Dalam Sistem Demokrasi Keadilan Sebatas Angan
Oleh : Watini Alfadiyah, S. Pd.
(Praktisi Pendidikan dan Pengamat Sosial)
Penamabda.com - "Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia" adalah bunyi sila ke lima dari Pancasila. Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia yang bersistem demokrasi.
Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi baik secara langsung atau melalui perwakilan dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum. (Wikipedia). Dengan begitu berharap keadilan akan bisa dirasa oleh siapa saja yang menyuarakan isi hatinya. Namun, batasan keadilan faktanya tidak bisa dicerna, sulit dirasa tak bisa diraih kecuali hanya sebatas angan.
Akhir-akhir ini fakta kasus tuntutan satu tahun terhadap penyerang penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan, mendapat perhatian publik termasuk Komisi Kejaksaan Republik Indonesia (KKRI).
Ketua Komisi Kejaksaan RI Barita Simanjuntak mengatakan, pihaknya bisa memahami kekecewaaan masyarakat atas tuntutan dalam perkara penyerangan terhadap Novel Baswedan.(Jakarta,11/06/2020/Liputan6.com).
Jaksa menuntut dua penyerang Novel Baswedan dengan hukuman pidana selama 1 tahun penjara. Apa alasan jaksa memberikan tuntutan yang dinilai ringan?
Dalam pertimbangan surat tuntutan yang dibacakan jaksa penuntut umum di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Jalan Gajah Mada, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (11/6/2020), jaksa menyebut kedua terdakwa tidak sengaja menyiramkan air keras ke bagian wajah Novel. Menurut jaksa, kedua terdakwa hanya ingin menyiramkan cairan keras ke badan Novel.
Alasan Jaksa Tuntut Penyerang Novel 1 Tahun Bui: Tak Sengaja Lukai Mata.
"Karena, pertama, yang bersangkutan mengakui terus terang di dalam persidangan, terus kedua yang bersangkutan meminta maaf dan menyesali perbuatannya dan dia secara di persidangan menyampaikan memohon maaf kepada keluarga Novel Baswedan dan meminta maaf institusi polisi, institusi Polri itu tercoreng," ujar jaksa Ahmad Patoni seusai sidang.
Dia mengatakan dakwaan primer tidak terbukti karena Rahmat Kadir tidak memiliki niat dari awal untuk melukai Novel. Jaksa menyebut motif keduanya melakukan teror air keras hanya untuk memberikan pelajaran ke Novel yang dinilai telah melupakan institusi Polri.
"Jadi begini, Pasal 355 dia harus mempersiapkan untuk melukai orang, itu sudah ada niat dari awal. Sedangkan di fakta persidangan dia tidak ada niat untuk melukai. Dalam fakta persidangan, yang bersangkutan hanya ingin memberikan pelajaran kepada seseorang, yaitu Novel Baswedan, dikarenakan alasannya dia lupa dengan institusi, dalam menjalankan institusi," ucap Ahmad.
"Kemudian ketika dia ingin melakukan pembelajaran penyiraman ke badannya, ternyata mengenai mata, maka kemudian pasal yang tepat adalah di Pasal 353 perencanaan, penganiayaan yang mengakibatkan luka berat. Berbeda dengan (Pasal) 355, kalau 355 dari awal sudah menarget dan dia lukai tuh sasarannya. Sedangkan ini dia tidak ada untuk melukai," imbuhnya.
Rahmat Kadir dan Ronny Bugis dituntut jaksa dengan hukuman 1 tahun penjara. Keduanya dinilai melanggar Pasal 353 ayat 2 KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (Kamis, 11/06/2020/detikNews).
Kini, Pengamat politik Rocky Gerung mengibaratkan air keras yang digunakan pelaku saat menyiramkan ke mata penyidik KPK Novel Baswedan adalah air keras kekuasaan. Untuk itu, ia meminta agar mata publik tidak buta dengan proses peradilannya.
