-->

Jamaah Haji 2020 Gagal Berangkat, Benarkah Pandemi Alasannya?

Oleh : Ilmasusi

Penamabda.com - Saat tiba giliran untuk berangkat ibadah haji di negeri ini merupakan kesempatan paling berharga bagi calon jemaah. Pasalnya, untuk bisa diberangkatkan ke tanah suci, calon jemaah harus menunggu lama. Di beberapa kota, bahkan harus nunggu hingga puluhan tahun. Minat menunaikan rukun islam yang ke lima ini boleh ada, biaya boleh tersedia, namun kuotalah yang membuat calon tamu Allah ini menjadi menemui kendala.

Kendala lain muncul di tahun ini. Calon jemaah haji Indonesia, harus rela mundur karena pembatalan keberangkatan oleh pihak Kemenag RI. Momen dan kesempatan berharga pun jadi hilang lantaran adanya keputusan ini. Keputusan yang disayangkan, karena pihak Arab Saudi sendiri belum memutuskan perihal ada tidaknya ibadah haji tahun ini.

Sikap Kemenag ini memang kontroversial, di tengah kebijakan pemerintah yang kalang kabut dalam menghadapi wabah Covid 19 Kebijakan sebelumnya yang acapkali bikin sesak dada.

Sebelumnya pemerintah telah ada kenaikan premi BPJS kesehatan hingga dua kali lipat. Juga harga BBM yang tetap melangitnya, di saat harga minyak mentah dunia anjlok. Lalu naiknya tarif dasar listrik secara diam-diam. Yang paling gress adalah kewajiban Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) bagi beberapa profesi yang akan di mulai di tahun 2021. Kebijakan susul menyusul yang memuanya memberatkan hati rakyat negeri +62 ini. 

Dalam konferensi persnya pada (2/6/20), menteri Agama Fachrul Razi menyatakan, “Pemerintah memutuskan untuk tidak memberangkatkan jemaat haji. Keputusan ini saya sampaikan melalui Keputusan Menteri Agama RI Nomor 494 tahun 2020 tentang Pembatalan Keberangkatan Jemaat Haji Pada Penyelenggaraan Ibadah Haji pada 1441 Hijriah atau 2020 Masehi.” (Tirto.id 02/06/20).

Sebenarnya, otoritas Arab Saudi hingga saat ini belum juga memutuskan apakah akan membuka kembali ibadah haji untuk negara lain. Namun hal ini dijadikan alasan pembatalan keberangkatan. Selain itu ada alasan lain berupa ketidaksiapan Kemenag untuk menyelenggarakan pemberangkatan haji di situasi pandemi ini. Alasan tentang waktu yang mendesak menurut Kemenag  pun mengemuka. 

Menurut Kemenag, waktunya terlalu mepet karena pada 26 Juni jemaah haji Indonesia dijadwalkan mulai berangkat. Meningginya biaya operasional karena situasi pandemi, juga turut andil dalam menjadikan Kemenag tidak siap secara finansial. 

Keputusan ini tampak kontroversial. Dalam situasi pandemi ini, jika standar dan protokol kesehatan diterapkan. Jemaah haji harus menjalani masa karantina selama14 hari sebelum berangkat dan 14 hari setibanya di Saudi. Ditambah biaya  untuk mengikuti protokol kesehatan, seperti kapasitas pesawat yang hanya bisa menampung 100 orang (sebelumnya 150) akan semakin memperbesar biaya operasional yang harus ditanggung panitia.

Banyak pihak yang merespon  alasan ketidaksiapan Kemenag ini. Salah satunya adalah Said Aqil, Ketua Umum PBNU. Menurutnya, pelaksanaan haji merupakan agenda tahunan, karenanya pemerintah harusnya sudah pintar dan mampu mengatasi kesulitan-kesulitan yang ada. (detiknews.com, 03/06/20).

Sementara itu Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh menilai, pembatalan haji ini mengakibatkan daftar tunggu yang semakin lama. Padahal, jika Kemenag tidak terburu-buru mengambil keputusan dan menunggu keputusan otoritas Arab Saudi itu jauh lebih baik. Menurutnya, meski kuota dikurangi, tetap harus direspons, misalnya dengan memilih memberangkatkan jemaah yang masih muda yang tidak rentan terhadap penyakit.

Kekecawaan juga dirasakan oleh Muhammad Fauzi, anggota Komisi VIII DPR lantaran Kemenag yang tidak berkoordinasi dengan DPR dalam membuat keputusan ini. Padahal-menurutnya, sesuai ketentuan UU, seharusnya setiap keputusan terkait haji dibicarakan dengan DPR. (republika.co.id 03/06/20)  Sayang Kemenag  bergeming dan tetap pada pendiriannya.

