-->

RAMADAN MOMEN TAUBAT NASUHA GLOBAL

Oleh : Zahida Arrosyida

Penamabda.com - Perubahan waktu yang diakibatkan oleh perputaran matahari, bumi dan bulan adalah kejadian yang telah dianggap sebagai hal biasa. Namun sampainya titik waktu pada detik Ramadan merupakan hal yang sangat istimewa bagi kaum Muslimin. Sebab seperti yang dikhutbahkan oleh Rasulullah Saw, pada bulan itu Allah akan menaungi kaum muslimin dengan segala keagungan dan keberkahan.

Pahala amalan sunnah pada bulan Ramadan setara dengan pahala amalan fardu pada bulan lain. Bahkan di dalamnya terdapat satu malam, Laitul Qadar yang lebih baik dari seribu bulan.

Ramadan kali ini menjadi Ramadan istimewa yang dirasakan kaum Muslimin. Ramadan yang berbeda karena secara global masyarakat dunia sedang berjuang menghadapi pandemi virus Corona. Krisis kesehatan global yang berdampak pada krisis kehidupan yang lain. Hampir seluruh aktifitas manusia berjalan tak normal sebagai upaya untuk menekan penyebaran virus ini.

Menapaki Ramadan di saat pandemi adalah hal baru bagi kaum Muslimin. Beberapa kegiatan yang melibatkan orang banyak mengharuskan kita untuk menghindarinya. Kegiatan sholat berjama'ah, sekolah, pengajian dan tempat wisata ditiadakan demi kepentingan bersama.

Terasa ada nuansa yang hilang dari Ramadan tahun ini. Salat tarawih yang biasanya selalu penuh meski cuma hari pertama hingga pertengahan, meredup hingga kembali marak menjelang akhir Ramadan. Di mesjid dan di jalanan bertaburan takjil segar yang menggoda, tadarus Al-Qur'an yang fasih  terdengar setelah salat tarawih, ceramah bada salat Subuh. Suasana dan ibadah yang menyejukkan ini tetiba tidak bisa dinikmati karena semua harus #stayathome melakukan aktifitas dari rumah saja.

Jika kita berpikir mendalam sesungguhnya kemaksiatan kepada Allah memutus aliran nikmat yang yang selama ini dirasakan sebagai buah kelezatan ibadah. Kini kaum muslimin terhalang melakukan berbagai ketaatan yang pernah ditekuni dan kehilangan kesempatan salat berjamaah tarawih di masjid serta silah ukhuwah dalam balutan dakwah. Nikmat sehat pun menjadi sesuatu yang mahal. Benarlah Rasulullah dalam lisannya yang mulia telah bersabda : " Mohonlah kepada Allah karunia kesehatan (keselamatan), sesungguhnya karunia yang lebih baik sesudah keimanan adalah kesehatan (keselamatan)."
(HR. Ibnu Majah)

Maka tidaklah berlebihan jika Ramadan dijadikan tonggak menuju momen taubat nasuha global.
Ramadan semestinyalah dijadikan momen agar semua umat manusia di belahan bumi manapun berada untuk segera kembali kepada aturan Allah secara totalitas. Telah banyak kita saksikan bagaimana kerusakan yang terjadi. Kerusakan itu semakin hari semakin memunculkan banyak masalah. Pandemi Covid-19 belum reda, kini datang "wabah" lain meneror kehidupan: kelaparan, pengangguran, kriminalitas, tiadanya rasa aman, depresi sosial, kelesuan ekonomi dan lain-lain.

Mengapakah semua itu terjadi?
Allah SWT berfirman :

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

"Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." (Ar-Ruum: 41)

Dalam Tafsir Al-Muyassar dijelaskan :  ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ (Telah nampak kerusakan di darat dan di laut) Yakni dimaksud dengan (البحر) adalah perkotaan dan pedesaan yang berada di atas laut atau sungai. Sedangkan (البر) adalah perkotaan dan pedesaan yang tidak berada di atas laut atau sungai. بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى النَّاسِ(disebabkan karena perbuatan tangan manusia) Allah menjelaskan bahwa kemusyrikan dan kemaksiatan adalah sebab timbulnya kerusakan di alam semesta. Kerusakan ini dapat berupa kekeringan, paceklik, ketakutan yang merajalela, barang-barang yang tidak laku, sulitnya mencari penghidupan, maraknya perampokan dan kezaliman, dan lain sebagainya. لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِى عَمِلُوا۟( supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka). Yakni agar mereka merasakan akibat dari sebagian perbuatan mereka. لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ (agar mereka kembali (ke jalan yang benar). Yakni menjauhi kemaksiatan mereka dan bertaubat kepada Allah.

