-->

NEGERI MUSLIM DALAM PERGOLAKAN LAUT CINA SELATAN

Oleh : Haryati (Aktivis Muslimah)

Penamabda.com - Laut Cina Selatan merupakan perairan yang mencakup banyak negara di Asia Tenggara. Dengan kekayaan yang terkandung di sekitar dan juga jauh di dalam kawasan tersebut. Laut Cina Selatan menyimpan perikanan yang menggiurkan, cadangan minyak dan gas yang diperkirakan oleh pejabat AS setidaknya setara dengan cadangan minyak di Meksiko, dan mungkin merupakan cadangan minyak kedua terbesar setelah Arab Saudi. Laut ini salah satu laut yang paling penting secara strategis dan paling diperebutkan di abad ke-21. 

Bagian utara laut ini mencapai pesisir Cina, yang mengklaim haknya atas perairan ini secara historis sejak beberapa abad yang lalu. Kini, Beijing mengklaim lebih dari 95 persen Laut Cina Selatan dan mengandalkan kawasan tersebut sebagai pemasok 85 persen impor minyak mentah Cina. Cina juga mengklaim pulau-pulau kecil di Laut Cina Selatan dan telah membangun sekitar 1.300 hektar lahan untuk menopang sebagian besar infrastruktur militer, termasuk landasan pacu yang cukup panjang untuk bisa menampung pesawat pengebom. 

Selama berabad-abad Laut Cina Selatan memegang peranan penting bagi keberlangsungan ekonomi negara-negara tetangga, yaitu Vietnam, Malaysia, Brunei, Filipina. 

Dalam beberapa bulan terakhir di tengah wabah virus corona, pasukan angkatan laut Cina dilaporkan telah melakukan manuver intens di Laut Cina Selatan, tempat terjadinya sengketa batas teritorial maritim yang tumpang tindih. 

Saat dunia disibukkan pandemi, air di Laut Cina Selatan juga beriak lebih hebat dari biasanya. Saling kirim armada tempur antara Amerika Serikat (AS) dan Republik Rakyat China (RRC) kian menjadi-jadi. 
Konflik perairan yang sempat dijeda masa awal pandemi itu terpantik lagi pada 3 April lalu. Kala itu, kapal penjaga pantai RRC menenggelamkan kapal nelayan Vietnam di perairan Kepulauan Paracel yang disengketakan kedua negara. 

Delapan awak kapal nelayan Vietnam nyaris tenggelam akibat insiden tersebut.
Kemudian, pada 16 April, kapal survei Cina, Haiyang Dizhi 8 menyambangi dan mengusik lokasi eksplorasi migas West Capella yang dilakukan Petronas. Lokasi tersebut masuk 200 mil laut zona ekonomi eksklusif Malaysia dari Sarawak, namun juga diklaim Cina masuk dalam klaim meluas mereka di Laut Cina Selatan. 

Begitu mencengangkan mata pergolakan yang terjadi di tengah pandemi yang semakin hari menunjukkan angka peningkatan jumlah korban. Di saat rakyat di belahan dunia bertarung nyawa menghadapi wabah, di saat itu pula terjadi pertarungan kekuatan besar maritim yaitu AS dan Cina. 

Isu Laut Cina Selatan adalah salah satu isu terpanas dalam dua dekade terakhir yang didominasi persoalan kisruhnya batas maritim dan klaim teritorial oleh negara-negara sekitarnya.  Anehnya, baik Cina maupun Amerika Serikat, keduanya sama-sama mengabaikan hukum laut internasional, namun merasa superior dalam menegakkan keamanan maritim di kawasan. 

Sementara itu Malaysia, Indonesia, dan Brunei Darussalaam sebagai representasi negeri Muslim di sekitar Laut Cina Selatan, tidak bisa melakukan apa pun dalam merespon agresivitas Cina dan reaktifnya Amerika Serikat. Ketiga negara ini masih bergulat pada masalah teknis batas maritim, kelemahan ekonomi, dan ketundukan politik pada superioritas Cina juga Amerika Serikat, dengan postur pertahanan maritim yang kalah jauh dibandingkan dua superpower tersebut. 

Saat ini seharusnya membawa kita pada perenungan, kenapa kelemahan selalu mengitari negeri Muslim? Mengapa kita hanya mampu menjadi penonton unjuk kekuatan negara-negara kufar superpower yang notabene punya catatan hitam memerangi dan menindas umat Muslim? Padahal lembaran sejarah mencatat banyak prestasi maritim gemilang kaum Muslimin. 