Tak Konsisten dalam Membuat Kebijakan

Sementara itu Kemenag Pati menjelaskan, alasan Menteri Agama membatalkan pemberangkatan adalah mengambil kaidah hukum islam _akhofufi dzororain_ atau mengambil bahaya yang paling ringan.  Abdul Hamid selaku Kepala Seksi Penyelenggara Haji dan Umrah (PHU) Kementerian Agama Kabupaten Pati menjelaskan, ada 2  bahaya dalam pelaksanaan haji tahun ini. Pertama, apabila tidak jadi berangkat, padahal sudah dilakukan persiapan akan terjadi madhorot (keburukan). Kedua,  kalau dipaksakan berangkat haji akan menimbulkan mudhorot yang lebih besar bagi jamaah haji. Karena  di tengah kondisi pandemi Covid-19 yang belum menunjukkan gejala yang akan selesai. (mitrapost.com/03/06/2020).

Keputusan pembatalan keberangkatan haji oleh Kemenag ini terkesan mengada-ada  dan tidak konsisten. Sebab, jika alasannya adalah untuk menghindari penularan Covid-19, bukankah ini tak sejalan dengan kebijakan New Normal Life. Di saat sektor ekonomi dibuka luas, kenapa lantas pemberangkatan haji malah batal dengan alasan keamanan keselamatan jiwa? 

Keputusan  jemaah diberangkatkan atau tidak, selayaknya dilakukan setelah mendapat kepastian dari otoritas Saudi. Adapun munculnya masalah kesiapan finansial tidak akan terjadi bila dana haji tidak dialihkan untuk membiayai proyek yang lain. Misalnya untuk menyokong dana pengadaan  jalan Tol dan pelabuhan. Proyek yang  manfaatnya tak langsung menyentuh kemaslahatan bagi masyarakat luas. Wajar saja kalau masyarakat menjadi tidak percaya bahwa  pembatalan pemberangkatan semata karena alasan wabah dan ancaman penyakit Covid.

Kontroversi Pengelolaan Hartanya Umat

Akumulasi dari dana haji tidaklah kecil. Kepala Badan Pengelolaan Keuangan Haji (BPKH), Anggito Abimanyu mengatakan, saat ini BPKH memiliki simpanan dalam bentuk dolar Amerika Serikat. Jumlahnya mencapai US$600 juta. Itu setara dengan Rp8,7 triliun, untuk kurs Rp14.500 per dolar AS. Ddana itu bisa dimanfaatkan untuk membantu Bank Indonesia dalam penguatan kurs rupiah. (vivanews.com 02/06/2020).

Meski pihak BPKH dan BI telah menyangkal perihal penggunaan dana haji tahun ini untuk perkuat rupiah  namun pernyataan  Anggito menguatkan hal itu. Ia  mengatakan dalam wawancaranya, bahwa penukaran dana haji dalam valuta asing menjadi rupiah akan sangat bisa menolong memperkuat rupiah.

Pandemi yang tak kunjung selesai telah mengakibatkan resesi ekonomi. Anggaran keuangan negara mengslami defisit. Pemerintah kalang kabut untuk mengatasinya, termasuk stabilisasi  rupiah yang semakin  merosot. Anehnya, kran-kran impor  dibuka lebar. Padahal besarnya impor  akan berdampak pada pelemahan rupiah. Itu terjadi karena import  membutuhkan banyak Dolar sebagai alat pembayaran, hal mana membuat rupiah akan menurun nilainya dihadapan dolar. Lagi-lagi, kebijakan yang ironis selalu dibuat.

Total dana haji yang dikelola BPKH saat ini telah mencapai Rp135 triliun. Sebagian besar dana itu digunakan untuk mendukung Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) karena sebagian besar dana itu diinvestasikan dalam Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). (vivanews.com 02/06/2020). 

Pertanyaannya, berhakkah pemerintah  menggunakan dana tersebut untuk kepentingan investasi nasional dalam bentuk surat berharga? Mengingat,  pemerintah sedang memakai dana ibadah untuk keperluan utang yang berbasis ribawi.

Peminat ibadah haji di negeri ini terbilang melimpah. Akibatnya, dana yang terkumpul tak sedikit. Jumlahnya yang besar ini, rupanya telah menggiurkan berbagai pihak untuk memanfaatkannya.

Kontroversi pengelolaan dana haji  dilakukan oleh rezim yang tumpul nuraninya. Padahal, esensi dari berhaji adalah ibadah seorang hamba kepada penciptanya. Alih-alih mendorong umat untuk melaksanakan ibadah, yang ada malah dihambat dan dimanfaatkan. Sungguh pengelolaan dana yang bertumpa pada cara pandang Kapitalis sekuler.

Dengan sifatnya  yang sekuler, yaitu memisahkan agama dari kehidupan. Pandangan ini mengakibatka  tindakan yang bahaya karena rezim akan bertindak represif terhadap ajaran agama yang mengusik kepentingan penguasa. Ajaran Khilafah misalnya, menjadi objek untuk dikriminalisasi.

