-->

Kembali Dana Ditarik dari Rakyat, Kemana Negara?

Oleh: Rut Sri Wahyuningsih

Penamabda.com - Dengan lesunya perekonomian, sejak pandemi Covid-19 ini, pendapatan masyarakat cenderung menurun. Kebutuhan dasar mahal dan subsidi dari pemerintah ternyata tergantung golongan dan kelas tertentu. Seperti kartu pra kerja, potongan harga listrik dan BBM. Prosedur mendapatkannya pun sulit.

Kini Pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan baru terkait pembayaran tunjangan hari raya (THR) aparatur sipil negara (ASN).  Selain THR dan gaji ke-13 pejabat eselon II ke atas dipotong seluruhnya, kini sejumlah tunjangan dalam komponen THR untuk ASN golongan di bawahnya juga dipangkas.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mencatat, total penghematan belanja yang bisa didapatkan dengan mengurangi THR untuk ASN mencapai Rp 5,5 triliun. Dana ini terutama akan dialokasikan untuk penanganan pandemi Covid-19. "Kita bisa mengurangi anggaran THR hampir Rp 5,5 triliun, itu berarti uangnya yang sudah dialokasikan nanti masuk APBN secara keseluruhan," ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers jarak jauh. 

Selain itu, pemerintah juga akan menggunakan dana yang dihemat itu untuk menggerakkan sektor UMKM. "Belanja kesehatan, bansos dan berbagai dukungan kepada usaha kecil menengah juga menimbulkan belanja baru," ujarnya ( Republika.id, 18/4/2020).

Meskipun esselon tiga hingga bawah masih mendapat THR meskipun di potong tetap saja menunjukkan ketidak adilan. Terlebih esselon di atasnya malah tidak mendapatkan sama sekali. Sebab, sejak pandemi menyebar luas, pemerintah belum mengadakan pembiayaan dengan benar. Masih mengandalkan pajak dan utang yang itupun dibayar oleh uang rakyat. 

Inilah wajah kapitalis. Tak pernah mau rugi. Dalam Islam, hal yang demikian amatlah buruk, oleh karena itu seorang pemimpin hanya diperintahkan memimpin urusan negaranya dengan syariat. Secara kaffah, bukan yang lain.

Syariat mengatur kepemilikan negara dan umum yang itu bisa dikelola oleh negara dan manfaatnya dikembalikan kepada rakyat baik secara langsung maupun berupa fasilitas yang menyangkut kepentingan umum. Seperti pembangunan rumah sakit, jalan, sekolah yang itu sekaligus dengan pembiayaan operasional.

Maka, Baitul mal akan senantiasa terisi dari setiap pos-posnya yang juga telah ditentukan syariat ada atau tidak ada hajat. Seperti misalnya pos Diwan Thowariq atau pos bagian bencana alam. Berisi harta dari fai, jizyah dan kharaj yang di dapat negara dari setiap futuhat. Dana dari pos ini dikhususkan untuk pembiayaan jika negara mengalami bencana alam atau wabah.  

Jikapun pos Diwan Thowariq ini kosong dan keadaan darurat, maka bisa diambilkan dari pos yang lain seperti Zakat. Jika masih membutuhkan dan kondisi kas Baitul Maal masih kosong maka negara akan menerapkan pajak atau meminjam kepada kaum muslimin hingga seluruh hajat terpenuhi. Selain hal yang demikian maka negara tidak boleh menarik apapun, sepeserpun dengan hajat apapun kepada rakyat. 

Terkait upah pegawai negara pun, syariat menetapkan berdasarkan keumuman sistem pengupahan di masyarakat. Meskipun tak dikenal adanya kenaikan gaji, atau gaji ke-13, namun semua jumlah gaji akan diberikan penuh tanpa potongan apapun. Dan dibayarkan dalam masa yang telah disepakati dalam aqod transaksi diawal kontrak kerja terjadi. 

Kewajiban negara inipun jika kas Baitul Maal kosong akan diperlakukan hal yang sama dengan ketika negara menghadapi bencana alam. Intinya jika apa-apa yang menjadi kewajiban Baitul Maal untuk membiayai dan kosong maka kewajiban beralih kepada kaum muslim. 

Telah banyak bukti yang dapat ditemui masyarakat bagaimana abainya negara dalam mengurusi urusan rakyatnya. Maka wajar jika penanganan pandemi Covid-19 dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) bisa dianggap gagal total, masyarakat tetap keluar dan berkumpul dengan yang lain dengan alasan mencari nafkah.  Lantas sekarang gaji ASN pun masih hendak disunat. 

Lebih zalim lagi penghematan dana itu hanya diperuntukkan untuk penangan Covid-19 dan para pelaku bisnis dan UKM. Sementara pandemi ini mengakibatkan kelesuan bagi semua pihak, baik yang terdampak ataupun tidak. Padahal pajak yang ditarik oleh pemerintah tak dihentikan selama pandemi ini dan pada semua pihak. Baik ia pelaku bisnis atau bukan. 

Tak bisa tidak, pandemi ini memaksa kita untuk bisa bermuhasabah mencari solusi yang paling tepat. Yaitu kembali kepada syariat, aturan Allah yang diperuntukkan bagi makhluk dan seluruh alam. Hal ini tak bisa terbantahkan sebab sejarah telah mencatat bukti keemasannya peradaban Islam yang belum tertandingi dengan peradaban apapun.  

Wallahu a' lam bish Showab.