Apalagi jaksa penuntut umum (JPU) dalam persidangan itu justru menuntut hukuman pidana penjara hanya satu tahun kepada kedua terdakwa.(Minggu, 14/06/2020/VIVAnews).
Dibalik peradilan terhadap Novel Baswedan dinilai serasa sangat irasional dan sekedar memenangkan kemauan penguasa.
Karena kalau kita lihat kiprah beliau
setelah lulus Akademi Kepolisian pada tahun 1998, Novel bertugas di Polres Bengkulu sejak tahun 1999 sampai tahun 2004, kemudian bertugas di Bareskrim Mabes Polri sejak 2005 hingga 2007. Novel bergabung di KPK sebagai penyidik dari kepolisian sejak Januari 2007, dan menjadi penyidik tetap KPK sejak 2014 setelah perintah penarikan seluruh penyidik kepolisian dari KPK oleh Mabes Polri.
Pada April 2017, Novel menjadi korban serangan orang tak dikenal yang menyiramkan air keras ke wajahnya sehingga menyebabkan kecacatan permanen pada mata kirinya. Penyerangan tersebut diduga terkait atas upaya penyelidikan kasus korupsi yang dilakukan Novel. Kini, kasus penyerangan Novel telah menarik perhatian luas publik sejak awal kejadiannya, pula setelah pelakunya ditangkap pada Desember 2019 dan pada persidangan pelakunya pada Juni 2020.
Inilah fakta, tatkala mencari keadilan dalam rezim sistem demokrasi hanyalah angan. Dengan begitu kasus ini telah menyempurnakan bukti bahwa semua aspek kekuasaan (legeslatif, ekskutif, dan yudikatif) telah menunjukkan kegagalannya dalam memberantas tuntas korupsi dan mewujudkan keadilan dan kesejahteraan.
Dalam ranah peradilan Islam melarang keras hukum yang tajam ke bawah (yaitu tajam dan berlaku penuh kepada orang-orang miskin dan kekurangan), tetapi tumpul ke atas (yaitu tidak berlaku penuh kepada pejabat, pemegang kuasa, dan kaum kaya raya).
Dalam sistem islam, sanksi (uqubat) di dunia pelaksanaannya adalah tanggung jawab pemimpin atau yang di tunjuk mewakilinya. Jadi negaralah yang melaksanakannya. Dan keberadaan sanksi didunia menjadi pencegah orang-orang untuk melakukan tindakan dosa dan kriminal, sekaligus sebagai penebus dosa yakni menggugurkan sanksi akhirat bagi pelaku kriminal yang telah dikenai sanksi di dunia. Serta membuat orang yang menyaksikan menjadi jera dengan hukumannya.
Dengan demikian, pemimpin memiliki peran penting dalam menegakkan hukum serta mewujudkan adanya keadilan. Jadi, selain merupakan amanah seorang pemimpin juga wajib memimpin dengan adil. Sayang, sistem demokrasi sekular saat ini sering melahirkan pemimpin yang tidak adil alias fasik dan zalim. Mengapa? Sebab sistem demokrasi sekular memang tidak mensyaratkan pemimpin atau penguasanya untuk memerintah dengan hukum Allah SWT. Saat penguasa tidak memerintah atau tidak berhukum dengan hukum Allah SWT, jelas dia telah berlaku zalim. Allah SWT sendiri yang menegaskan demikian:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Siapa saja yang tidak memerintah dengan wahyu yang telah Allah turunkan, mereka itulah pelaku kezaliman (TQS al-Maidah [5]: 5).
Alhasil, seorang pemimpin baru bisa dan baru layak disebut sebagai pemimpin yang adil saat memerintah berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah, bukan dengan yang lain. Tatkala sekiranya menemui pemimpin yang demikian maka keadilan tidaklah sebatas angan tetapi menjadi kenyataan. Yang akan membawa kesejahteraan dan keberkahan bagi umat manusia seluruh alam.
Wallahu'alam bi-ashowab.
Posting Komentar