayai segala macam sarana dan prasana pendidikan, seperti bangunan sekolah, asrama, perpustakaan, buku-buku pegangan, dan sebagainya. (An-Nabhani, 1990)

Wallahu a’lam bishawab.