Hari ini kita menyaksikan bagaimana penderitaan umat manusia terus mencabik naluri kemanusiaan. Kaum muslimin terus mengalami penyiksaan dan ketertindasan dibawah rezim kapitalis sekuler. Di Palestina, di India, di Rohingya, di Suriah, di Uyghur. Masalah di Indonesia bukanlah ketertindasan secara langsung oleh penguasa. Namun secara kasat mata dan hanya bisa dipahami oleh orang yang mampu melihat masalah dengan jernih. Adalah korupsi yang semakin menggurita di Indonesia. Kejaksaan Agung Indonesia sedang mengusut skandal BUMN PT Asuransi Jiwasraya yang berpotensi merugikan negara 13,7 triliun. Seperti yang dinyatakan mantan presiden SBY, skandal korupsi ini diduga terkait dengan aliran uang haram untuk Pemilu 2019. Tak lama kemudian mencuat pula skandal korupsi yang tak kalah besar menimpa PT Asabri, diperkirakan nilainya diatas 10 triliun.  Di sisi lain liberalisme semakin menunjukkan eksistensinya. Di bidang ekonomi misalnya hutang riba kepada negara maju dan pajak semakin membengkak sudah pasti itu akan semakin mencekik rakyat. Di tengah wabah Covid-19 juga banyak dikeluarkan kebijakan yang kontraproduktif dengan dalih  kesehatan dan keamanan bagi rakyat. Pembebasan napi, impor alkes dan obat, RUU Omnibus Law yang tetap dibahas, pemindahan ibukota dan lain sebagainya. Belum lagi masalah maraknya bunuh diri, pembegal, perzinahan dan LGBT. Dunia pendidikan juga tak kalah suram dengan berbagai persoalannya ; bullying, tawuran, siswa menghajar guru, media pornografi menyebar luas. Di tengah penegakan hukum yang buruk, Islam lagi-lagi dijadikan sasaran.  Seolah-olah berbagai kegaduhan dan kekacauan yang terjadi akibat ulah umat Islam. Tudingan diarahkan  kepada kaum Muslimin. Intoleran, anti kebhinekaan, anti NKRI hingga anti Pancasila. Ajaran Islam semakin diberangus. Persekusi ulama, tudingan terorisme dan radikalisme, pembubaran pengajian adalah fenomena yang beberapa waktu lalu semakin merebak.

Para pemimpinnya masih nyaman menerapkan aturan kapitalis untuk mengurus rakyat. Padahal sistem tersebut bertentangan dengan Islam. Sederet kemaksiatan yang kerap dilakukan, baik dari jajaran punggawa negeri hingga kalangan masyarakat biasa seharusnya menjadi cermin untuk segera melakukan tobat kolektif. Tidak hanya secara nasional tetapi juga secara global. Karena kerusakan dalam semua aspek  kehidupan telah melanda semua negari di belahan bumi akibat diterapkannya kapitalisme. Ide-ide kapitalisme seperti demokrasi, HAM dan sekularisme menjadi konsep, standar dan keyakinan. Semuanya ditanamkan oleh negara kepada masyarakat. Padahal semua ide-ide tadi jelas adalah sumber kerusakan karena berasal dari akal manusia yang terbatas, sangat mungkin dilandasi berbagai kepentingan ketika membuat aturan tersebut. Pada saat aturan itu diterapkan, maka kepentingan pembuat hukum bisa jadi akan  berbenturan dengan kepentingan orang lain sehingga memunculkan chaos. Sedangkan aturan Islam berasal dari Sang Pencipta yang Maha Mengetahui hakekat ciptaan-Nya. Yang adil untuk semuanya.

Setiap bangsa sudah saatnya untuk segera taat sempurna pada syariat-Nya. Saat ini masih banyak muslim yang mengaku mengimani Allah tetapi pilih-pilih dalam mengambil syariat-Nya. Akan taat jika dalam pandangan akalnya yang terbatas ada manfaat yang bisa diambil dari aktifitas ketaatan itu. Padahal konsekuensi iman  menuntut seseorang tunduk dengan kepasrahan  hanya pada aturan Sang Pencipta 

Musibah yang silih berganti datang, disusul dengan menyebarnya wabah Covid-19 yang massif saat ini semestinya menjadi peringatan bagi kita semua untuk kembali pada hukum Allah.