Padahal, khilafah justru merupakan sistem pemerintahan yang harusnya diadopsi negeri muslim. Sayangnya, rezim demokrasi yang korup tidak menghendakinya. Karena sistem Khilafah dengan mekanismenya akan menjadi ancaman bagi kekuasaan mereka yang selama ini berlaku korup dan dholim terhadap rakyat.

Penerapan sistem ekonomi kapitalis telah menjadikan materi di atas segala-galanya. Dana haji diutak-atik karena bermaslahat untuk memperkuat rupiah, sementara ulama yang mengajarkan Islam dikriminalisasi, sungguh ironis. 

Semrawutnya permasalahan terkait dana haji, semata karena negeri ini tegak denga asas kapitalis sekuler. Asas inilah yang memosisikan kepentingan ekonomi lebih diprioritaskan ketimbang kemaslahatan terselenggaranya  ibadah.

Jika Arab Saudi kali ini memutuskan untuk menutup Makkah karena wabah, ini bukanlah yang pertama dan jumhur ulama membolehkannya. Namun yang menjadi masalah  adalah paradigma penguasa yang hanya menjadikan haji sebagai komoditas ekonomi. Padahal ibadah haji merupakan kewajiban seorang hamba.

Selayaknyalah negara memfasilitasi dan memudahkan pelaksanaan beribadah bagi rakyatnya dengan penyelenggaraan sesuai porsinya. Bukan untuk lahan bisnis apalagi disalahgunakan, sebagaimana yang dilakukan oleh oknum Kemenag di era sebalumnya.

Khilafah dan Pengelolaan Pemberangkatan Haji

Mengelola dana haji bukan perkara remeh. Salah urus bisa menjadikan hambatan bagi pelaksanaan perintah wajib dalam rukun islam ini bagi rakyat yang  telah mendafarkan diri. Selayaknya  pengelolaannya haji disandarkan pada asas yang tepat, yaitu melayani jamaah haji. Bukan seperti pedagang yang sedang berjual beli dengan pelanggannya. Tabiat negara sebagai pelayan akan melayani tuannya-yaitu rakyat- dengan maksimal? agar nyaman dalam beribadah. Hal ini sesuai dengan pandangan politik islam, yaitu mengurusi urusan umat. Konsep itu ada dalam sistem islam dalam negara Khilafah. Sejarah telah membuktikannya.

Adalah Khalifah Abdul Hamid II, di masa Utsmaniyah, telah membangun sarana transportasi  dari Istambul hingga Madinah untuk mengangkut jemaah haji. Pendanaan pengadaan sarana transportasi ini berasal berasal dari pos pemasukan negara yaitu fa’i, pengelolaan kepemilikan umum serta sedekah, bukan bersumber dari dana jemaah. 

Di masa Abbasiah, Khalifah ‘Abbasiyyah, Harun ar-Rasyid, membangun jalur haji dari Irak hingga Hijaz. Di masing-masing titik dibangun pos layanan umum, yang menyediakan logistik, Sekali lagi, Khalifah ar-Rasyid membangun jalur haji semata untuk kemaslahatan dan mempermudah jemaah haji, bukan mencari keuntungan.

Untuk mengoptimalkan ibadah haji, pemerintah juga harus memperhatikan pengaturan kuota haji dan umrah, sedemikian hingga keterbatasan tempat tidak menjadi kendala. Mengingat
kewajiban haji dan umrah hanya sekali seumur hidup, maka negara akan memprioritaskan jemaah yang belum pernah pergi ke Makkah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah telah mewajibkan haji pada kalian.” Lantas Al Aqro’ bin Habis, ia berkata, “Apakah haji tersebut wajib setiap tahun?” Beliau berkata, “Seandainya iya, maka akan kukatakan wajib (setiap tahun). Namun haji cuma wajib sekali. Siapa yang lebih dari sekali, maka itu hanyalah haji yang sunah.” Dikeluarkan oleh yang lima selain Imam Tirmidzi. 

Penetapan kuota juga bisa didasarkan dasarkan pada dalil tentang kewajiban haji hanya berlaku bagi mereka yang mampu, sehingga yang belum mampu tidak boleh mendaftar karena belum terkena taklif hukum. Pengaturan seperti ini akan memperkecil potensi antrean yang panjang. 

Di negeri ini, panjangnya antrean naik haji  diakibatkan  adanya dana talangan haji, sehingga orang yang belum terkategori wajib berhaji sudah mendapatkan antrean.  Dana talangan, sebenarnya lebih untuk melancarkan arus keuangan di lembaga bank dan pasti tidak terlepas dari unsur riba, apa pun sebutannya.

Nampak bahwa polemik pembatalan keberangkatan haji di negeri ini sebagai akibat dari pengelolaan yang berbasis sekuler. Sistem yang melihat apapun agar dapat dikelola dalam rangka mendapat keuntungan material. Saatnya kita meninggalkan sistem kapitalis sekuler yang membawa sengsara ini, seraya menggantikannya dengan sistem Khilafah Islamiyah.