Salah satunya yang paling awal terjadi pada bulan Ramadan 53 H di era Bapak Maritim Islam –Khalifah Mu’awiyah – yakni penaklukan Pulau Rhodes di Laut Mediterania. Pulau Rhodes adalah pulau terbesar dari kepulauan Dodecanese, dan pulau utama paling timur negara Yunani [saat ini] di Laut Aegean. 

Sesungguhnya posisi Laut Cina Selatan memiliki kemiripan dengan posisi Laut Mediterania (Laut Tengah) di abad pertengahan, keduanya sama-sama merupakan arena vital kontestasi kekuatan besar pada masanya. Di laut Mediterania kekuatan besar itu adalah Islam, Bizantium, dan Latin. 

Apa yang membedakannya dengan situasi hari ini di Laut Cina Selatan? Jelas sangat berbeda, umat Islam saat itu berada dalam kepemimpinan Khilafah Islam di mana visi maritim Islam hadir dengan kuat untuk mengontrol dan menguasai Laut Mediterania. 

Sementara sekarang, kelemahan meliputi dunia Islam seiring dengan absennya otoritas negara inti dalam Islam yakni setelah runtuhnya Khilafah Usmani tahun 1924, diikuti keterpecahan umat menjadi banyak negara bangsa akibat paham nasionalisme, ditambah hegemoni kapitalisme demokrasi yang menjadi tata dunia hari ini. 

Estafet visi maritim Islam di Laut Mediterania, terus berlanjut di bawah prinsip politik luar negeri Islam yang bertumpu pada prinsip Dakwah dan Jihad. Kekuatan armada laut Umat Islam menjadi salah satu kekuatan besar dan berjaya kala itu. 

Puncaknya adalah ketika masa Kesultanan Utsmaniyah, sebut saja Heyreddin Barbarosa, Hasan Khairuddin, Kilij Ali, Piri Reis, Hasan Ath Thusi, Zaganos Pasha, dan Turgut Reis. Mereka adalah ikon mujahid maritim bagi Umat Islam dengan nama yang menggentarkan musuh-musuh Islam. 

Di bawah panji jihad Islam secara praktis dakwah Islam tersebar efektif menyeberangi lautan mediterania. Strategi ini bahkan sudah dipersiapkan secara serius sejak era Mu’awiyah bin Abu Sofyan, rintisan armada laut Mu’awiyah telah memberikan pengaruh besar di Laut Mediterania yang menjadikan angkatan laut Umat Islam sebagai ancaman nyata bagi imperium Romawi Timur. 

Di masa Mu’awiyah juga untuk pertama kalinya pasukan Islam melakukan ekspedisi penaklukan kota konstantinopel. Mu’awiyah berhasil memosisikan diri sebagai salah satu pemain maritim yang diperhitungkan, bukan sekadar penonton seperti hari ini. Masya Allah!

Sudah waktunya bagi para penguasa Muslim di sekitar Laut Cina Selatan mengadopsi kembali visi maritim Islam yang akan membebaskan tanah dan laut mereka dari ketundukan terhadap kufar dengan supremasi hukum-hukum Islam. 
Sebuah visi yang menjadikan dorongan iman, jihad, dan ketakwaan sebagai fondasi, bukan keserakahan dan penjajahan ekonomi seperti hari ini. 

Ingatlah keutamaan jihad di lautan dari sabda Rasulullah SAW

غَزْوَةٌ فِي الْبَحْرِ خَيْرٌ مِنْ عَشْرِ غَزَوَاتٍ فِي الْبَرِّ، وَمَنْ أَجَازَ الْبَحْرَ فَكَأَنَّمَا أَجَازَ الأَوْدِيَةَ كُلَّهَا، وَالْمَائِدُ فِيهِ كَالْمُتَشَحِّطِ فِي دَمِهِ

“Satu kali berperang di lautan itu lebih baik dari sepuluh kali berperang di daratan. Orang yang berlayar di lautan [dalam jihad] adalah seperti orang yang telah mengarungi seluruh lembah [daratan]. Dan orang yang mabuk di lautan [dalam jihad] adalah seperti orang yang bersimbah darah [dalam jihad].” 
(HR Al-Hakim no. 2634 dan Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir.