-->

UU Suka-suka pada Sistem Sekuler

Oleh: Albayyinah Putri, ST. (Alumni Politeknik Negeri Jakarta) 

Penamabda.com- Pandemi Covid-19 yang terjadi di Indonesia masih terus berlanjut. Segala himbauan dan peraturan baru terus diberikan pemerintah kepada masyarakat. Namun sayangnya himbauan tersebut masih belum terlihat efektivitasnya. Di tengah situasi pendemi saat ini, memang banyak dari kalangan masyarakat yang terus mengkritik pemerintah dalam penanganan wabah Covid-19 yang masih belum terselesaikan bahkan berkurangnya kasus di setiap harinya pun tidak terlihat. Salah satu kasus yang menjadi headline saat ini adalah kasus yang dilaporkan Muanas Alaidid yang menganggap kritikan Alimudin Baharsyah terkait kebijakan darurat sipil yang dianggap kebohongan atau hoaks.

Padahal, UU Darurat Sipil ini memang mengundang kritik dari beberapa kalangan masyarakat, karena dianggap tidak “nyambung”. Walaupun ini masih dianggap wacana atau opsi dari Presiden Jokowi, tetap saja ini akan mengundang keresahan dan kemarahan masyarakat. Indonesia saat ini sedang mengalami darurat kesehatan, butuh banyak bantuan dari pemerintah dalam menangani kesehatan masyarakat, kenapa yang diwacanakan malah darurat sipil? Padahal tidak ada kerusuhan, perang, pemberontakan atau perlakuan kekerasan lainnya. 

Maka dari itulah beberapa kritik di kalangan masyarakat muncul untuk mengingatkan pemerintah bahwa saat ini Indonesia mengalami darurat kesehatan, bukan darurat sipil. Pengamat pun mengatakan bahwa darurat kesehatan dan darurat sipil punya tempatnya masing-masing dalam undang-undang, sehingga tidak perlu digabungkan. Ketika nanti terjadi hal-hal yang tidak diinginkan saat penerapan PSBB, pengamat juga menyarankan agar presiden tidak menanggapi terlalu berlebihan sampai harus menerapkan UU Darurat Sipil.

Semua hal yang menyangkut kritik dari rakyat kepada pemerintahan pasti akan diawasi, oleh pihak berwajib. Seakan-akan pemerintah tidak boleh menerima kritik dari rakyat dan rakyat tidak berhak mengkritik kesalahan pemerintah. Padahal mereka terus menggaungkan demokrasi, kebebasan berpendapat, kebebasan beropini dan lain sebagainya. 

Inilah yang menunjukan bahwa demokrasi dalam sistem sekuler-liberal memiliki standar yang ganda, tidak jelas. Keberpihakan hanya kepada orang-orang yang pro terhadap pemerintah. Bagi mereka yang kontra, akan dicabut sampai ke akar-akarnya! 

Kemudian mengenai UU baru di tengah wabah ini, menurut Kapolri Jenderal Idham Azis ada diterbitkannya tiga surat telegram perihal tindakan kepolisian dalam penanganan pandemi Covid-19. Hal ini dibenarkan oleh Karopenmas Mabes Polri Brigjen Pol Argo Yuwono salah satu di antaranya terkait perkara kejahatan siber. Surat itu berseri ST/1098/IV/HUK.7.1/2020. Salah satu pasalnya mengenai seputar penyebaran berita bohong dan ketahanan data akses internet. Pada situasi seperti ini memang membutuhkan filter yang lebih dalam menyerap informasi, karena segala sesuatunya dilakukan secara online. 

