-->

Meningkatnya Perceraian, Ketahanan Keluarga Terkikis

Oleh: Ummu Athifa
(Ibu Rumah Tangga, Member Revowriter)

Penamabda.com - Keluarga adalah benteng pertahanan pertama bagi anggotanya. Semua permasalahan, keluh kesah, dan kesenangan menjadi obrolan hangat di dalamya. Solusi atas segala permasalahan pun diraih dengan diskusi hangat. Maka tak heran, jika banyak orang yang begitu dekat dengan keluarganya daripada teman-temannya. 

Masa pandemi yang berkepanjangan seharusnya menjadikan momen paling berharga bagi keluarga. Selama 24 jam selalu bertatap muka dan berdiskusi bersama. Dikarenakan anjuran untuk berdiam di rumah harus diterapkan, kecuali yang memiliki kepentingan bekerja diizinkan ke luar rumah. 

Faktanya terbalik dari kenyataan. Banyak keluarga terancam berpisah saat pandemi. Seperti data yang diperoleh dari Mahkamah Syariah Provinsi Aceh, dalam 5 bulan terakhir ada 2.397 kasus perceraian. Penyebabnya sebagian besar dipicu oleh pertengkaran antara pasangan yang terjadi secara terus-menerus. Lalu, disusul masalah ekonomi keluarga dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). (https://regional.kompas.com/11Juni2020).

Ternyata sangat mencengangkan menurut Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) terhadap perempuan meningkat selama pandemi. Hal ini berdasarkan survei yang menjaring 2.285 responden sepanjang April-Mei 2020. Ini terlihat dari sebanyak 80 persen responden perempuan dalam kelompok berpenghasilan di bawah Rp 5 juta per bulan mengatakan bahwa mengalami kekerasan. 

Dekan Fakultas Psikologi Universitas Semarang (FPsi USM) Dr Rini Sugiarti mengatakan, kekerasan dalam rumah tangga dipengaruhi beberapa faktor termasuk ekonomi. Faktor lainnya yaitu intensitas pertemuan akan menimbulkan gesekan, gaya hidup yang berubah saat pandemi, para suami tidak bekerja, pemasukan berkurang. Kelas menengah mungkin masih bisa bertahan, tapi yang income-nya terbatas, sudah di rumah ditambah tidak berpenghasilan dan dengan keluarga emosi. (https://www.liputan6.com/11Juni2020). 

Keluarga harmonis, tentram, penuh dengan kasih sayang adalah dambaan setiap orang. Namun, mewujudkannya dalam masyarakat tentu tidaklah mudah. Pandemi ini telah menyebabkan krisis kesehatan, krisis sosial dan ekonomi, tetapi juga memicu naiknya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). 
Pemerintah menyinyalir jumlah kekerasan terhadap perempuan dan anak terjadi karena ekonomi masyarakat. Selain itu, adanya PSBB menyebabkan munculnya tekanan kepada para ibu, karena anak-anak sekolah di rumah, suami bekerja dari rumah bahkan ada suami yang akhirnya tidak bisa menghasilkan uang, imbasnya mengharuskan para ibu berpikir keras mengelola keuangan, dan sebagainya.

Ini semua berdampak pada relasi dalam keluarga, terutama suami dan istri. Suami mengalami stres, karena tidak berpenghasilan. Istri mulai kebingungan karena tidak mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhannya. Belum lagi adanya pemberlakuan BPJS naik, tagihan listrik meningkat, uang sekolah yang harus tetap dibayar, harga bahan pokok meningkat, semuanya menjadikan istri marah-marah kepada suami. Penyebabnya tak lain karena tidak adanya perhatian khusus dari pemerintah. 

Pemerintah abai dalam penyelesaian wabah ini. Seyogianya merupakan kewajibannya, tetapi yang terjadi memunculkan masalah baru. Serta semakin memperparah kondisinya dan rakyatlah yang menjadi korban. 

Penyelesaian pemerintah terhadap covid-19 ini justru tidak memihak rakyat, bahkan cenderung menzolimi. Banyaknya kebijakan yang diputuskan dan berubah seketika menjadikan bingung dalam menjalaninya. Mulai dari kebijakan social distancing, physical distancing, sehingga semua kegiatan yang melibatkan kerumunan massa ditiadakan dan digantikan dengan aktivitas di rumah saja.
Tapi ironisnya bandara tetap dibuka bahkan pemerintah justru masih terus memberi peluang kepada para TKA Cina datang ke negeri ini. Maka solusi ini menambah ekonomi sulit. Inilah yang kerap memunculkan masalah dalam keluarga, salah satunya kekerasan dalam rumah tangga. Berujunglah pada perceraian yang tak terkendali. 

Para bapak kesulitan mendapatkan nafkah untuk keluarganya. Akhirnya mendorong para ibu turut bertanggung jawab menanggung beban ekonomi keluarga. Waktu tersita untuk bekerja dan mendidik anak-anak mereka. Hal inilah yang pada akhirnya memunculkan riak-riak dalam rumah tangga yang selanjutnya berdampak pada ketidakharmonisan keluarga. 

Tentu saja kondisi ini tak boleh dibiarkan berlama-lama. Umat Islam harus menyadari dampak pandemi. Keluarga muslim haruslah bersinergi dalam menyelesaikan perkara apapun. Dibantu pula oleh negara yang mengayomi rakyatnya. Negara dengan sigap dalam menyelesaikan wabah dan memastikan perekonomian tetap berjalan.  

Maka, tak akan ada lagi keluhan dari para suami yang kehilangan pekerjaannya. Keluarga muslim pula, termasuk para ibu, harus kembali berfungsi sebagai benteng umat yang kukuh, yang siap melahirkan generasi terbaik dan individu-individu yang bertakwa, dengan visi hidup yang jelas sebagai hamba Allah. 

Wallahu'alam bi shawab.