-->

Stafsus Milenial dan Mush'ab bin Umair

Oleh : Novianti (Praktisi Pendidikan) 

Penamabda.com - Sejak pengangkatannya, stafsus milenial sudah menuai kritikan. Pakar hukum tatanegara Refly Harun menyatakan keberadaan stafsus tersebut hanya akan membebani anggaran. Mengingat gaji per orang sebesar  51 juta dengan beban kerja belum jelas dan setiap stafsus bisa memiliki maksimal 5 (lima) asisten.

Kritikan publik makin keras seiring berjalannya waktu,  karena "ulah"  beberapa stafsus milenial. Yang masih hangat adalah surat edaran pada seluruh camat di Indonesia untuk bekerja sama dalam program Relawan Desa Lawan Covid-19 bersama perusahaan milik Andi Taufan Garuda Putra, salah satu stafsus milenial.

Meski sudah ada pernyataan permohonan maaf dari yang bersangkutan, namun publik menilai tindakan ini sudah melebihi kewenangan karena menulis surat menggunakan kop surat Sekretaris Kabinet.

Berikutnya adalah  Adara Belva Syah Devara yang juga CEO Ruangguru.  Perusahaannya ditunjuk sebagai salah satu penyedia pelatihan bagi para buruh atau pekerja yang kena PHK akibat kebijakan pemerintah terkait Covid-19 dengan nilai 5.9 triliun. Pemerintah dianggap begitu mudahnya menggelontorkan uang pada Ruangguru yang diindikasi karena ada unsur kedekatan.

Publik pantas marah karena di tengah orkestra kelaparan para pekerja yang kena PHK dan para keluarganya, masih ada yang tega mempermainkan kebijakan demi kepentingan sendiri maupun kelompoknya. Ibarat memancing di air keruh.  Para pejabat bermain di atas penderitaan rakyat untuk memperoleh keuntungan dan pencitraan.

Pemanfaatan jabatan untuk kepentingan pribadi bukan hal yang baru. Perilaku Belva dan Andi Taufan meniru para politisi seniornya. Padahal salah satu stafsus milenial Aminuddin Ma'ruf  menyatakan di awal pelantikan,  keberadaan stafsus milenial  adalah bentuk visi presiden memikirkan regenerasi kepemimpinan 10-20 tahun mendatang. 

Namun prakteknya, belum dalam hitungan tahun, stafsus milenial sudah mengadopsi jiwa oportunis para guru politiknya dengan strategi gimik memanfaatkan segala situasi demi keuntungan pribadi. Segala dalih alasan dikemukakan demi menutupi maksud ambisi pribadi. 

Bagi-bagi sembako oleh presiden yang seharusnya bisa dilakukan oleh level  RT/RW. Yang dibutuhkan oleh publik dari pejabat selevel presiden adalah kebijakan bersifat masal yang bisa melindungi 267 juta rakyat bukan cara yang hanya menarik simpati sesaat.

Lalu muncul hasil survei oleh Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) dan Media Survei Nasional (Median), menyatakan tingkat kepuasan publik atas kinerja pemerintah pusat mencapai angka lebih dari 50 persen terkait penanganan covid-19.

Faktanya, pertumbuhan ekonomi dalam pandemi ini diprediksi minus. Bisnis terpuruk. PHK di mana-mana. Jutaan penggangguran sudah di depan mata. Dan yang paling mereka butuhkan adalah kebutuhan pangan termasuk untuk para keluarganya.

Para pejabat seharusnya sudah tidak lagi memikirkan "citra"nya. Namun nampaknya mereka sudah kehilangan kepekaan terhadap penderitaan rakyat. Mereka lebih memikirkan kekuasaan.  Karena kekuasaan adalah alat penambah pundi-pundi mereka. Mereka sudah terikat oleh godaan materi yang sudah menghilangkan urat malu. Inilah pelajaran yang diteteskan pada stafsus milenial.

Hakekatnya sistem demokrasi yang bersenyawa dengan kapitalisme tidak akan pernah melahirkan negarawan.  Mustahil akan terjadi regenerasi kepemimpinan dengan kualitas yang lebih baik, mengayomi rakyat.

Para pejabat oportunis adalah anak-anak yang dilahirkan dari rahim demokrasi.  Sistem yang menuhankan suara manusia mengalahkan hukum dari Dzat Maha Pencipta. Dalam perjalanannya, demokrasi bersekutu dengan para pemodal. Tak ayal negara berubah menjadi korporatokrasi dimana penguasa  pelayan- pelayan kelompok nafsu dunia.