Ali Bin Abi Thalib radhiyallah'anhu menjelaskan bahwa taubat harus menghimpun 6 hal: 1. menyesal atas dosa yang telah lalu; 2. kembali melaksanakan kewajiban; 3. menolak atau mengembalikan kezaliman (mengembalikan hak kepada yang berhak); 4. mengurai persengketaan; 5. berazam tidak akan mengulangi kemaksiatan itu; 6. menggiatkan diri dalam ketaatan seperti dulu membiasakan diri dalam kemaksiatan (Imam al-Baydhawi, Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Ta'wil, tafsir at-Tahrim: 8).

Karena itu untuk melakukan taubat nasuha kita harus:  Pertama, menyesali kemaksiatan yang dilakukan. Bahkan menurut an-Nawawi, an-nadam (penyesalan) ini adalah rukun utamanya. Kedua, memohon ampunan (istighfar) kepada Allah. Ketiga, berhenti dan meninggalkan kemaksiatan itu. Keempat, bertekad tidak mengulangi kemaksiatan itu pada masa datang. Kelima,  meng-qadha kewajiban yang ditinggalkan yang memang harus di-qadha. Keenam, mengembalikan hak kepada pemilik hak dan atau meminta bara'ah (pembebasan) dari orang yang haknya dilanggar. Tentu taubat menjadi tidak bermakna jika orang yang dilanggar masih terus dikangkangi.

Kemaksiatann dan dosa dapat menjadi penghantar yang membuat semua perkara menjadi susah. Dosa yang kita buat dapat menghilangkan kenikmatan yang datang dan memutus aliran nikmat, juga  menjadikan orang yang lalai menjadi lemah jiwanya.

Dosa yang dilakukan oleh pemimpin Negeri sangat berpengaruh pada rakyat yang dipimpinnya. Sungguh  di bulan Ramadan, bulan bertaburan ampunan semestinyalah para pemimpin negeri dan semua masyarakat  meminta ampunan Allah. Rugilah manusia yang bertemu dengan Ramadan namun dosa tidak berguguran karena tidak meminta diampuni. Padahal Allah sediakan ampunan sangat berlimpah yang tidak ditemukan di bulan-bulan lainnya.

Kita harus menanamkan keyakinan bahwa taubat akan mengantarkan pada solusi tuntas masalah dunia. Mudah bagi Allah untuk menurunkan pertolongan. Untuk segera mengangkat pandemi ini dari bumi.

Bertaubat dalam konteks menghadapi wabah berarti harus: menyesali semua bentuk kemaksiatan, menghentikan dan meninggalkan serta beristighfar atas semua kemaksiatan, bertekad kuat tidak mengulanginya, mengembalikan hak kepada yang berhak dan kembali pada ketaatan.

Saat umat ramai-ramai memohon ampunan dan memohon agar diturunkan obat penawar bagi wabah Covid-19, Semoga Allah berkenan menurunkan pertolongan-Nya. Namun yang menjadi catatan bahwa mengingat dan merujuk kepada Allah SWT hendaknya tidak hanya ketika terjadi bencana. Tetapi harus konsisten secara terus menerus. Allah SWT memperingatkan hal itu : 
" Apabila manusia ditimpa bahaya maka dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri. Namun setelah Kami menghilangkan bahaya itu dari dia maka dia kembali melalui jalan yang sesat seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk menghilangkan bahaya yang telah menimpa dirinya. Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan"
(QS Yunus: 12).

Karena itu umat harus berusaha agar tidak seperti yang diperingatkan dalam ayat tersebut. Jika itu terjadi umat ini benar-benar tidak bersyukur. Karena itu pula umat harus terus-menerus mengingat dan merujuk kepada Allah SWT. 

Sebagai wujud taubat yang sebenarnya, maka yang harus menjadi fokus agenda adalah mewujudkan ketaatan secara menyeluruh. Ketaatan menyeluruh itu tidak lain dengan menerapkan syariat Islam secara total dalam institusi Khilafah Rasyidah 'ala minhaj an- nubuwwah. Inilah sesungguhnya wujud nyata dan hakiki dari taubatan nasuha yang harus menjadi agenda utama dan bersama umat sedunia.

Wallahu a'lam bi ash-shawab.