-->

Polemik stafsus Presiden

Oleh: Heni Satika (Praktisi Pendidikan)

Penamabda.com - Akhir-akhir media marak dengan berita tentang staff khusus presiden. Adalah 2 orang staffsus milenial baru-baru ini menyatakan mengundurkan diri. Keduanya yakni Belva Devara dan Andi Taufan Garuda Putra. 

Terkait dengan kasus yang menimpanya yaitu Belva mengundurkan diri dari posisi staf khusus presiden berkaitan dengan terpilihnya Ruang Guru sebagai mitra program Kartu Prakerja. Sementara, Taufan mundur setelah muncul polemik surat berkop Sekretariat Kabinet yang ditandatanganinya kepada para camat se-Indonesia. Dalam surat bertanggal 1 April itu, Taufan meminta camat mendukung petugas lapangan Amartha yang akan turut memberikan edukasi kepada masyarakat di desa terkait Covid-19.

Pengunduran diri itu tidak lantas menganggap masalah selesai. Atau justru mereka dianggap pahlawan yang perlu dicontoh oleh para pejabat kita. Bukan, persoalannya bukan sekedar niat baik. Tapi justru saat inilah, kita harus mengevaluasi keberadaan staff khusus milenial. Dengan tugas yang tidak jelas dan anggaran yang lumayan besar. Jelas ini termasuk pemborosan keuangan Negara. 

Lihat saja, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 144 Tahun 2015, Staf Khusus Presiden akan mendapatkan hak bulanan sebesar Rp 51 juta. Perpres tersebut mengatur tentang besaran hak keuangan bagi Staf Khusus Presiden, Staf Khusus Wakil Presiden, Wakil Sekretaris Pribadi Presiden, Asisten, dan Pembantu Asisten. Di dalam Pasal 5 tersebut dijelaskan, hak keuangan yang dimaksud merupakan pendapatan keseluruhan yang diterima dan sudah termasuk di dalamnya gaji dasar, tunjangan kinerja, dan pajak penghasilan. Dalam lampiran Perpres tersebut juga dicantumkan besaran hak keuangan para pembantu presiden/wakil presiden lainnya. Wakil Sekretaris Pribadi Presiden mendapatkan Rp 36,5 juta, Asisten Rp 32,5 juta, dan Pembantu Asisten Rp 19,5 juta per bulan.

Belum lagi tidak adanya aturan mengenai mereka yang menjabat sebagai staff khusus atau pejabat Negara, harus mengundurkan diri dari jabatan mereka di luar. Jadi sangat wajar apabila abuse of power itu terjadi. Apalagi ditambah sistem di Negara kita Kapitalisme yang menjadikan manfaat sebagai tolak ukur.

Berbeda dengan struktur jabatan di masa pemerintahan Islam yang bersifat praktis dan cepat. 
Khalifah (kepala Negara) mempunyai wewenang yang menyeluruh dengan Syariah sebagai batasnya, Muawin at Tafwidh yaitu pembantu Khalifah dalam bidang pemerintahan dan kekuasaan, Muawin at Tanfidz yaitu pembantu Khalifah dalam bidang administratif, penghubung Khalifah dengan aparat Negara, rakyat dan luar negeri serta penyampai kebijakan Khalifah. Wali yaitu penguasa yang diangkat Khalifah untuk suatu wilayah. Amirul jihad yaitu mengurusi pasukan perang. Keamanan dalam negeri mengurusi segala bentuk gangguan keamanan. Urusan luar negeri menangani segala bentuk hubungan Negara Khilafah dengan luar negeri. 
Perindustrian meliputi industri berat seperti mesin, peralatan atau industri ringan dan industri militer. Peradilan bertugas menyelesaikan perselisihan diantara anggota masyarakat dengan keputusan mengikat. Struktur Administratif di dalamnya ada departemen–departemen yang mengurusi seluruh kemaslahatan umat dalam hal teknis. Seperti departemen pendidikan atau departemen kesehatan, didalamnya hanya pelaksana teknis. Jadi tidak akan ada kesimpangsiuran komunikasi. Baitul Mal di dalamnya terdapat keuangan Negara. Penerangan adalah bagian yang strategis berkaitan dengan segala informasi dan media yang berkembang di masyarakat. Majelis Umat berisi wakil-wakil rakyat yang bisa dipilih oleh rakyat untuk memberi masukan kepada pemerintah dalam berbagai persoalan. 

Hal ini beda jauh dengan susunan pemerintahan sekarang yang cenderung gendut dan tugas dari masing-masing bagian kurang jelas. Ada bagian struktur yang sebenarnya tidak perlu, seperti misal staffsus.

Demikianlah Rasulullah, Sahabat dan Kholifah penerus kepemimpinan Islam memberi teladan penerapan Islam dalam bermasyarakat dan bernegara. Saatnya kembali kepada Syariah Islam