Rakyat hanya menjadi keset pijakan untuk meraih kekuasaan. Suara rakyat suara tuhan dari bilik pencoblosan hanyalah rekayasa. Rakyat dibuai sebagai pemenang mayoritas untuk melegalkan perampokan kekayaan negara dan milik rakyat. 

Islam Mencetak Negarawan Muda

Negarawan dalam KBBI adalah ahli menjalankan negara (pemerintahan), pemimpin politik yang mengelola masalah negara. Sementara  negarawan dalam kaca mata islam memiliki makna yang lebih luas.  Negarawan adalah seorang muslim yang tidak hanya memikirkan dirinya sendiri tapi seseorang yang senantiasa memikirkan urusan umat. 

Definisi ini tercermin dari surat Al Hujurat ayat 10 yang menyatakan  sesama mukmin itu bersaudara.  Demikian juga  hadits Rasulullah, “Barangsiapa yang melapangkan satu kesusahan dunia dari seorang Mukmin, maka Allâh melapangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat. Barangsiapa memudahkan (urusan) orang yang kesulitan (dalam masalah hutang), maka Allâh Azza wa Jalla memudahkan baginya (dari kesulitan) di dunia dan akhirat." 

Seorang negarawan mampu menterjemahkan pandangan-pandangan Islam kedalam realitas kehidupan. Sehingga umat merasakan kehadiran sosoknya dalam urusan kehidupan mereka bahkan merasakan tanggung jawab mereka.

Sosok negarawan tidak terbatas pada mereka yang memiliki kedudukan, jabatan politik, usia, jenis kelamin. Siapa saja bisa menjadi negarawan tatkala memiliki kepedulian terkait urusan umat. 

Ia adalah sosok yang dinamis, bergerak di tengah-tengah umat, mendorong dunia bergerak dalam naungan ridlo Allah. Bersemangat menuntut ilmu tapi tidak sebatas penikmat ilmu sehingga menjadi kaum terpinggirkan. Melainkan sosok petarung dalam arus mainstream untuk menegakkan kebenaran.

Contoh sosok negarawan milenial yang lahir dari tempaan Rasulullah adalah  Mush'ab bin Umair. Beliau menjadi duta Islam di usia milenial. Mengemban dakwah kepada penduduk Madinah hingga tak ada satupun pintu-pintu rumah melainkan didalamnya membicarakan Islam. 

Kecerdasan dan kefasihan bicara Mush'ab bin Umair terlihat saat menjelaskan Islam pada Sa'ad bin Muadz. “Bagaimana kiranya kalau Anda duduk dan mendengar (apa yang hendak aku sampaikan)? Jika engkau ridha dengan apa yang aku ucapkan, maka terimalah. Seandainya engkau membencinya, maka aku akan pergi." Kalimat yang  membuat Sa'ad tersepona lalu memeluk Islam. Masuknya Sa'ad kedalam Islam adalah jalan bagi  kaumnya  menjadi muslim.

Mush'ab bin Umair adalah sosok negarawan sejati. Rela menjual dunia untuk membeli akhirat. Dari kehidupan kaya raya dengan fasilitas kelas satu menjadi kehidupan yang sangat bersahaja hingga Rasulullah menangis jika melihat Mush'ab.

Mush'ab bin Umair, negarawan milenial yang akhir kehidupannya senantiasa diingat oleh para shahabat. Di masa kejayaan Islam, Abdurrahman bin Auf tak sanggup menghabiskan makanan nikmat yang terhidang di hadapannya karena ingat pada akhir kehidupan Mush'ab bin Umair.  “Mush’ab bin Umair telah wafat terbunuh, dan dia lebih baik dariku. Tidak ada kain yang menutupi jasadnya kecuali sehelai burdah”. (HR. Bukhari no. 1273). 

Mush'ab bin Umair, sosok negarawan milenial yang mengguncang dunia. Kiprahnya sebagai duta Islam membuka  jalan kehadiran peradaban Islam selama  hampir 14 abad lamanya.

Sungguh jauh berbeda dengan sosok stafsus milenial dalam kabinet sekarang. Karena hanya dari Islam akan lahir para negarawan milenial yang di usia mudanya menorehkan karya dan kerja bagi umat manusia. 

Tidakkah kita merindukan sosok negarawan sekelas Mush'ab bin Umair?  Semoga kita segera menyaksikannya