Kasus penangkapan salah satu aktivis Muslim yang menyuarakan khilafah dan syariat Islam ini bisa dijadikan contoh, ini adalah salah satu cara pemerintah dengan kekuasaannya membungkam masyarakat dalam menyampaikan kritik. Di mana slogan dari kebebasan berpendapat dan beropini? Kenapa segala sesuatu yang berhubungan dengan Islam selalu ada penanganan yang tercepat? Jika kritikan terhadap presiden atau penguasa bisa ditahan atau ditangkap, bagaimana dengan mereka yang masih berkeliaran di luar sana padahal sudah menyinggung syari’at Islam dan menghina pada ulama? Apakah kasus mereka berlanjut?

Ade Armando, Victor Laiskodat, Sukmawati, Abu Janda, Deny Siregar dan beberapa orang lainnya yang menyinggung bahkan menistakan ajaran Islam, agama yang dianut sebagian besar rakyat Indonesia, yang diakui secara hukum. Ke mana pasal penistaan agama terhadap mereka semua? Inilah yang semakin membuat umat Muslim terus marah. Sistem ini hanya mengeluarkan undang-undang sesuka hati mereka. Undang-undang yang bisa melindungi mereka, menjaga nama mereka, juga melindungi jabatan mereka tapi tidak bagi umat yang kontra terhadap pemerintah, belum lagi jika umat Muslim yang menyuarakan kewajiban penerapan syari’at Islam pada aspek pemerintahan. Sudah pasti ditentang habis-habisan.

Sesungguhnya undang-undang bermasalah atau undang-undang yang berpihak segolongan orang, lahir akibat dari diterapkannya sistem demokrasi yang merupakan cabang dari sistem sekularisme. Pada akhirnya pemahaman kapitalisme, liberalisme, pluralisme dan yang lainnya berkembang pada sistem ini. Hal ini karena demokrasi menetapkan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Prinsip kedaulatan ini sangat bertentangan dengan Islam, karena dalam Islam kedaulatan hanyalah milik Allah SWT, hanya Allah yang berhak membuat peraturan, manusia selaku hamba di dunia ini hanyalah sebagai pelaksana. 

Penerapan hukum selain hukum Islam ini melanggar hukum syara’ karena Allah berfirman “Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin” (Q.S Al Maidah: 50), sehingga tidak sesuai jika ada hukum-hukum lain yang berasal dari pikiran manusia diterapkan di bumi Allah ini. 

Kita melihat bahwa hukum-hukum yang diterapkan saat ini banyak yang menimbulkan kerusakan, kerbutan, pro dan kontra sampai tidak ada ketegasan yang jelas pada sanksi-sanksinya. Manusia hanyalah seorang makhluk yang memiliki keterbatasan dalam berpikir, secerdas apapun dalam membuat suatu hukum, hukum yang manusia buat hanya akan menimbulkan masalah baru di kemudian hari. 

Seluruh peraturan dalam Islam hanya bisa diberlakukan jika kita memiliki pemimpin yang juga taat kepada Allah SWT, karena Allah SWT menugaskan kepada pemimpin untuk menerapkan syari’at-Nya dalam mengatur seluruh kepentingan umat. Jika ini dilakukan, Insya Allah keberkahanlah yang akan kita dapat. Bukan seorang pemimpin yang menggunakkan kekuasaannya untuk melindungi jabatannya dan kelompoknya dari kritik masyarakat. 

Banyak kejadian yang tidak kita duga yang terjadi silih berganti di bumi Allah ini, dengan rentang waktu tidak jauh. Mulai dari bencana alam sampai dengan wabah. Hal ini tidak bisa kita prediksi memang, ini merupakan Qadha dari Allah, sesuatu yang tidak bisa manusia hindari. Namun, jika kita menggunakan aturan Allah dalam menghadapi masalah ini, mungkin tidak akan menjadi masalah yang berlarut-larut. Maka kembali kepada Allah, tidak bermaksiat kepada-Nya, menggunakan segala aturan sesuai dengan aturan-Nya di tengah kehidupan masyarakat termasuk pemerintahan adalah solusi yang tepat dalam menyelesaikan problematika umat. Semua ini tidak bisa dilakukan tanpa adanya naungan Khilafah Islamiyah. [PM]